tag:blogger.com,1999:blog-28864317195237224452024-03-12T20:58:40.471-07:00PERSPEKTIF-21Jhony Jhony Wayanhttp://www.blogger.com/profile/17639128159958253618noreply@blogger.comBlogger9125tag:blogger.com,1999:blog-2886431719523722445.post-39123044651248918742009-08-24T20:35:00.000-07:002011-09-06T21:53:37.819-07:00Terorisme Ekologis, Pentingnya Etika dan Pendidikan Lingkungan<meta equiv="CONTENT-TYPE" content="text/html; charset=utf-8"><title></title><meta name="GENERATOR" content="OpenOffice.org 3.0 (Win32)"><style type="text/css"> <!-- @page { margin: 0.79in } P.sdfootnote { margin-left: 0.2in; text-indent: -0.2in; margin-bottom: 0in; font-size: 10pt } P { margin-bottom: 0.08in } A:link { color: #0000ff } A.sdfootnoteanc { font-size: 57% } --> </style> <p style="margin-bottom: 0in;" align="center"><font style="color: rgb(0, 0, 0);"><font size="2"><b>TERORISME EKOLOGIS,</b></font></font></p><p style="margin-bottom: 0in;" align="center"><font style="color: rgb(0, 0, 0);"><font size="2"><b>PENTINGNYA ETIKA DAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN </b></font></font> </p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="center"><font size="2">Oleh: I Wayan Jhony</font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="center"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><b>Abstract</b></font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2">Holocaust dan terorisme ekologis merupakan bentuk penggambaran dari kehidupan ekologis yang sedang menjauh meninggalkan Firdaus. Keduanya </font><font size="2"><font lang="sv-SE">tidak saja menunjuk pada kerusakan struktur alam secara fisik, tetapi sekaligus juga hendak menjelaskan kerusakan alam pada struktur yang lebih dalam dan juga kompleks. Dalam hal ini termasuk “kerusakan mental”, “kerusakan sosial” dan “kerusakan spiritual” pada tingkat struktur yang lebih dalam. </font></font> </p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"> <font size="2">Orang yang hanya mempunyai pengetahuan tentang bagaimana merawat alam, tetapi mengabaikan pengetahuan itu, demi mendahulukan hasrat dan kepentingannya adalah “teroris ekologi”. Alam ini tengah membutuhkan tindakan untuk meredam aneka krisis dan bencana ekologis. Dan di antara berbagai tindakan yang dapat dilakukan, etika dan pendidikan lingkungan mestinya menjadi sesuatu yang mendesak bagi siapapun yang mengasihi alam sebagai ibu. </font> </p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><b>Keywords: </b></font><font size="2">pengelolaan lingkungan, holocaust, terorisme ekologis, etika lingkungan, pendidikan lingkungan, teori etika, antroposentrisme, biosentrisme, ekosentrisme, </font><font size="2"><i>deep ecology.</i></font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><b>Pengantar</b></font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2">Kehidupan ekologis tempat manusia dan yang lainnya hidup sedang menjauhi Eden atau Firdaus. Holocaust barangkali, merupakan kata yang sedikit mampu mendeskripsikan gawatnya krisis ekologis saat ini. </font><font size="2"><font lang="sv-SE">Manusia dengan daya nalarnya bergumul mencari tahu pelaku-pelaku kerusakan ekologis itu, namun jari telunjuk mereka akhirnya kembali pada diri mereka, seakan menjadi ”hakim” bagi dirirnya sendiri.</font></font><sup><font size="2"><a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote1anc" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#sdfootnote1sym"><sup>1</sup></a></font></sup><font size="2"><font lang="sv-SE"> Mencermati besarnya ancaman, krisis, ketakutan, dan horor ekologis hasil disain tangan manusia itu, maka tidaklah berlebihan untuk kemudian mengklasifikasikan perilaku-perilaku tersebut sebagai sebuah tindakan “terorisme” (dalam pengertian khusus), yakni “terorisme ekologis” </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(eco-terrorism).</i></font></font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE"> Aneka krisis dan bencana ekologis buatan manusia berderet panjang melintasi batas-batas geografi dan demografi tanpa jeda. </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>Illegal logging, illegal fishing</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE">, pengerukan tambang dan mineral, gempa bumi, </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>global warming</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE">, banjir, longsor, kebakaran hutan dan sebagainya itu, menyerakkan bumi titipan Tuhan. Lolosnya para pelaku terorisme ekologis dari jeratan hukum dan lambannya tanggapan negara terhadap para korban bencana ekologis merupakan sepenggal bukti betapa rendahnya </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>concern</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> manusia terhadap </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>holocaust</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> ekologis atau terorisme ekologis itu. </font></font> </p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Holocaust dan atau terorisme ekologis, buah karya spektakuler tangan manusia, semata-mata tidak dapat dilihat hanya sebagai kerusakan dan atau kehancuran pada struktur fisik dari alam dan lingkungan, tetapi sekaligus juga menjelaskan kerusakan pada struktur yang lebih “dalam” </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(deep structure)</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> dan kompleks </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(complex disaster).</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> Tidak hanya kerusakan tanah, sumber air, udara, rumah, lapisan ozon, jalan, tumbuhan dan atau komunitas biotis, tetapi lebih dari itu “kerusakan mental”, “kerusakan sosial”, dan “kerusakan spiritual” pada tingkat struktur yang lebih dalam.</font></font></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"> <font size="2">Relevansi pemikiran untuk kemudian memberikan landasan filosofis-etis dan edukatif yang lebih kontekstual dan cocok semakin diperlukan untuk meredam aksi-aksi holocaust dan atau terorisme ekologis. Semuanya ini terfokus pada manusia, sebagai peletak dasar dari kehancuran ekologis itu, serta mencari kedudukannya dalam seluruh ekosistem yang menjadi lingkungan hidupnya. Olehnya, suatu etika dan pendidikan lingkungan yang mampu memberi penjelasan dan pertanggungjawaban rasional tentang nilai-nilai, asas dan norma-norma moral bagi sikap dan perilaku manusia terhadap alam lingkungan ini akan sulit didapatkan, tanpa melibatkan manusia.</font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><font size="2"><b>Alam: Urgensi Etika dan Pendidikan Lingkungan</b></font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Terminologi bahasa Latin menyebutkan alam nan indah itu sebagai </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>natura</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> (dari kata kerja </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>nascere </i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE">yang artinya melahirkan). Alam dipersonifikasikan sebagai ibu yang memiliki kodrat untuk melahirkan. Fransiskus dari Asisi bahkan, dalam </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>Il Canto delle Creature</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> (nyanyian alam), menyapa alam sebagai </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>La Madre Terra</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> (ibu bumi yang memberi segala kelimpahan). Ouspenky (filsuf Rusia), juga menyebut alam sebagai organisme biotis, karena organ alam: udara </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(atmosfir),</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> air </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(hidrosfir),</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> tanah, mineral </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(geosfir),</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> flora, fauna, manusia dan mikroba </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(dekomposer)</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> menyerupai organ terpadu dari keseluruhan ekosistem bumi yang teratur. </font></font> </p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"> <font size="2">Keseimbangan ekosistem mestinya dijaga. Di sinilah saya melihat urgensi peran etika ekologis atau etika lingkungan dan pendidikan lingkungan dijadikan sebagai asas moral dalam pengelolaan lingkungan. Inti etika dan pendidikan lingkungan adalah sikap bertanggungjawab yang maksimal terhadap lingkungan. Tujuan komprehensifnya adalah memelihara keseimbangan alam dan melestarikan keutuhan, keberlangsungan, kekayaan, dan keserasian ekosistem. Etika dan pendidikan lingkungan mengubah kedudukan serta peran manusia sebagai penakluk alam, menjadi anggota alam yang harus terus belajar-hidup saling berdampingan dalam suatu komunitas besar.</font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><font size="2"><b>Kembali ke Nilai Intrinsik Alam</b></font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><font size="2">Meskipun manusia memiliki kehendak bebas terhadap alam, tetapi manusia semestinya menerima dan mengakui kenyataan bahwa dia tidak dapat membebaskan dirinya dari alam. Tragedi manusia terbesar adalah keberadaannya dalam dua kondisi sekaligus. Dia bebas, tetapi pada saat yang sama, dia terdeterminasi. Dalam hal tertentu dia melampaui alam dan menguasai alam, namun dalam arti tertentu pula, dia terikat dan dikondisikan oleh alam. Dewasa ini, hubungan manusia dengan alam telah retak. Dominasinya terhadap alam telah berbalik menjadi ancaman bagi dirinya sendiri. Ancaman ini meminta manusia untuk segera mengambil sikap baru terhadap alam: mengelola lingkungan secara arif dengan berpijak dari etika dan pendidikan lingkungan yang adalah asas moral dalam pengelolaan lingkungan.</font></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"> <font size="2">Hal utama yang tentu harus dilakukan oleh manusia adalah merubah paradigma berpikir tentang pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Lingkungan hidup itu sendiri adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain. </font></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"> <font size="2">Tujuan perubahan paradigma sedemikian itu adalah penting, agar sikap dan perilaku manusia menjadi lebih arif dalam memberi makna atas alam. Karena itu, manusia harus mengembangkan konsepsi tentang alam yang mengagungkan dan menghormati alam, juga menganggap alam sebagai sesuatu yang sakral dan hidup. Dengan demikian, akan melahirkan sikap yang menghormati dan peduli terhadap lingkungan. Atas dasar itu, kesadaran terhadap pentingnya pengelolaan lingkungan harus terus tertanam dalam diri manusia. </font> </p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"> <font size="2">Etika lingkungan menuntut agar etika dan moralitas tidak saja diberlakukan bagi komunitas biotis atau komunitas ekologis, tetapi juga bagi komunitas a-biotis. Dalam konteks ini, etika lingkungan merupakan refleksi kritis atas norma-norma dan prinsip atau nilai moral yang selama ini dikenal dalam komunitas manusia untuk diterapkan secara lebih luas dalam komunitas biotis dan juga komunitas a-biotis. Dalam perspektif etika lingkungan, manusia harus memperlakukan alam tidak semata-mata dalam kaitannya dengan kepentingan dan kebaikan manusia saja (ekstrinsik). </font> </p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Oleh karena itu, manusia harus menumbuhkan adanya kesadaran formal dan pendidikan terhadap upaya-upaya pengelolaan lingkungan dengan memegang beberapa prinsip.</font></font><sup><font size="2"><a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote2anc" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#sdfootnote2sym"><sup>2</sup></a></font></sup><font size="2"><font lang="sv-SE"> Pertama, manusia harus bersikap hormat terhadap alam. Kedua, manusia harus mempunyai prinsip bertanggungjawab, yakni tanggung jawab terhadap lingkungan merupakan tanggung jawab manusia juga. Ketiga, manusia harus memiliki solidaritas kosmis. Keempat, manusia harus mengimplementasikan prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam. Kelima, harus memiliki prinsip </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>no harm</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> (tidak merugikan alam). Keenam, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam. Ketujuh, prinsip keadilan. Dalam arti adil tentang perilaku manusia terhadap alam. Kedelapan, prinsip demokrasi. Kesembilan, prinsip integritas moral.</font></font></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Jadi, sudah saatnya, segala corak berpikir, tindakan dan perbuatan yang </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>human oriented</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> beralih kepada perspektif dan sikap yang </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>nature oriented.</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> Kembali ke alam </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(back to nature).</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> Demikianlah cita-cita yang menjadi dambaan dan harapan bagi kita semua. Untuk hal ini, kita membutuhkan perubahan. Perubahan yang paling utama dan mendasar adalah perubahan sikap dasar di dalam diri manusia. Manusia pertama-tama perlu menyadari dirinya, bahwa dia adalah bagian dari alam, dan bukan sebaliknya. Sebagai bagian dari alam, manusia berpartisipasi dengan alam. </font></font> </p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Manusia perlu menyadari bahwa dia turut mengambil bagian dalam seluruh sistem tata semesta dan melihat dirinya secara baru sebagai </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>partner</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> alam. </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>Partner </i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE">adalah orang yang senantiasa berada dan hidup berdampingan bersama. Di dalam </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>partnership</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> tidak ada sub-ordinasi. Alam memiliki nilai intrinsik di dalam dirinya. Nilai intrinsik yang paling hakiki adalah nilai kehidupan. Nilai ini tidak diberikan dari luar. Tidak ditambahkan atau dikurangi oleh siapapun. Pertama-tama, ia bernilai untuk dirinya sendiri (nilai intrinsik). Kedua, ia bernilai untuk yang lain (nilai ekstrinsik).</font></font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><font size="2"><b>Teori Etika Lingkungan</b></font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Sonny A. Keraf mengatakan terdapat tiga model teori etika lingkungan, yakni yang disebutnya sebagai </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>Shallow Environtmental Ethics, Intermediate Environtmental Ethics</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> dan </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>Deep Environtmental Ethics.</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> Ketiga teori ini juga dikenal dengan sebutan antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme.</font></font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE"><br /></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><b>Antroposentrisme</b></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i> </i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i><b>(Shallow Environtmental Ethics) </b></i></font></font> </p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat segala alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap adalah segala-galanya. Nilai tertinggi adalah </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>kepentingan</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> manusia (sehingga, sebenarnya kurang tepat kalau diistilahkan dengan antroposentrisme). Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia.</font></font></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"> <font size="2">Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Maksudnya, dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan satu-satunya pusat pertimbangan, dan yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral. Akibatnya, secara teleologis, lingkungan diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies manusia, dan dihindari akibat buruk sebanyak mungkin bagi spesies itu. </font> </p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"> <font size="2">Oleh karenanya, alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Pandangan antroposentris yang menekankan bahwa manusia sebagai subjek utama dunia dan harus mendapat prioritas dalam pemanfaatan lingkungan dan sumber daya. Perspektif ini melihat, proses pembangunan dan implikasi terhadap lingkungan dipandang sebagai satu keniscayaan, sejauh proses tersebut diperuntukkan bagi kesejahteraan manusia. Pandangan ini mewarnai dan menjiwai proses pembangunan yang eksploitatif selama ini. Sering pula digunakan sebagai alat justifikasi setiap keputusan pembangunan yang dilakukan manusia. Dalam banyak kasus, pandangan ini juga dipakai manusia untuk menjustifikasi motif dan tindakan serakahnya. Jelas ini berdampak pada kerusakan lingkungan.</font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><b>Biosentrisme</b></font><font size="2"><i><b> (Intermediate Environtmental Ethics)</b></i></font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2">Biosentrisme adalah suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri, lepas dari kepentingan manusia. </font><font size="2"><font lang="sv-SE">Dengan demikian, biosentrisme menolak teori antroposentrisme yang menyatakan bahwa hanya manusialah yang memiliki nilai dalam dirinya. </font></font> </p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"> <font size="2">Teori biosentrisme berpandangan bahwa makhluk hidup bukan hanya manusia. Ada banyak hal dan jenis makhluk yang memiliki kehidupan. Pandangan biosentrisme mendasarkan moralitas pada keseluruhan kehidupan, entah pada manusia atau pada makhluk hidup lainnya. Karena yang menjadi pusat perhatian dan ingin dibela dalam teori ini adalah kehidupan. Dengan demikian, secara moral berlaku prinsip bahwa setiap kehidupan di muka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. </font> </p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE"><b>Ekosentrisme </b></font></font><font size="2"><b>(</b></font><font size="2"><i><b>Deep Environtmental Ethics)</b></i></font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><font size="2">Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Oleh karenanya teori ini sering disamakan begitu saja karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu pada penekanannya atas pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi pemberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas pemberlakuan etika untuk komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, konsep etika dibatasi pada komunitas yang hidup (biotis), seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika diperluas untuk komunitas ekosistem seluruhnya (biotis dan a-biotis).</font></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Biosentrisme dan ekosentrisme, memandang manusia tidak hanya sebagai makhluk sosial </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(zoon politikon).</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk dan memandang manusia tak lebih dari salah satu bagian dalam jaringan kehidupan. Ekosentrisme tidak menempatkan seluruh unsur di alam ini dalam kedudukan yang hierarkis dan atau sub-ordinasi. Melainkan sebuah kesatuan organis yang saling bergantung satu sama lain.</font></font></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Salah satu bentuk etika ekosentrisme ini adalah etika lingkungan yang sekarang ini dikenal sebagai </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>deep ecology</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE">. Sebagai istilah, </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>deep ecology</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, pada 1973, di mana prinsip moral yang dikembangkan adalah menyangkut seluruh komunitas ekologis. </font></font> </p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2">Istilah </font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>deep ecology</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> </font></font><font size="2">sendiri digunakan untuk menjelaskan kepedulian manusia terhadap lingkungannya. </font><font size="2"><font lang="sv-SE">Kepedulian yang ditujukan dengan membuat pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendalam dan mendasar, ketika dia akan melakukan suatu tindakan. Kesadaran ekologis yang mendalam adalah kesadaran spiritual atau religius, karena ketika konsep tentang jiwa manusia dimengerti sebagai pola kesadaran di mana individu merasakan suatu rasa memiliki, dari rasa keberhubungan, kepada kosmos sebagai suatu keseluruhan, maka jelaslah bahwa kesadaran ekologis bersifat spiritual dalam esensinya yang terdalam. Oleh karena itu pandangan baru realitas yang didasarkan pada kesadaran ekologis yang mendalam konsisten dengan apa yang disebut filsafat abadi yang berasal dari tradisi-tradisi spiritual, baik spiritualitas para mistikus Kristen, Budhis atau filsafat dan kosmologis yang mendasari tradisi-tradisi Amerika Pribumi.</font></font></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Ada dua hal yang sama sekali baru dalam </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>deep ecology.</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> Pertama, manusia dan kepentingannya bukan ukuran bagi segala sesuatu yang lain. </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>Deep ecology</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> </font></font><font size="2">memusatkan perhatian kepada seluruh spesies, termasuk spesies bukan manusia. </font><font size="2"><font lang="sv-SE">Ia juga tidak memusatkan pada kepentingan jangka pendek, tetapi jangka panjang. Oleh karena itu, prinsip etis-moral yang dikembangkan </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>deep ecology</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> adalah menyangkut seluruh kepentingan komunitas ekologis. </font></font> </p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Kedua, </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>deep ecology</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> dirancang sebagai etika praktis. Artinya, prinsip-prinsip moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkrit. Etika baru ini menyangkut suatu gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari sekedar sesuatu yang amat instrumental dan ekspansionis. </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>Deep ecology</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> merupakan gerakan nyata yang didasarkan pada perubahan paradigma secara revolusioner, yaitu perubahan cara pandang, nilai dan perilaku atau gaya hidup. </font></font> </p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Perspektif </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>deep ecology</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> menekankan pada kepentingan dan kelestarian lingkungan alam. Pandangan ini berdasar etika dan pendidikan lingkungan yang kritikal dan mendudukkan lingkungan tidak saja sebagai objek moral, tetapi subjek moral. Sehingga harus diperlakukan sederajat dengan manusia. Pengakuan lingkungan sebagai moral subjek, membawa dampak penegakkan prinsip-prinsip keadilan dalam konteks hubungan antara manusia dan lingkungan sebagai sesama moral subjek. Termasuk di sini isu </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>animal rights.</i></font></font><sup><font size="2"><font lang="sv-SE"><a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote3anc" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#sdfootnote3sym"><sup>3</sup></a></font></font></sup><font size="2"><font lang="sv-SE"><i> Deep ecology</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> memandang proses pembangunan harus sejak awal melihat implikasinya terhadap lingkungan. Karena setiap proses pembangunan akan melibatkan perubahan dan pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam.</font></font></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><font size="2"><b>Pentingnya Etika dan Pendidikan Lingkungan</b></font></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Pembicaraan tentang etika dan pendidikan lingkungan sangat diperlukan mengingat kerusakan lingkungan hidup dan pola pendekatan yang membahayakan masa depan lingkungan dan manusia itu sendiri sudah semakin parah.</font></font><sup><font size="2"><font lang="sv-SE"><a class="sdfootnoteanc" name="sdfootnote4anc" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#sdfootnote4sym"><sup>4</sup></a></font></font></sup><font size="2"><font lang="sv-SE"> Demikian juga sikap manusia terhadap lingkungan terkait dengan persoalan ekonomi, cenderung menggunakan pendekatan demi keuntungan pribadi atau kelompok dan jangka pendek dalam kehidupan. </font></font> </p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Oleh karena itu, perlulah diketahui juga tanggung jawab terhadap lingkungan dalam hal keutuhan biosfir dan generasi yang akan datang. Semboyan etika dan pendidikan lingkungan adalah membangun yang tidak merusak ekosistem. Keraf misalnya menawarkan pendekatan etika alternatif yakni etika ekosentris tentu dengan mempertimbangkan kelebihannya daripada etika antroposentris dan etika biosentris. Etika ekosentris yang juga disebut </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>deep ecology</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> diyakininya sebagai pendekatan yang paling baik dalam mengatasi krisis lingkungan dewasa ini. Hal ini disebabkan karena etika ekosentris lebih berpihak pada lingkungan secara holistik. Cara demikian akan menjaga tetap bertahannya segala yang hidup dan yang tidak hidup sebagai bagian yang saling terkait dan saling menguntungkan. Bukan saja manusia, benda-benda di alam semesta juga memiliki tanggung jawab moralnya sendiri, oleh karena itu diperkirakan memiliki haknya sendiri juga. </font></font> </p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"> <font size="2">Persoalan mendasar yang barangkali dapat menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana konsepsi Keraf berkaitan dengan etika dan pendidikan lingkungan dapat menjadi operasional. Jika segala benda dianggap memiliki hak dan kewajibannya, seperti manusia, bagaimanakah konsep hak itu sendiri? Menjadi kabur, tidak jelas batas-batasnya. Hal ini sebagai akibat dari hubungan yang tidak jelas dan tegas antara manusia dan makhluk ciptaan lainnya. Apakah manusia yang menyembelih binatang, misalnya, merupakan pelanggaran terhadap hak binatang itu? Bagaimana pula dengan pohon, batu dan seterusnya.</font></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"> <font size="2">Di samping itu, dari segi kebudayaan, tampaknya pandangan Keraf itu mengembalikan pada hubungan yang tidak jelas antara subjek dan objek, antara aku dan engkau, yang berlaku dalam masyarakat primitif. Artinya, alam diperlakukan seperti manusia, tidak ada jarak di antara keduanya, sehingga membuka kembali ruang untuk praktek-praktek kebatinan lama, menyembah pohon, batu, dan sejenisnya. </font> </p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"> <font size="2">Oleh karena itu, teori ekosentrisme dengan segala kelebihannya kiranya masih perlu mempertimbangkan homosentris agar tidak mengaburkan konsep hak, sebab pengelolaan lingkungan bukan berarti manusia menghormati hak makhluk lain untuk eksis, melainkan lebih kepada kewajiban dan tanggung jawab manusia demi kelestarian dirinya dan generasinya sebagai ciptaan Tuhan yang menjadi pemelihara bumi dan segala isinya.</font></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"> </p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><font size="2"><b>Penutup</b></font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Cara berpikir antroposentris dalam berhadapan dengan alam tidak saja menempatkan manusia sebagai individu </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(res cogitans)</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> dan sebagai “titik pusat” alam </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(res extensa),</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> tetapi sekaligus “pusat” manusia-manusia lain. Sikap mementingkan diri, egosentrisme, dan insensitivitas sosial, tidak saja menggiring pada eksplorasi alam untuk kepentingan diri, dengan mengabaikan “hak alam” </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(right of nature</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE">), tetapi sekaligus “mengabaikan” hak manusia lain yang akan terkena dampaknya.</font></font></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Sikap antroposentrisme yang menguasai cara pikir kolektif bangsa tidak memberi ruang untuk hidupnya cara berpikir holistik </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(holistic thinking),</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> yang melaluinya dunia dilihat sebagai sebuah keseluruhan, keutuhan, dan kesalingberkaitan, yang di dalamnya bagian </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(each)</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> dilihat saling bersentuhan dengan keseluruhan </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(whole),</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> dan di antara keseluruhan tersebut, manusia tidak lagi menjadi “pusat dunia” atau penguasa alam, tetapi menjadi bagian “kehidupan bersama yang lain”, baik manusia-manusia lain dan alam</font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>.</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> </font></font> </p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Dalam cara berpikir holistik, keseluruhan </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(whole)</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> menentukan bagian-bagian </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(parts),</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> ketimbang bagian-bagian ”melalui sifat-sifat intrinsiknya” menentukan keseluruhan. Ketika seseorang (sebuah perusahaan) membakar hutan (tindakan individu), ia sudah menanamkan kesadaran dalam dirinya, tindakannya akan mempunyai efek kepada pihak lain </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(the others),</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> sehingga menuntut sikap kehati-hatian, kecermatan, rasionalitas, tanggungjawab, dan etika sosial. Inilah logika sederhana cara berpikir holistik yang di dalamnya menyentuh </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>deep ecology.</i></font></font></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Namun, mengapa “etika sederhana” ini tidak pernah menjadi bagian inheren kehidupan sehari-hari </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(lebenswelt) </i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE">bangsa, tidak mampu membentuk struktur dunia kehidupan sendiri? Dalam hal ini, “mengetahui” dan “menyadari” cara berpikir holistik </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(deep ecology)</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> tidak akan ada artinya bila tidak didukung sikap mental, kemauan politik, tekanan sosial dan “paksaan hukum” untuk mewujudkan cara berpikir itu dalam tindakan sehari-hari.</font></font></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><font lang="sv-SE">Orang yang mempunyai pengetahuan </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(knowledge)</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> bahwa tindakan merusak alam (termasuk membakar hutan) akan menimbulkan kerusakan ekosistem dan ketakutan manusia, tetapi mengabaikan pengetahuan itu, demi mendahulukan hasrat, kekuasaan </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>(power)</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> dan kepentingannya adalah “teroris ekologi” yang sebenarnya. Sehingga, tugas berat etikawan dan seluruh komponen semesta ini tidak hanya memerangi terorisme politik, terorisme ekonomi, tetapi juga terorisme ekologis, </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>eco-terrorism. </i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE">Bumi sedang membutuhkan ”pertobatan ekologis” untuk sebuah keadilan ekologi.</font></font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><font size="2"><b>Daftar Pustaka</b></font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font size="2">Abdul Irsan. </font><font size="2"><i>Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi.</i></font><font size="2"> Jakarta: Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu, 2007.</font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font size="2">Andalas, Mutiara. “Ekoteologi: Menebus Firdaus Dari Holocaust”. </font><font size="2"><i>Majalah Basis</i></font><font size="2"> Nomor 03-04, Tahun ke-57, Maret-April 2008</font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font size="2">Borrong, Robert. </font><font size="2"><i>Etika Bumi Baru.</i></font><font size="2"> Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.</font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font size="2">Buntaran, Freddy. </font><font size="2"><i>Saudari Bumi Saudara Manusia.</i></font><font size="2"> Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997.</font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font size="2">Brundtland, Gro, Harlem, et al. </font><font size="2"><i>Hari Depan Kita Bersama</i></font><font size="2">. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 1987</font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font size="2">Chang, William. </font><font size="2"><i>Bioetika. Sebuah Pengantar.</i></font><font size="2"> Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009.</font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font size="2">Kaligis, J.R.E; Kiswoyo, Samidjo B dan Miarsyah, Mieke. </font><font size="2"><i>Pendidikan Lingkungan Hidup.</i></font><font size="2"> Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, 2007.</font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font size="2">Keraf, Sonny A. </font><font size="2"><i>Etika Lingkungan.</i></font><font size="2"> Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.</font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font size="2">Sunarka, A dan Kristiyanto, A. Eddy (editor). </font><font size="2"><i>Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi. Tinjauan Teologis Atas Lingkungan Hidup.</i></font><font size="2"> Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008.</font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font size="2">Umbas, Michael F. </font><font size="2"><i>Sarundajang di Balik World Ocean Conference 2009.</i></font><font size="2"> Manado: CV. Minahasa Karsa Aksara MIKA Publishing, 2009.</font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font size="2">Ward, Barbara & Dubos, Rene. </font><font size="2"><i>Hanya Satu Bumi. Perawatan dan Pemeliharaan Sebuah Planit Kecil.</i></font><font size="2"> Jakarta: P.T. Gramedia, 1974.</font></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify" lang="sv-SE"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><font size="2"><b>Sumber Internet </b></font> </p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font style="color: rgb(0, 0, 255);"><a href="http://komunitaembunpagi.blogspot.com/2008/11/etika-lingkungan-sony-keraf.html"><font style="color: rgb(0, 0, 0);"><font size="2"><font style="text-decoration: none;">http://komunitaembunpagi.blogspot.com/2008/11/etika-lingkungan-sony-keraf.html</font></font></font></a></font><font size="2"> (diakses 4 Januari 2009).</font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font style="color: rgb(0, 0, 255);"><a href="http://walhijabar.blogspot.com/2008/01/pemberdayaan-masyarakat-dalam.html"><font style="color: rgb(0, 0, 0);"><font size="2"><font style="text-decoration: none;">http://walhijabar.blogspot.com/2008/01/pemberdayaan-masyarakat-dalam.html</font></font></font></a></font><font size="2"> (diakses 4 Januari 2009).</font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font style="color: rgb(0, 0, 255);"><a href="http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/4/25/o2.htm"><font style="color: rgb(0, 0, 0);"><font size="2"><font style="text-decoration: none;">http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/4/25/o2.htm</font></font></font></a></font><font size="2"> (diakses 5 Januari 2009)</font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font style="color: rgb(0, 0, 255);"><a href="http://ansel-boto.blogspot.com/2008/06/etika-ekologi-yang-biosentris.html"><font style="color: rgb(0, 0, 0);"><font size="2"><font style="text-decoration: none;">http://ansel-boto.blogspot.com/2008/06/etika-ekologi-yang-biosentris.html</font></font></font></a></font><font size="2"> (diakses 6 Januari 2009).</font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font style="color: rgb(0, 0, 255);"><a href="http://www.iwayanjhony.blogspot.com/2009/08/etika-lingkungan-sebagai-asas-moral.html"><font style="color: rgb(0, 0, 0);"><font size="2"><font style="text-decoration: none;">http://www.iwayanjhony.blogspot.com/2009/08/etika-lingkungan-sebagai-asas-moral.html</font></font></font></a></font><font size="2"> (diakses 8 Agustus 2009).</font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"> <font style="color: rgb(0, 0, 255);"><a href="http://docs.google.com/View?id=dccn4g6t_0d6hhpffs"><font style="color: rgb(0, 0, 0);"><font size="2"><font style="text-decoration: none;">http://docs.google.com/View?id=dccn4g6t_0d6hhpffs</font></font></font></a></font><font size="2"> (diakses 12 Agustus 2009).</font></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><br /></p> <p style="margin-left: 0.5in; text-indent: -0.5in; margin-bottom: 0in;" align="justify"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="justify"><br /></p> <div id="sdfootnote1"> <p class="sdfootnote" style="margin-left: 0in; text-indent: 0.5in;" align="justify"> <a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote1sym" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#sdfootnote1anc">1</a><font size="2"><font lang="sv-SE">Lihat misalnya Mutiara Andalas. “Ekoteologi: Menebus Firdaus Dari Holocaust”. </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>Majalah Basis</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> Nomor 03-04, Tahun ke-57, Maret-April 2008, hlm. 59</font></font></p> </div> <div id="sdfootnote2"> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in; line-height: 150%;" align="justify"> <a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote2sym" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#sdfootnote2anc">2</a><font size="2"><font lang="sv-SE">Lihat A. Sonny Keraf. </font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"><i>Etika Lingkungan</i></font></font><font size="2"><font lang="sv-SE"> (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hlm. 143-160</font></font></p> </div> <div id="sdfootnote3"> <p class="sdfootnote" style="margin-left: 0in; text-indent: 0.5in;" align="justify"> <a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote3sym" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#sdfootnote3anc">3</a><font size="2">Lihat di antaranya Michael F. Umbas. </font><font size="2"><i>Sarundajang di Balik World Ocean Conference 2009</i></font><font size="2"> (Manado: CV. Minahasa Karsa Aksara - MIKA Publishing, 2009), hlm. 115-121</font></p> </div> <div id="sdfootnote4"> <p class="sdfootnote" style="margin-left: 0in; text-indent: 0.5in;" align="justify"> <a class="sdfootnotesym" name="sdfootnote4sym" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#sdfootnote4anc">4</a><font size="2">Lihat William Chang. </font><font size="2"><i>Bioetika. Sebuah Pengantar</i></font><font size="2"> (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009), hlm. 164-167. Lihat juga Freddy Numberi “Panggilan Penyelamatan Bumi” Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dalam Umbas. </font><font size="2"><i>Ibid.</i></font><font size="2"> hlm. xxiv-xxviii</font></p> </div> Jhony Jhony Wayanhttp://www.blogger.com/profile/17639128159958253618noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2886431719523722445.post-9762093229566070522009-08-02T05:11:00.000-07:002009-08-02T05:14:45.076-07:00SEKULARISASI VIRUS BERWAJAH GANDA, WASPADALAH!<div align="center">SEKULARISASI VIRUS BERWAJAH GANDA, WASPADALAH!<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br /><br />Oleh: I Wayan Jhony<br /><br /></div><div align="justify">Pendahuluan<br />Sejak pertengahan abad 20 ada dua gejala sosial-budaya yang dominan muncul ke “dapur” wacana publik. Dua gejala ini nampaknya kontradiktif (= bertentangan) tetapi merupakan produk cultur (= budaya) yang sama, yakni globalisasi (bahkan juga modernisasi dan postmodernisasi). <br /><br />Gejala pertama adalah suatu fenomen transisi secara global dari menghormati Allah serta kerajaan-Nya ke pola hidup yang menjauhi atau menyangkal eksistensi Allah dan kerajaan-Nya. Sementara pakar menyebut fenomen demikian sekularisasi (prosesnya)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> dan sekularisme (pahamnya).<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> Antara proses (sasi) dan paham (isme) kadang-kadang sulit untuk dipisahkan namun lebih baik tetap dibedakan. <br /><br />Sedang gejala kedua adalah suatu sikap responsif masyarakat (agama) terhadap paham sekuler di atas. Sementara pakar menyebut fenomen demikian ini fundamentalisme (oleh karena porsi materi ini berbicara tentang sekularisasi dan sekularisme, maka fundamentalisme tidak akan dibahas di sini). Keduanya (sekularisme dan fundamentalisme), bagaimanapun, merupakan suatu impact perjumpaan antar kebudayaan dalam komunitas global, baik yang belum maupun sudah sangat sekuler.<br /><br />Masyarakat yang tadinya homogen kini diancam oleh kekuatan revolusioner yang disebut sekularisme. Ironisnya, sekularisme menjadi semacam “agama” dengan ber-tuhan-kan hal-hal jasmani sembari menolak hal-hal rohani. Masyarakat agama yang tadinya terikat oleh kesatuan sosial-budaya, direkatkan dalam ikatan kasih persaudaraan yang murni, kini memasuki suatu perjumpaan dengan kesatuan sosial-budaya yang dominan bebas.<br /><br />Perjumpaan ini tidak terelakkan, baik secara lokal maupun global, antar dan inter ciptaan. Akibatnya, “perekat sosial budaya” yang telah lama mengikat kesatuan sosial masyarakat dalam ikatan kasih Kristus dengan sendirinya mengalami ketegangan (tension) yang mengarah kepada krisis, krisis yang bermuara pada ke-murtad-an total. Oleh karena itu, “monster raksasa” yang disebut sekularisasi dan sekularisme yang juga disatu pihak merupakan kesempatan patut ditelaah secara kritis. Bila tidak, paham ini akan menjadi virus beracun yang siap meracuni pola persekutuan gereja.<br /><br />Membidik Kondisi Umum Negara Sekuler<br />Sekularisme adalah paham dalam budaya yang sangat menghargai pola hidup dunia secara berlebihan dengan segala kenikmatan dan kebebasannya sembari menjauhi Allah dan gereja-Nya. Akibat penghargaan yang berlebihan terhadap soal-soal duniawi itu, maka banyak orang (termasuk orang Kristen) tidak lagi merasa perlu beribadah kepada Allah melainkan kepada “dirinya sendiri” dan menganggap dirinya atau dunia ini sebagai “allah kecil”. Sehingga banyak orang Kristen dengan mudah dapat menolak segala sesuatu yang sesungguhnya harus diterima dengan iman kepada Allah.<br /><br />Berkaitan dengan penolakan tersebut, Proffesor Harold A. Netland dari Trinity Divinity School Amerika Serikat mengatakan bahwa sumber kepercayaan manusia sekarang ini ada dalam pribadinya tanpa ada pengaruh luar atau yang disebut faktor X. Itu berarti dunia nyata, hanya dapat dialami oleh panca indera manusia yang disebut kebenaran umum. Kebenaran umum pun hanya dapat dibuktikan via rumus-rumus dan peraturan ilmu pasti. Karena iman kepada Allah tidak dapat dibuktikan oleh panca indera manusia, maka Netland menyimpulkan bahwa iman kepada Allah bukanlah kebenaran umum. Iman hanyalah semacam pendapat pribadi yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan karena itu, orang merasa tidak perlu beriman kepada Allah apalagi harus terikat pada aturan agama.<br /><br />Dalam konteks Eropa misalnya, telah terjadi ketegangan antara dogma agama dengan ilmu pengetahuan yang menyebabkan kelumpuhan nilai-nilai kekristenan. Bila dulu kawasan Eropa dikenal sebagai “benua Nasrani” kini sudah tidak lagi, karena 60% warganya mulai atau bahkan sudah tidak pernah beribadah. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a> Di Nederland (tepatnya Amsterdam) 200 tahun lalu penduduknya 99% Kristen, tapi sekarang tinggal 10% yang dibaptis dan pergi ke gereja. Kebanyakan mereka tidak terikat lagi dengan suatu agama (tepatnya, sudah jadi sekuler). Di Eropa Timur sejak komunis runtuh, hanya orang-orang tua yang beribadah.<br /><br />Di Jerman, juga telah terjadi kemerosotan jumlah orang Kristen beribadah dan membaca Alkitab sekitar 57%.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> Di Finlandia, penduduknya 97% Kristen tapi yang ibadah 3%. Dua pertiga warga gereja tidak pernah baca Alkitab dan hanya 25% yang masih berdoa. Para pelajar di lembaga-lembaga pendidikan Kristen pun kini sudah tidak punya kewajiban untuk menerima pelajaran agama Kristen. Para pelajar sepenuhnya diberi hak bebas untuk memilih kepercayaan sendiri, beragama atau juga hak untuk tidak beragama.<br /><br />Gereja Protestan di Baden (Jerman) dan Sekularisme<br />Gereja-gereja di Jerman tidak hanya menghadapi sekularisme modern, melainkan juga kebangkitan agama-agama sebagai gejala masyarakat pasca modern dengan segala bentuk yang dalam perkembangannya berjalan bersama. Kondisi ini antara lain disebabkan karena masyarakat Eropa semakin jenuh dengan teknologi yang modern dan canggih, yang tidak bisa memenuhi kebutuhan rohani (“spiritual”) mereka. Sehingga akhirnya masyarakat pasca modern berbalik kepada agama dan mencari lembaga agama untuk melayani kebutuhan rohani mereka, jadi bukan agama yang mengarahkan mereka.<br /><br />Mengutip pendapat sosiolog Jerman bernama Max Weber, lembaga-lembaga masyarakat di Eropa semakin memisahkan diri dari gereja dan menjadi semakin otonom. Sehingga akhirnya gereja hanya relevan bagi kehidupan pribadi saja. Karena gereja kurang relevan, maka warganya menjadi semakin kurang aktif. Tapi kita harus hati-hati supaya dalam upaya melawan “anak haram” itu jangan sampai malah “membunuh ibunya”. Maksudnya, jangan sampai begitu berkobar-kobar melawan sekularisme sampai mengorbankan kemerdekaan orang Kristen dan jatuh ke dalam fundamentalisme, fanatisme dan legalisme.<br /><br />Gereja Protestan di Baden tidak hanya menghadapi sekularisme sebagai “musuh” di luar, melainkan mengalami banyak pengaruh dari sekularisasi dan sekularisme tersebut. Seperti gereja-gereja lain di Eropa, Gereja Baden mengalami kemerosotan baik dari segi jumlah warga maupun dari segi keaktifan warga tersebut.<br /><br />Dalam kebaktian minggu dan dalam acara gerejawi lain, pendeta-pendetanya harus senantiasa menyadari bahwa dasar pengetahuan tentang iman Kristen di antara banyak warga jemaat sudah menjadi tipis sekali, sehingga khotbah dan katekisasi harus mulai dari hal yang sederhana sekali.<br /><br />Jika sebagian besar warga gereja menganggap seks sebelum menikah, pasangan yang hidup bersama tanpa menikah dan pasangan homoseks, lesbi sebagai hal yang biasa, maka gereja di Baden Jerman tidak bisa setegas gereja-gereja di Indonesia terhadap masalah-masalah itu. Kalau misalnya suatu pasangan sudah bertahun-tahun tinggal bersama (tanpa menikah) lalu minta diberkati di gereja, pendeta tidak bisa menegurnya, melainkan malah harus bersyukur bahwa mereka akhirnya mau menikah.<br /><br />Mencermati kondisi demikian maka Gereja Protestan di Baden mengantisipasi sekularisme dan kebangkitan agama-agama dengan sangat serius. Sekularisme-lah yang membuka mata banyak gereja di Eropa untuk menerima penginjilan kembali. Karena yang beragama Kristen belum tentu beriman Kristen pula.<br /><br />Berdasar hal itulah maka Gereja Protestan di Baden memiliki begitu banyak program penginjilan. Diantaranya, Lembaga Penginjilan Rakyat (Volksmissionarisches Amt), Akademi Kristen (Evangelische Akademie), Pelayanan Radio Kristen (Evangelischer Rundfunkdiest) dan Permulaan Baru (Neuanfangen), sebuah metode penginjilan lewat telepon <br /><br />Gereja Indonesia di Konteks Pergaulan Global Yang Sekularis<br />Kini oleh arus globalisasi dalam bidang komunikasi massa (literatur dan audio visual) kaum Nasrani bukan saja berjumpa dalam kesatuan sosial di locus-nya, melainkan berjumpa juga dengan komunitas negara-bangsa (nation-state). Perjumpaan ini bukan saja terjadi secara fisik (dengan berjumpa langsung), melainkan juga perjumpaan melalui ide dan nilai-nilai lewat media massa, mulai dari media cetak tradisionil sampai pada media elektronik modern (termasuk internet). <br /><br />Film porno (via VCD dan sejenisnya) yang beredar secara ilegal, tayangan yang disisipi filsafat kosong yang dominan bebas merasuk ke ruang elektronik kita, novel-novel yang merusak dan mengubah identitas, bahkan buku-buku ilmu pengetahuan yang kerapkali menyerang iman Kristen, merupakan instrumen globalisasi informasi yang bisa menggeser posisi Alkitab sebagai kumpulan Firman Allah.<br /><br />Fenomen ini menyatakan bahwa manusia sekarang (termasuk warga gereja) memasuki suatu pergaulan dengan masyarakat global majemuk yang berkarakter “gado-gado”. Indikasi ini bila tidak dikaji dengan kritis di bawah otoritas Ilahi sangat mudah membawa paham sekuler tertutup yang sama sekali menyangkal keberadaan Allah. Batas-batas persekutuan dan pergaulan warga gereja dalam suatu locus kehidupan menjadi kian melemah seiring dengan adanya kesadaran global dalam diri warga gereja bahwa ia juga telah menjadi satu bagian dengan komunitas dunia.<br /><br />Sesungguhnya kesadaran seperti itu tidak menjadi masalah jika disikapi secara arif dan kritis, tahu membedakan mana yang buruk dan mana yang punya nilai baik. Oleh sebab itu bila warga gereja tidak serius bergulat sebagai “ecclesia-militans” maka diperkirakan akan terjadi kelumpuhan iman Kristen. Artinya, jika pengaruh iman terhadap kebudayaan global semakin berkurang sedangkan pengaruh kebudayaan global terhadap iman Kristen bertambah maka perkiraan di atas, cepat atau lambat akan menjadi kenyataan (munculnya gaya hidup hedonis, mamonis, individualis, spiritualis, okultis, tetapi juga rentan fundamentalis yang sektarian). Inilah ancaman serius dalam pola persekutuan Kristiana dan Kristiani abad baru yang patut dikritisi oleh berbagai kalangan, termasuk pelayan gereja sendiri.<br /><br />Ke Manakah Arah Gereja-Gereja di Indonesia?<br />Melihat kondisi Indonesia yang notabene heterogen (= majemuk) sangatlah rumit untuk menunjuk ke mana arah gereja di Indonesia. Alasan mendasar adalah kondisi masyarakatnya yang sebagian masih hidup dalam agama pra-modern, sebagian sudah mengalami sekularisasi modern, sebagian lagi mengalami kebangkitan agama-agama pasca-modern.<br /><br />Sesungguhnya tidak ada resep paten atau obat mujarab untuk mengatasi sekularisme di Eropa apalagi untuk mengantisipasinya di Indonesia. Namun beberapa saran sederhana bagaimana gereja-gereja di Indonesia termasuk GMIM dapat mengantisipasi sekularisme.<br /><br />Dalam arti tertentu, umat Kristiani di Indonesia justru mengharapkan agar masyarakat Indonesia akan semakin jenuh dengan fanatisme agama dan dengan dominasi agama tertentu, seperti masyarakat Eropa menjadi jenuh mulai abad ke-17. Namun, gereja-gereja di Indonesia perlu berupaya agar kejenuhan itu tidak menuju ke sekularisme, melainkan mengakibatkan ‘kebangkitan Pancasila’ sebagai jalan keluar yang khas Indonesia. Kalau pada tahun 1984 gereja-gereja di Indonesia ‘setengah terpaksa’ menerima Pancasila (versi orba) sebagai azas berbangsa dan bernegara, sekarang gereja-gereja menjadi pihak pertama yang diharapkan mampu mempertahankan Pancasila (versi reformasi).<br /><br />Melalui perkembangan sekularisme, gereja-gereja (dan umat beragama lain) di Indonesia tidak bisa lagi menganggap setiap orang beragama sebagai orang beriman pula, melainkan harus membedakan antara warga yang tercatat sebagai anggota salah satu umat beragama dengan orang yang betul-betul beriman. Itu tidak berarti kita menilai iman seseorang, tetapi paling tidak kita harus sadar bahwa sebagian dari anggota umat beragama ada yang tidak atau kurang beriman atau setidak-tidaknya kurang merelevansikan iman itu dalam kehidupan mereka.<br /><br />Untuk mendaratkan pelayanan kepada warga gereja yang semakin sekuler, gereja-gereja di Indonesia harus semakin berfikir untuk memakai pendekatan dan metode baru (berfikir ‘kreatif’). Gereja-gereja ‘arus utama’/anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia harus siap ‘bersaing’ dengan gereja-gereja kharismatik dan dengan umat beragama lain dengan memakai cara yang wajar.<br /><br />Demikian juga tata susila yang berlaku sejak dulu (etika tradisional) harus dipertanggungjawabkan secara baru, nilai-nilai yang baru (seperti emansipasi wanita, pelestarian lingkungan hidup, dll) harus dikembangkan oleh gereja.<br /><br />Sampai batas tertentu, gereja-gereja harus menyesuaikan diri dengan sikap warganya di kota yang semakin suka menyendiri (individualistis). Maka persekutuan dan kelompok kecil akan lebih berhasil daripada kumpulan besar-besaran.<br /><br />Demikian juga kesaksian pribadi akan lebih berhasil daripada pelayanan lembaga gereja. Oleh sebab itu warga gereja harus dibina agar bisa bersaksi dengan baik. Dan dari segi lain, Gereja harus tetap terjun ke masyarakat dan ke dunia politik dengan cara yang bisa diterima dan malah bekerjasama dengan kelompok masyarakat lain, agar gereja jangan hanya relevan untuk kehidupan pribadi saja. Dengan demikian sekularisasi modern (serta kebangkitan agama pasca-modern) malah bisa menjadi peluang (berkat) untuk gereja.<br /> <br />Kembali Ke Alkitab<br />Warga gereja (sekarang ini) hadir bukan dalam ruang hampa melainkan di tengah kondisi dunia yang sarat perkembangan dengan kekuatannya yang revolusioner. Oleh karena itu gereja melalui program pelayanannya ditantang mau dan mampu memandang realitas sekularisasi, sekularisme dan aliran yang ada di sekitarnya sebagai tempat untuk bertindak, agar gereja tetap eksis dan enjoy dalam benteng Firman Allah. Sebab gereja tidak beriman karena mempertahankan diri secara introvert dan eksklusif dari sekularisme (dan isme-isme lain) melainkan iman yang “militan” dengan buah banyak bernuansa kemerdekaan. Karena itu kembali ke ajaran Alkitab tetap merupakan solusi terbaik. Tokoh-tokoh Alkitab (seperti Daniel, Yusuf dan lain-lainnya) patut diteladani tanpa harus terpaku pada pengalaman hidup mereka yang juga negatif di satu sisi.<br /><br />Pelayanan dari, oleh dan untuk warga gereja, jangan hanya dibatasi oleh tembok-tembok formalitas dan institusional tetapi juga menyentuh sampai ke kehidupan konkrit mereka dalam keluarga dan fungsi-fungsi mereka setiap hari secara “come structure” dan “go structure”. Serta tidak melihat gereja sebagai sebuah “restoran” yang apabila menunya sesuai selera dipuji dan disanjung tetapi jika tidak, gereja dimaki dan ditinggalkan.<br /><br />Penutup<br />Sekalipun sekularisasi, sekularisme dan fundamentalisme muncul di tengah dunia kekristenan, namun hal tersebut kini menjadi ancaman serius bagi seluruh agama. Juga dengan perkembangan media komunikasi (literatur dan audio visual) sekularisasi, sekularisme dan aliran lainnya dapat mewabah ke seluruh dunia, termasuk Indonesia yang di dalamnya locus pelayanan Jemaat GMIM “Ekklesia” Wengkol Wilayah Tondano Satu.<br /><br />Uraian-uraian di atas menyadarkan, bahwa warga gereja sedang mengalami suatu kehidupan bersama di dunia yang satu, di mana yang sekuler dan sakral, yang jasmani dan rohani bertemu. Hal ini serta merta turut mencipta suatu kehidupan sosial yang sekularis.<br /><br />Mampukah warga gereja tidak terkontaminasi oleh virus sekularisme dan isme-isme yang lainnya? Jawabannya tegas: pasti mampu jika warga gereja menjaga bentuk persekutuan dan pergaulannya sesuai dengan Firman Allah. Oleh karena itu, waspadalah, karena salah mengelola, maka peluang yang di bawa sekularisasi, akan menjadi virus beracun yang membahayakan pertumbuhan iman.<br /><br /> </div><div align="justify"> </div><div align="justify">CATATAN<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a>Dalam judul “Sekularisme, Tantangan Pelayanan GPID Abad 21” tulisan ini pernah dimuat dalam Buletin Empati Edisi 1/Tahun I/Januari-Maret 2000 halaman 7-9 dan Empati Edisi 2-3/Tahun I/2000 halaman 28-30 sesuai hasil reportase saya terhadap seminar “Pemuda Gereja Versus Sekularisme” dalam rangka HUT XXXV GPID bersinode 4 April 2000 oleh Pdt. Dr. Christian Gossweiller (Pendeta Gereja Protestan di Baden Jerman). Juga dengan judul “Sekularisme dan Aliran-Aliran di Sekitar Gereja” saya bawakan pada Pembinaan dan Pembenahan Pelayanan Kategorial Jemaat GPID “Pniel” Palu di Bukit Doa “Karmel”, Minggu, 12 November 2000. Bahan-bahan tersebut saya olah kembali menjadi bahan untuk konven Pelayan-Pelayan Khusus seri-3 di Jemaat GMIM “Ekklesia” Wengkol Wilayah Tondano Satu, Rabu, 2 April 2003.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a>Dalam arti luas dipakai untuk menyebutkan suatu proses di mana gereja semakin ditinggal oleh anggotanya dan pengaruh gereja di masyarakat semakin merosot. Jadi sekularisasi dipakai untuk menyebutkan suatu perkembangan dalam masyarakat yang diamati saja dan sulit dikendalikan.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a>Sikap yang sengaja dipilih oleh seseorang dengan menjauhkan diri dari gereja dan menyangkal otoritas Ilahi.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a>Interview saya dengan Virgil P. Cruze, Proffesor pada Louisville Presbyterian Theological Seminary, Juli 1998 di Tomohon.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a>Berdasarkan hasil Survey Institute for Public Opinion Research Allensbach, Tahun 1997.</div>Jhony Jhony Wayanhttp://www.blogger.com/profile/17639128159958253618noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2886431719523722445.post-10391889937136233182009-08-02T05:08:00.000-07:002009-08-02T05:10:57.939-07:00PELAYAN KHUSUS (DI) GEREJA:KARISMA, KARAKTER DAN KOMITMENNYA<div align="center">PELAYAN KHUSUS (DI) GEREJA: KARISMA, KARAKTER DAN KOMITMENNYA<br /><br />Oleh: I Wayan Jhony<br /><br /></div><div align="justify">Pada prinsipnya (baik secara sosiologis maupun teologis), setiap orang adalah pelayan yang “bertugas” atau “dipercayakan” untuk melaksanakan tugas pelayanan (memantapkan profil gereja dan profil masyarakat). Secara sosiologis berarti, setiap pribadi adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa kehadiran orang lain (kebutuhan saling melayani). Sedangkan secara teologis artinya, bahwa semua orang percaya (imamat am) adalah pelayan (memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari TUHAN sebagaimana disebutkan dalam 1 Petrus 2:9-10). Kedua prinsip ini, pada akhirnya membenarkan apa kata Robert Greenleaf, “bahwa setiap orang dilahirkan sebagai pelayan, dan bukan sebagai pemimpin”.<br /><br />Dunia yang semakin kering dan keras ini, sedang membutuhkan pemimpin penyejuk bumi, pemimpin berjiwa patriotik, tepatnya: pemimpin yang bermental pelayan (hamba dan gembala). “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10:42b-45).<br /><br />Menjadi pelayan khusus (di) gereja memiliki sisi yang mempesona dan tidak mempesona. Mempesona (glamorous) artinya, bahwa tugas menjadi pelayan khusus itu (gradual maupun otomatis) dapat melahirkan popularitas, kehormatan, kebanggaan dan kepuasan tersendiri bagi penyandang jabatan pelayan khusus (bdk. 1 Timotius 5:17, Markus 10:29-30). Karenanya, tidaklah mengherankan, jika jabatan sebagai pelayan khusus (sering) menjadi rebutan banyak orang (bahkan ber-ambisi). Sedangkan tidak mempesona (non glamorous), berarti bahwa tugas menjadi pelayan khusus itu (gradual maupun otomatis) dapat menghilangkan dimensi glamorous menjadi pelayan khusus, kehilangan harga diri (bdk. Markus 8:34), lahirnya penolakan, bahkan dimusuhi dan dibenci banyak orang (bdk. Matius 10:22).<br /><br />Asal-usul saya dan saudara-saudara berbeda, umur kita berbeda, jam terbang kita berbeda, pendidikan kita berbeda, status sosial kita berbeda, track record kita juga berbeda. Tetapi ada satu yang sama dan senantiasa tidak dapat kita ubah: saya dan saudara-saudara adalah pelayan (malah pelayan yang di-khusus-kan). Itu jabatan kita, itu hakikat kita, dan itu pula status kita. Jika pelayan khusus adalah jabatan, hakikat dan status kita, mengapa sering terjadi benturan dan atau krisis (krisis ke-pelayan-an)? Dalam konteks persoalan inilah, masalah karisma, karakter dan komitmen saya kemukakan, untuk menjadi “santapan ringan” kita bersama dalam memaksimalkan fungsi jabatan, hakikat dan status kita.<br /><br />Karisma adalah istilah khas Yunani, dari akar kata karis yang berarti anugerah atau karunia. Karisma adalah hadiah yang datangnya tanpa kita duga sebelumnya. Suatu pemberian istimewa (khas, khusus) dari Allah berdasarkan kemurahan hati Allah sendiri (bukan karena kita berhak menerimanya). Ada rupa-rupa karisma sebagaimana diungkap oleh Rasul Paulus dalam 1 Korintus 12:4. Contoh karisma adalah melayani, mengajar, memberi, berkhotbah, menjadi nabi, bahasa lidah, bernubuat, menyembuhkan, dan sebagainya (lihat misalnya Roma 12, 1 Korintus 12-14, Efesus 3-4, 1 Petrus 4). Karisma adalah kemasan dari suatu produk. Disinilah letak daya tarik seorang pelayan dan atau pelayan khusus itu.<br /><br />Karakter bisa diartikan sebagai tabiat, watak, tingkah laku atau kelakuan seseorang. Karakter menunjukkan siapa sebenarnya kita. Jika karisma adalah kemasan dari suatu produk, maka karakter adalah keunggulan produk dimaksud. Konsumen akan sangat kecewa apabila kualitas produk yang dibeli tidak sebaik kemasannya. Untuk menguji kualitas dan keunggulan suatu produk, maka produk itu harus dicoba terlebih dahulu. Untuk menguji karakter seorang pelayan khusus, maka ia harus hidup dan melibatkan diri dalam pelayanan dan kehidupan nyata. Keunggulan produk ditentukan oleh keunggulan kemasan dan produk itu. Keunggulan seorang pelayan khusus dan pelayanannya ditentukan oleh karisma dan karakternya.<br /><br />Karisma tanpa karakter adalah mustahil untuk memaksimalkan fungsi jabatan, hakikat dan status kita sebagai pelayan khusus. Karisma membutuhkan karakter untuk membuktikan keunggulan atau kualitas suatu produk. Akan tetapi, karisma Ilahi, karakter yang mapan, tanpa adanya komitmen dalam memaksimalkan fungsi jabatan, hakikat dan status sebagai pelayan khusus adalah kebohongan. Karisma dan karakter membutuhkan komitmen sebagai perekat. Jika karisma adalah input (masukan, pemberian) Ilahi, maka karakter adalah output (proses keluar, hasil) manusiawi. Diantara yang Ilahi dan manusiawi ini dibutuhkan komitmen manusiawi sebagai daya perekatnya (the adhesive capacity).<br /><br />Komitmen secara umum adalah kontrak sosial (sosiologis) dan sekaligus kontrak batin (teologis) seseorang yang ingin diwujud-nyatakannya dengan sungguh-sungguh tanpa memperhitungkan untung-rugi (tanpa tedeng aling-aling). Seluruh hidup Tuhan Yesus sampai dengan mati-Nya adalah dalam rangka mewujud-nyatakan sebuah komitmen. Marilah kita jadikan definisi komitmen yang sifatnya umum di atas, menjadi lebih sederhana dan spesifik, sekaligus berkaca dari komitmen pelayanan Yesus.<br /><br />Pertama. Tuhan Yesus, tahu benar untuk apa Dia hidup (misi). Dia tahu benar apa yang ingin Dia capai (visi). “Sebab Aku telah turun dari sorga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku” (Yohanes 6:38). Ini amat penting. Kita tidak bisa mempunyai komitmen apabila kita sendiri sebagai pelayan khusus tidak tahu apa yang mesti kita “komitmeni”, tidak tahu apa yang hendak dicapai, tidak tahu apa yang hendak dikerjakan. Sekedar tahu apa yang hendak dicapai, apa yang hendak dikerjakan juga tidaklah cukup. Kita harus merasa terdorong dengan amat kuatnya dari dalam (refleksi batin) untuk mewujudnyatakannya.<br /><br />Kedua. Menterjemahkan visi dan misi dalam hidup (melalui seluruh sikap, cara berpikir, tutur kata, dan tindak tanduk kita). Seluruh hidup Yesus adalah 100% itu. Dibuka dengan godaan Iblis di padang gurun (lihat Matius 4:1-11), dan ditutup dengan pergumulan hebat di Taman Getsemani (lihat Matius 26:39). Pokok persoalan di dalam dua peristiwa itu sama: pergumulan antara “melakukan kehendak sendiri” atau “melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku”. Sekali komitmen tetap komitmen, sekali merdeka harus merdeka. Komitmen adalah memandang ke satu arah dan berjalan ke satu tujuan. Tidak menyimpang ke kiri atau ke kanan. Tidak menengok ke belakang, tetapi terus menatap ke depan.<br /><br />Ketiga. Yesus, tidak saja tahu dan mampu menterjemahkan visi dan misi-Nya sebagai pelayan khusus Allah Bapa, tetapi juga mati di dalam komitmen. Yesus mati setelah usai melaksanakan kehendak Bapa-Nya. Itulah kerja Yesus di sepanjang hidup-Nya, hidup dan mati di dalam komitmen. Pasti tidak ada yang lebih melegakan di hidup ini, selain daripada dapat mengakhiri hidup dalam komitmen tanpa cela. Tidak perlu mentransfer “filsafat balon”, cukup dengan “filsafat telur”, sederhana namun cemerlang. Kita masih di dermaga pelayanan tahun pertama, mari mempertahankan karisma, karakter dan komitmen kita, sebab kita adalah sama: pelayan khusus yang diutus Bapa menjadi gembala.<br /><br />Yesus memanggil orang banyak dan murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku" (Markus 8:34).<br /> </div><div align="justify"> </div><div align="justify"><br /><br />Kepustakaan<br />Darmaputera, Eka. KETIKA TAKUT MENCENGKERAM. KUMPULAN RENUNGAN TENTANG KETEGUHAN DAN PENGHARAPAN. Yogyakarta: Gloria Graffa, 2002<br />Ismail, Andar. SELAMAT MELAYANI TUHAN. 33 RENUNGAN TENTANG PELAYANAN. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997<br />Lembaga Alkitab Indonesia. ALKITAB TERJEMAHAN BARU © 1974. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1998<br />Sjiamsuri, Lenardo, A. KARISMA VERSUS KARAKTER. MENUJU KEPADA KEUNGGULAN SEORANG PELAYAN TUHAN. Jakarta: Nafiri Gabriel, 2000<br />Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA. Jakarta: Balai Pustaka, 2002<br /><br /><br /><span style="font-size:85%;">Disampaikan Dalam Konven Pelayan Khusus 2005-2009 Jemaat GMIM Ekklesia” Wengkol, Wilayah Tondano Satu, Jumat 15 April 2005<br /></span> </div>Jhony Jhony Wayanhttp://www.blogger.com/profile/17639128159958253618noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2886431719523722445.post-33493980918101993772009-08-02T04:59:00.002-07:002009-08-02T05:08:07.829-07:00MISI GEREJA DALAM KONTEKS PENGUPAHAN PEKERJA<div align="center">MISI GEREJA DALAM KONTEKS PENGUPAHAN PEKERJA<br /></div><div align="center">Oleh: I Wayan Jhony<br /><br /></div><div align="justify">Konsep misi berwajah barat yang diwarisi oleh gereja-gereja reformasi di Indonesia, sudah waktunya untuk ditinjau kembali. Sebab pergumulan sosial, ekonomi, politik dan budaya Indonesia sangatlah berbeda dengan pergumulan di barat. Dengan demikian, warisan pemahaman tentang misi dari barat menjadi tidak relevan dalam konteks bangsa Indonesia yang tengah mereformasi diri. Olehnya gereja-gereja perlu berupaya sungguh-sungguh untuk merumuskan secara lebih bermakna panggilan misionernya. Jika rumusan tersebut sudah dihasilkan maka gereja-gereja di Indonesia akan menjadi gereja berwajah Indonesia yang hidup dan merasakan kehadirannya yang menyatu dengan konteks manusia yang menderita dan miskin.<br /><br />Kehadiran gereja haruslah membawa pembebasan bagi keterasingan dan kemelaratan manusia. Gereja harus bercermin pada pembebasan Yesus yang menjadi sempurna di dalam salib-Nya. Hal ini merupakan proklamasi pembebasan bagi semua orang yang mengalami penindasan dalam semua aspek kehidupan (sosial, ekonomi dan politik), baik laki-laki maupun perempuan, manusia pekerja maupun manusia majikan.<br /><br />Choan Seng Song menjelaskan,<br /><br />We want to stress that the mission of the cross proves to be ultimate fulfillment of what the mission of the exodus stand for, namely deliverance from social, economic and political bondage. The mission of the cross makes it possible for the coming into being a new man and woman becoming instrumental in a reshaping of a social order based on the ethic of love for the Kingdom of God.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br /><br />A. Gereja Dalam Memahami Persoalan Tentang Upah<br />Memberi respons dan menunjukkan sikap berpihak secara nyata kepada pekerja harian, merupakan panggilan misioner gereja­gereja di Indonesia dalam era reformasi. Panggilan untuk mengentaskan masalah upah rendah sebagai dampak dari pelaksanaan kebijakan pengupahan yang timpang sangatlah mendesak, karena nampaknya gereja-gereja di Indonesia belum melihat soal ini sebagai bagian integral dari misi gereja yang berintikan cinta kasih Allah.<br /><br />Berpihak pada pekerja menjadi penting, sebab dengan pemihakan itu gereja menjadi imitator Allah yang melalui paradigma eksodus jelas berpihak kepada kaum lemah. Maka mulai saat ini gereja harus mempunyai sikap option for the poor (berpihak kepada orang miskin).<br /><br />1. Upah Sebagai Permasalahan Misi Gereja<br />Alkitab memandang manusia pekerja sebagai "Gambar Allah" atau "Peta Allah" atau "Citra Allah" atau "Imago Dei" (Kej. 1:27). Seperti juga manusia lain yang secara kebetulan menjadi manusia majikan. Karenanya, pekerja sebagai manusia, memiliki harkat dan martabat yang sama dan terhormat yang diberikan oleh Allah dan melekat kepada hakikat kemanusiaan pekerja sebagai ciptaan Allah. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> Singkatnya: harkat kemanusiaan manusia yang sama itu, ada pada setiap manusia tanpa terkecuali, apapun status, profesi dan jabatannya. Ditegaskan :<br /><br />Manusia diciptakan sebagai mahluk yang hidup dalam persekutuan dan wajib mengatur kehidupan bersama bagi semua orang. Dengan demikian manusia mempunyai hak-hak, martabat dan kewajiban yang tidak boleh diambil oleh siapapun dan oleh kuasa apapun. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a><br /><br />Sejalan dengan itu, Eka Darmaputera menjelaskan,<br />... setiap orang adalah citra Allah, maka setiap orang mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi yang sama, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Perbedaan-perbedaan antara manusia yang bersifat kondisional dan eksternal tidak sedikitpun mengurangi atau menambah kesamaan (bukan persamaan!) nya di hadapan Allah dan di hadapan sesamanya. Setiap orang dan semua orang diciptakan sama berharganya di hadapan Allah apapun latar belakang rasial, warna kulit, tingkat budaya dan status sosial - ekonominya. Ini mengimplikasikan kewajiban setiap orang dan semua orang untuk mewujudkan kemanusiaannya yang umum sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai citra Allah: tanggung jawabnya yang penuh sebagai diri sendiri, tanggung jawabnya yang penuh untuk menghargai dan menjalin hubungan kebersamaan yang timbal balik dengan sesarna citra Allah, tanggung jawabnya yang penuh untuk memelihara dan mengelola alam ciptaan bagi kesejahteraan bersama bagi seluruh alam ciptaan, tanggung jawabnya yang penuh untuk membangun masa depan yang terbaik bagi generasi-generasi yang akan datang. Dan oleh karena itu juga kewajiban untuk melawan segala bentuk humanisasi, yaitu segala bentuk perlakuan yang tidak memperlakukan: manusia-baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, sebagai citra Allah, yang menghalangi manusia untk menghadirkan diri secara penuh dan otentik (sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai citra Allah .... negara dan kekuasaan itu ada untuk manusia, berkewajiban untuk menghargai dan rnelindungi harkat dan martabat manusia sebagai citra Allah ...<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a><br /><br />Keluhuran harkat dan martabat manusia pekerja sebagai peta Allah adalah diberikannya mandat kepada manusia untuk "memenuhi bumi dan menaklukkannya" (Kej. 1:28). Mandat Agung Allah tersebut adalah karunia istimewa dari Allah, supaya manusia pekerja dapat melanjutkan proses kehidupannya. Mandat tersebut, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, mengharuskan manusia untuk bekerja. Di dalam kerja, manusia mengekspresikan mandat itu <a href="http://unt.uk/">untuk</a> memenuhi makna kehidupannya. Oleh sebab itu, mandat yang mewujud dalam kerja, harus dilaksanakan sesuai dengan maksud Allah, yaitu memelihara keutuhan ciptaan Allah.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a><br /><br />Kerja adalah hakikat manusia (bdk. 2 Tes. 3:10). Kerja yang dipahami sebagai karunia Allah kepada manusia akan menjadi masalah, ketika kerja itu diselewengkan maknanya. Kerja akan menjadi beban, jika kerja dijadikan barang dagangan yang diperjual­belikan tanpa mempedulikan upah layak. Lain kata, mencegah manusia bekerja atau mempekerjakan manusia pekerja dengan upah yang tidak manusiawi adalah bertentangan dengan hakikat kemanusiaan manusia sebagai pekerja, lagi pula berarti gagal memenuhi tanggung jawab moral kepada Allah dalam diri sang pekerja.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a><br /><br />Dalam kondisi upah yang tidak layak, pekerja dan keluarganya, bagaimanapun tetap membutuhkan uang makan dan uang untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya. Maka dengan terpaksa “pekerja menjual” tenaganya kepada majikan. Pembayaran yang diterimanya pun sangat ditentukan oleh kalkulasi untung-rugi perusahaan. Upah ditetapkan oleh majikan serendah mungkin. Karena pekerja tergantung dari majikannya, maka upah yang sangat rendah sekalipun, terpaksa diterimanya.<br /><br />Dalam keadaan demikian upah pekerja harian akan menjadi suatu masalah misi gereja. Artinya, gereja harus melakukan pendekatan baru dalam menjalankan misi sesuai realitas dan kondisi sosial yang sudah berubah. Oleh karena itu, agenda misi gereja harus membawa perubahan terhadap sistem pengupahan yang eksploitatif dan menindas keluhuran martabat manusia pekerja Indonesia. </div><div align="justify"><br />2. Pengertian Paradigma, Misi dan Gereja<br />Bagian ini memusatkan perhatian pada pengertian paradigma dan pergeserannya dalam sejarah teologi misi. Kemudian diungkapkan hakikat misi dalam pengertian modern. Akhirnya dikemukakan pengertian gereja menurut konsep LDKG PGI. </div><div align="justify"><br />2.a. Paradigma dan Pergeserannya Dalam Teologi Misi<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a><br />Perkembangan era modernisasi telah menghadirkan beragam paradigma baru yang perlu diuji nilai keabsahannya. <br /><br />Banyak ahli (ilmu alamiah maupun sosial) dalam teorinya berupaya untuk mendefinisikan istilah "paradigma" ke dalam sebuah pengertian yang dapat diterima secara umum. Tetapi agaknya, hanya definisi Thomas Kuhn (ahli fisika dan sejarawan ilmu pengetahuan Amerika) yang terkenal. Walaupun Kuhn sendiri menggunakan istilah paradigma dalam 22 pengertian. Pandangan Kuhn banyak diterima, karena dalam pengertian-pengertian tertentu, Kuhn telah mengungkapkan dan membuat eksplisit apa yang menurut banyak orang ketahui secara implisit.<br /><br />Walaupun Kuhn sendiri membatasi teorinya hanya pada teori alamiah, tetapi dalam rangka studi teologi (menurut David Bosch) pandangan Thomas Kuhn mengenai pergeseran-pergeseran paradigma masih mempunyal relevansi yang kuat, tetapi dengan catatan, harus diterapkan secara hati-hati (kritis), khususnya pemahaman mengenai teologi misi.<br /><br />Pergeseran paradigma lahir sebagai akibat dari tidak mampunya model ilmiah yang ada untuk memecahkan persoalan­-persoalan yang muncul. Hal. inilah yang kemudian mengantar manusia untuk mencari suatu model atau struktur teoretis baru, yakni model atau struktur yang diharapkan siap dan dapat menggantikan yang lama. Hal inilah yang oleh Kuhn disebut dengan istilah paradigma "(Inggris, kata benda paradigm: model, pola, contoh)".<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a> Dalam buku “The Structure of Scientific Revolutions", Kuhn mendefinisikan "paradigma" sebagai,</div><div align="justify"><br />An entire constellation of beliefs, values, techniques, and so on shared by the members or a given community.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a> (Keseluruhan konstelasi dari kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, teknik-teknik dan sebagainya, yang sarna-lama dimiliki oleh sebuah masyarakat tertentu).<br /><br />Pergeseran pengertian paradigma dalam teologi memang sangat beralasan. Sebab menurut Kuhn, tak seorangpun dapat menciptakan suatu paradigma baru yang baku, yang dapat diterima setiap waktu dan masa. Paradigma itu sendiri lahir, berkembang dan menjadi "masak" di dalarn suatu konteks yang beraneka ragam. Artinya, paradigma lama akan menjadi usang (tapi tidak hilang, dapat terus hidup) dan muncul lagi suatu paradigma baru yang mulai diminati dalam jangka waktu tertentu saja.<br /><br />Namun demikian dewasa ini teori Kuhn dianggap sangat penting dalam hampir semua bidang keahlian, termasuk di dalam teologi. Harus diakui bahwa teori Kuhn mempunyai relevansi khusus dalam bidang teologi zaman sekarang, karena sifatnya praktis untuk semua disiplin dalam kerangka mencari suatu pendekatan den pemahaman yang baru tentang realitas. Inilah pencarian akan suatu paradigma yang baru.<br /><br />Menurut Kuhn (seperti dikutip Bosch), untuk memilih paradigma yang cocok tidak ada standar yang lebih tinggi dari persetujuan dalam komunitas yang relevan. Sebab sesungguhnya. tidak ada norma-norma atau nilai-nilai yang benar-benar tertinggi. Karena itu bagi umat Kristen, pergeseran paradigma hanya bisa terjadi apabila berdasarkan Injil den karena Injil, bukan untuk melawan Injil.<br /><br />2. b. Misi Dalam Pengertian Modern<br />Pengertian misi berkembang terus dan harus dipahami dalam konteksnya. "Amanat Agung" misi dalam Matius 28:18-20 dan Markus 16:15 yang menjiwai gereja zaman pencerahan merupakan panggilan untuk mengabarkan Injil kepada segala makhluk dan menjadikan segala bangsa murid-murid Yesus.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a></div><div align="justify"><br />Misi bukanlah suatu kegiatan fakultatif bagi gereja. Misi adalah hakikat keberadaan gereja. Gereja, apabila "berada oleh misi", haruslah memahami dengan jelas misi yang merupakan panggilannya, dan harus senantiasa dilengkapi dengan berbagai karunia sebagai bentuk dan sumber dari pada kehidupannya demi kesetiaannya dalam misinya. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a><br /><br />Dengan demikian misi seharusnya tidak lagi dilihat hanya dalam rangka mengkristenkan orang-orang bukan Kristen, melainkan harus dipahami dalam konteks yang lebih luas. Menurut Lima Dokumen Keesaan Gereja Bab I butir (9),</div><div align="justify"><br />Tugas penggilan gereja itu adalah kelanjutan dari misi Yesus Kristus, yang telah diutus Allah untuk menyelamatkan dunia ini dan memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah, Tugas panggilan gereja tidak pernah berubah disemua tempat dan dalam segala zaman. Sebab gereja hidup oleh Kristus dan bagi Kristus, dan Kristus itu tidak berubah, karena la adalah lama, kemarin, hari ini, besok dan selama­-lamanya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a><br /><br />Hakikat misi gereja di Asia telah dirumuskan dalam Sidang Raya Christian Conference of East Asia (CCEA) di Kuala Lumpur tahun 1959 yang menjelaskan, Gereja janganlah hanya memahami Kristus di tengah kehidupan yang berubah, melainkan berada di sana, menjawab kepada-Nya dan memaklumkan ketuhanan dan kehadiran-Nya. Itulah hakekat gereja dan untuk itulah hakekat kesaksiannya ditengah perubahan sosial di Asia masa kini. Adalah keyakinan kami bersama bahwa gereja hanya bisa menjadi efektif dalam pemberitaan tentang Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat apabila ia menjadi satu keikutsertaan penuh dalam kehidupan baru Asia. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a></div><div align="justify"><br />Di atas semua yang baru disebutkan, Gereja-gereja konsiliar, yaitu gereja-gereja yang melibatkan diri dalam gerakan oikumenis, pandangan yang baru sementara timbul dan berkembang mengenai metode-metode yang cocok untuk melaksanakan panggilan gereja dalam konteks modern. Manurut pandangan ini, Injil Lukas 4:16-21 merupakan acuan untuk menciptakan paradigma Missiologia baru dan menjadi dasar Alkitabiah untuk proses konsiliar yang sekarang disebut "Justice, Peace and the Integrity of Creation” (Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan). <a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a><br /><br />Dengan itu dimaksudkan bahwa misi gereja yang modern mestilah memperlihatkan program khusus kepada penderitaan manusia yang konkret. Sebab misi yang melalaikan hal tersebut tidak relevan dengan amanat Alkitab yang harus dipahami dalam konteksnya.</div><div align="justify"><br />Tidak hanya mereka yang normal dan sudah akrab saja yang termasuk dalam misi ini, tetapi juga mereka yang abnormal, mereka yang "aneh", orang asing, mereka yang berbeda dari kita, dan yang tersingkir. Sesungguhnya jika masyarakat baru ini tercipta dan benar-benar lahir dari saat masyarakat sejati dari anak-anak Allah ada, di mana bukan hanya hak-hak manusia tetapi martabat, rasa hormat dan kebebasan diberi keleluasaan ketika itu ada di tengah-tengah kita, maka kuasa teror akan berhenti. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a><br /><br />2.c. Gereja Menurut Naskah LDKG – PGI<br />Pengertian tentang gereja termuat dalam salah satu rumusan buku Lima Dokumen Keesaan Gereja produk Sidang Raya XII PGI 1994 di Jayapura terutama dalam Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) bab VI, butir (18),<br /><br />Roh Kudus menghimpun umat-Nya dari segala bangsa, suku, kaum, dan bahasa, ke dalam suatu persekutuan yaitu gereja, di mana Kristus adalah Tuhan dan Kepala (Ef. 4:3-16; Why. 7:9). Roh Kudus juga telah memberi kuasa kepada gereja dan mengutusnya kk dalam dunia untuk menjadi saksi, memberitakan lnjil Kerajaan Allah; kepada segala makhluk di semua tempat dan di separjang zaman (Kis. 1:8; Mrk. 16:15; Mat, 28:19-20). Dengan demikian gereja tidak hidup untuk dirinya sendiri. Sama seperti Kristus telah meninggalkan kemuliaan-Nya di Sorga, mengosongkan diri dan menjadi manusia (Yoh. 1:14; Flp. 2:6-8), dan tergerak hati-Nya oleh sebab belas kasihan kepada semua orang yang sakit; lelah dan terlantar seperti domba tanpa gembala, demikian pulalah gereja dipanggi! untuk selalu menyangkal diri dan mengorbankan kepentingannya sendiri, agar semua orang yang menderita karena pelbagai penyakit dan kelemahan yang merindukan kelepasan, dapat mengalami pembebasan dan penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus (Mat. 9:35-38; Luk. 4:18-19). Dengan demikian, gereja dan warganya akan dapat menghayati dengan sungguh-sungguh makna dari baptisan dan perjamuan kudus yang senantiasa dilayankan bersama­-sama dengan pemberitaan Firman Allah di tengah-tengah ibadah gereja sebagai tanda keberadaan dan kekudusannya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a><br /><br />Gereja yang merupakan persekutuan orang percaya yang dihimpun oleh Roh Kudus Allah, diutus-Nya untuk menjadi saksi, memberitakan Injil di semua tempat agar semua manusia dapat mengalami pembebasan. Itulah misi gereja yang berasal dari Allah. Gereja berada di tangan Allah untuk menjalankan pekerjaan misi­Nya. Karena itu, gereja harus dipahami dalam pengertiannya yang hakiki, sebagai milik Allah "yang diutus ke dalam dunia".<br /><br />Banyak kiasan dalam Alkitab yang dipakai untuk memberi gambaran kepada <a href="http://keberadei.an/">keberadaan</a> atau eksistensi gereja. Di antaranya eksistensi gereja sebagai Tubuh Kristus (Ef. 1:22; Kol. 1:18; 1 Kor. 12:27), dan gereja sebagai arak-arakan umat Allah (Kej. 12:3; Mzm. 84:8; Yes. 2:23; Ibr. 12:1; Kis. 1:8).<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a><br /><br />Sehubungan dengan keberadaan gereja sebagai arak-arakan umat Allah yang terus berada dalam perjalanan menuju kepenuhan di dalam Kerajaan Allah, LDKG PGI bab VI, butir (19)<br /><br />la dituntut untuk selalu terbuka kepada dunia ini, agar dunia ini terbuka kepada undangan Allah untuk turut serta di dalam arak­-arakan orang percaya menuju pemenuhan janji Allah akan Kerajaan-Nya di dalam Yesue Kristus (1 Ptr. 2:9; 5:15-16). Dengan senantiasa menguji setiap Roh, apakah roh itu berasal dari Allah (I Yoh. 4:1), Gereja dipanggil untuk membina hubungan dan kerjasama dengan pemerintah dan semua pihak di dalam masyarakat untuk mendatangkan kebaikan dan demi damai sejahtera bagi semua orang, dalam rangka mewujudkan dan mendirikan tanda-tanda Kerajaan Allah menuju kesempurnaan di dalam Yesus Kristus. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a><br /><br />Gereja sebagai arak-arakan umat Allah dalam kaitan dengan tugas-tugas gereja di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang sedang mereformasi diri, memerlukan suatu paradigma misi yang relevan dalam konteksnya. Dengan harapan, paradigma misi yang dihasilkan menjadi bagian dari arak-arakan yang berjalan dan merupakan pedoman bersama yang bersifat dinamis dan dikembangkan terus sesuai konteksnya.<br /><br />2.d. Hakikat Gereja Yang Bermisi Untuk Pekerja<br />Misi gereja harus mempunyai konteks dan kepastian. Misi gereja harus membawa peran konkret dalam mentransformasikan hidup masyarakat yang dipandang hina dan tersingkir ke arah hidup yang sejahtera dalam keadilan. Artinya, transformasi yang menciptakan masyarakat baru, di mana harkat dan martabat manusia dihormati. Inilah kabar baik yang merupakan inti dari pekerjaan misioner.<br /><br />Kabar Baik inilah yang memberi kehidupan kepada gereja, menjadi tanda hidup gereja. Inilah sebabnya mengapa dalam tradisi oikoumene yang baik, dikatakan bahwa misi adalah hidupnya, dan hidup gereja itu adalah misinya. Juga mengapa dikatakan bahwa misi gereja itu adalah menjadi gereja. Pada akhirnya inilah mengapa perhatian akan martabat dan hak asasi manusia tidak hanya menjadi bagian misi gereja, itu adalah jalan “menjadi gereja".<a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a><br /><br />Pekerjaan misioner gereja merupakan kelanjutan dari misi Allah. Gereja yang melaksanakan misi Allah adalah gereja yang senantiasa sadar akan dirinya sebagai "yang diutus ke dalam dunia". Sebagai "yang diutus Allah" dan menerima tugas "pengutusan" itu, gereja harus mampu memahami dan menjawab realitas sesuai metode yang cocok dengan realitas tersebut. Maksudnya, kepedulian misi gereja adalah kepedulian yang ditunjukkan oleh misi Allah, yakni berpihak pada yang lemah tanpa mengabaikan yang kuat. Kaum pekerja harian lepas merupakan salah satu di antara sederetan kelompok manusia yang lemah, yang kepadanya gereja harus menunjukkan rasa solidernya. Inilah tugas misioner untuk memberitakan keadilan Allah kepada orang-orang miskin. Suatu tugas yang merupakan bagian dari keseluruhan misi gereja di dunia ini. Realitas upah pekerja yang tidak layak haruslah menjadi agenda utama yang siap diperjuangkan oleh gereja.<br /><br />Kesiapan untuk memerangi realitas itu akan menjadikan gereja sebagai persekutuan yang hidup dan saling melayani. Inilah hakikat, gereja yang bermisi untuk pekerja, kelompok manusia yang diungkapkan sebagai golongan termiskin, tercecer, terjepit dan tersisih. "gereja harus berani menyatakan apa yang benar dan apa yang salah. Ia berani melakukan koreksi terhadap keadaan yang tidak benar".<a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn20" name="_ftnref20">[20]</a> Sebab tugas panggilan gereja adalah menampakkan "keesaan, kesaksian dan pelayanan dalam kasih serta usaha menegakkan keadilan".<a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn21" name="_ftnref21">[21]</a><br /><br />Jadi gereja sebagai suatu himpunan umat Allah dipanggil bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan menjadi alat Allah untuk menjalankan misi-Nya yang penuh solidaritas di tengah-­tengah dunia yang penuh pelecehan dan kekerasan. Agar menjadi memahami masyarakat manusia yang selama ini hidup di luar jangkauan misi gereja. Gereja harus berjuang secara aktif dan kreatif dalam upaya mencegah segala hal yang merongrong dan merendahkan harkat kemanusiaan manusia pekerja dengan sistem pengupahan yang tidak layak. Upaya tersebut merupakan "pembelaan dan penegakan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia".<a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn22" name="_ftnref22">[22]</a><br /><br />Perjuangan melawan ketidakadilan dalam soal pengupahan merupakan hakikat gereja yang bermisi untuk menyinarkan Injil ke dalam dunia pekerja. Itulah hakikat gereja yang berpihak.<br /><br />Istilah berpihak itu penting. Maksudnya bukan memusuhi yang lain-lain. Orang Kristen yang mengambil sikap mendukung dan solider dengan salah satu pihak tidak berarti membenci atau memusuhi pihak­pihak lain. Yesus melarang kita dengan keras untuk membenci dan memusuhi. Cinta kepada sernua merupakan tanda sikap Kristiani. Akan tetapi cinta pada semua tidak berarti bahwa kita tidak dapat berpihak atau berdiri di semua pihak. Hal itu tidak mungkin. Waktu, tenaga dan dana yang kita berikan kepada mereka yang tidak miskin dengan sendirinya tidak dapat kita berikan kepada mereka yang miskin, padahal mereka yang miskin membutuhkannya, jadi kita berpihak melawan mereka yang miskin. Begitu pula dalam situasi ketidakadilan, tidak ada sikap yang netral. Kalau seorang manusia diperkosa, kita tidak dapat rnengarnbil sikap "berpihak pada semua". Netral dalam situasi penindasan dan ketidakadilan adalah sama dengan mendukung penindasan dan ketidakadilan itu.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn23" name="_ftnref23">[23]</a><br /><br />3. Urgensi Paradigma Misi Gereja Bagi Pekerja<br />Hal yang memang tidak dapat dihindari dan masih terjadi di era reformasi bangsa ini adalah diberlakukannya kebijakan upah rendah melalui UMR. Kenyataan demikian menggugah semua insan untuk mencari solusi yang bersifat transformatif. Sebab kenyataan membuktikan di lapangan dan tidak dapat diingkari bahwa konsepsi keadilan yang kini berjalan, sangat jauh dari apa yang dikehendaki banyak pekerja. Keadilan yang dimaksud adalah suatu keadaan yang berdasar pada suatu hubungan antara majikan dan pekerja yang tidak eksploitatif dan menindas. Sehingga setiap .pekerja bisa mendapatkan. apa yang dibutuhkannya sebagaimana kontribusi yang dikeluarkannya.<br /><br />Disinilah sebetulnya muncul urgensi membangun suatu paradigma misi gereja yang menjadi acuan bersama bagi gereja yang berpihak pada pekerja: "menjadi gereja pekerja". Menjadi gereja pekerja adalah paradigma nilai yang memihak kepada kaum pekerja dalam keadilan. Paradigma ini tentu saja bukan untuk memberikan arti atas pengasingan pekerja, tetapi justru perlu diupayakan oleh gereja untuk mendorong ke arah transformasi struktur (sosial-ekonomi) yang ada dan membangunnya kembali menjadi suatu paradigma yang berlandaskan pada nuansa keadilan dan kebenaran. Sehingga kaum pekerja, bukan lagi menjadi pihak "alienasi" dan tercecer, tetapi menjadi pihak yang menjadi motor sekaligus penikmat kemajuan pembangunan era reformasi ini.<br /><br />Permasalahan rendahnya upah pekerja adalah permasalahan iman dan karena itu, gereja dipanggil untuk menjawab masalah ini dalam terang Injil. Sehingga mereka yang tersisih dan yang tidak di­perhitungkan dalam masyarakat menemukan kembali hakikat dirinya sebagai manusia yang bermartabat. Inilah bagian dari tanggung jawab moral gereja untuk mempertinggi hak-hak manusiawi yang luhur.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn24" name="_ftnref24">[24]</a><br /><br />4. Pengupahan Pekerja Dalam Rumusan LDKG – PGI<br />Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) adalah suatu pedoman bersama Gereja-gereja di Indonesia yang sifatnya dinamis dan di­kembangkan tentu sesuai dengan tahap-tahap perkembangan bersama melalui Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Lebih tepat, LDKG adalah visi sentral yang menjadi acuan pokok bagi gereja­-gereja di Indonesia. Dalam dokumen tersebut diatur bagaimana seharusnya gereja-gereja menjalankan misi bersamanya.<br /><br />Misi bersama ini harus dilihat sebagai misi yang mencakup tanggung jawab gereja untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa, oleh karenanya harus dilaksanakan bersama-sama oleh kami gereja­-gereja-Mu dengan titik pandang mengenai seluruh tanah air Indonesia sebagai suatu wilayah pelayanan dan kesaksian bersama kami. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn25" name="_ftnref25">[25]</a><br /><br />Dalam pemahaman tentang misi bersama itu, terkandung maksud bahwa realitas yang digumuli adalah kaum miskin, agar menjadi subjek dan bukan objek misi. Memang kini, tidak semua anggota gereja adalah orang miskin, tetapi mereka ditantang untuk menyamakan diri dengan kaum miskin. Bersekutu dengan mereka dalam perjuangan untuk mencapai pembebasan dari segala bentuk ketidakadilan.<br /><br />Perhatian yang lebih serius terhadap derita sesama bangsa yang miskin, dirumuskan<br /><br />Peran serta gereja-gereja yang mengabarkan Injil dalarn pembangunan Nasional menuntut Gereja untuk memberi perhatian khusus kepada orang-orang miskin dan tertindas, berhubung kemiskinan dan penderitaan sosial karena ketiadaan keadilan dan kedamaian adalah masalah-masalah yang peka dan mendesak untuk diatasi dalam era pembangunan ini.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn26" name="_ftnref26">[26]</a><br /><br />Dengan demikian diakui bahwa konsep tentang pengupahan pekerja tidak disebut secara langsung dalam rumusan LDKG-PGI. Tetapi bila dikaji secara lebih mendalam, maka secara implisit, hal itu sangat jelas diungkap dan diberi perhatian khusus. Sebab masalah pengupahan merupakan bagian dari keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Memang harus diakui bahwa,<br /><br />Gereja semula tidak, menyadari bahwa masalah kaum buruh bukan sekedar masalah adanya orang miskin dalam masyarakat. Akan tetapi sejak pertengahan abad ke-19 gereja mulai sadar akan tantangan permasalahan kaum buruh. Dobrakan terpenting adalah kesadaran bahwa masalah kaum buruh pada hakikatnya merupakan masalah keadilan tatanan bidang ekonomi. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn27" name="_ftnref27">[27]</a><br /><br />Memberi perhatian khusus kepada orang miskin berarti berjuang bersama mereka untuk memperbaiki keadaan mereka. Jika Allah dipahami sebagai yang memperhatikan, mengasihi, mencintai dan mengasuh kaum pekerja sebagai manusia miskin, maka manusia majikan dan gereja dipanggil untuk melakukan hal yang sama. Pekerja adalah bagian golongan manusia miskin yang tidak dapat membela dirinya sendiri bila mengalami penindasan dan perlakuan tidak adil menyangkut upah kerja.<br /><br />Dalam kaitan dengan ini, tepatlah ungkapan yang berbunyi, jika gereja tidak bersaudara dengan kaum miskin, maka ia tidak bersaudara dengan Kristus. Dengan demikian, kesetiakawanan gereja dengan kaum miskin menjadi salah satu tolok ukur kebenaran gereja. .... terdapat tuntutan agar gereja menyamakan diri dengan kaum miskin; gereja tidak hanya menjadi church for the poor, melainkan juga menjadi church of the poor. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn28" name="_ftnref28">[28]</a><br /><br />Cara memperlakukan orang miskin (kaum pekerja) merupakan indikasi dari penerimaan atau penolakan terhadap Kristus. Injil Matius menjelaskan,<br /><br />Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau? Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, SESUNGGUHNYA SEGALA SESUATU YANG KAMU LAKUKAN UNTUK SALAH SEORANG DARI SAUDARA-KU YANG PALING HINA INI, KAMU TELAH MELAKUKANNYA UNTUK AKU. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn29" name="_ftnref29">[29]</a><br /><br />Gereja harus sadar bahwa kaum pekerja adalah saudara yang secara khusus dititipkan Allah. Mereka perlu dan harus diberi perhatian khusus, sebab mereka dilupakan oleh "dunia". Kepada merekalah gereja harus berpihak dan "mencerminkan keadilan dalam nuansa kebebasan, saling percaya dan belas kasih yang solider dengan manusia pekerja".<a title="" style="mso-footnote-id: ftn30" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn30" name="_ftnref30">[30]</a><br /><br />B. Misi Gereja Tentang Pengupahan<br />Gereja-gereja di Indonesia adalah gereja yang diutus Allah dan menerima pengutusan itu sebagai tugas misionernya. Dalam semangat misionernya itu mengharuskan gereja peka dan selalu siuman mencermati berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Pada posisi demikian, gereja harus berani memerangi segala bentuk ketidakadilan yang terjadi di sekitar pelayanannya atau bahkan dalam pelayanannya sendiri. Kecermatan dan ketajaman gereja tidaklah sekedar berdimensi sosiologis etis, melainkan harus berakar dan bersumber dari Alkitab.<br /><br />1. Misi dan KPKC/JPIC<br />Di satu pihak, misi dan masalah Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) atau misi dan Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC), memang tidak dapat begitu saja disamakan. Tetapi di pihak lain, secara mendasar, keduanyapun tidak dapat dipisahkan. Gereja yang bermisi atau gereja yang menjalankan misi adalah gereja yang menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah. Ciri-ciri Kerajaan Allah, diantaranya adalah adil, damai dan utuh. Dengan demikian adalah menjadi tugas gereja dalam misinya untuk mengusahakan Keadilan. Perdamaian demi Keutuhan Ciptaan Allah. Artinya, gereja hanya mempunyai arti apabila ia terlibat dalam pelaksanaan misi Allah mewujudkan keadilan sosial.<br /><br />Bagi Gregorius Utomo,<br /><br />Gereja akan merupakan tanda yang jelas dam komunitas kaum beriman yang berjalan menuju Kerajaan Allah apabila di dalarn perjalanannya tersebut sungguh-sungguh peduli terhadap sesama umat, lebih-lebih mereka yang miskin, menderita/tertindas, di atau terpinggirkan. Untuk mereka dan dengan mereka inilah kita, gereja, membulatkan tekad dan pengabdian di bidang keadilan dan perdamaian. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn31" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn31" name="_ftnref31">[31]</a><br /><br />Dalam memproklamasikan program hidup-Nya, Yesus memaklumkan tahun Rahmat Tuhan atau Tahun Yobel (lihat Luk. 4:18-19). Proklamasi tahun pembebasan ini bukan hanya berlaku pada waktu maklumat ini diproklamirkan ketika Yesus mengunjungi Nazaret. Melainkan merupakan proklamasi Yesus yang berlaku kekal. Inti proklamasi Yesus itu adalah penghayatan-Nya terhadap kasih Bapa-Nya yang diamalkan dalarn seluruh hidup, karya dan dalam pelayanan-Nya. Kehadiran Allah yang berbelas kasih dalam diri Yesus menyatakan bahwa keadilan dan perdamaian yang baru dan abadi dinyatakan dalam integritas ciptaan.<br /><br />Reformasi adalah gerakan yang memperjuangkan terciptanya Keutuhan Ciptaan Allah. Suatu era baru yang memberi kesempatan kepada gereja untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran secara adil dan damai. Misi yang penuh dengan KPKC tidak mungkin dapat berhasil jika dilakukan hanya dengan berdoa, melainkan juga dengan memelihara segenap potensi-potensi yang diberikan Allah dalam nuansa keadilan dan perdamaian. Sebab wajah misi yang kontekstual dan relevan di era reformasi ini adalah "suatu wajah yang peka terhadap masalah-masalah Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan".<a title="" style="mso-footnote-id: ftn32" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn32" name="_ftnref32">[32]</a><br /><br />Konsep mengenai KPKC/JPIC tersebut nanti diberikan secara tersurat pada Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia (SR DGD) VI Vancouver (1983). Sebenarnya "benih" tentang hal itu sudah ada sejak SR DGD IV Uppsala (1968) dan SR DGD V Nairobi (1975). Sejak Uppsala dan Nairobi, Gereja-gereja sudah memberikan prioritas utama kepada orang-orang termiskin dari yang miskin.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn33" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn33" name="_ftnref33">[33]</a> Selanjutnya oleh Commision on World Mission and Evangelism (CWME) DGD dalam konperensinya di Melbourne (12-15 Mei 1980) telah memberikan perhatian kepada kaum miskin.<br /><br />Konperensi ini memusatkan perhatiannya kepada kaum miskin. Solidaritas dengan kaum miskin dianggap tugas utama dalam pekabaran Injil, perhatian ini dipertanggungjawabkan secara teologis, dengan menunjukan kepada kenyataan bahwa Yesus menyatakan perhatian khusus untuk kaum lemah dan kaum miskin.. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn34" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn34" name="_ftnref34">[34]</a><br /><br />Dengan perhatian seperti itu, menyatakan bahwa gereja­-gereja telah mulai memberikan perhatian khusus kepada orang miskin (pekerja) dan melibatkan diri dalam perjuangan mereka melawan struktur demi keadilan dan perdamaian.<br /><br />Konperensi yang diselenggarakan oleh CWME DGD berikutnya di San Antonio (1989), juga telah memahami misi itu dalam kerangka,<br /><br />Perdamaian, Keadilan, dan Keutuhan Ciptaan (Ing: Peace, Justice and the Integrity of Creation). Jadinya, sub tema: "Misi dengan cara Kristus” diberi arti bahwa Injil diberitakan dalam kerangka perdamaian dan keadilan komunitas manusia serta keutuhan ciptaan Tuhan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn35" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn35" name="_ftnref35">[35]</a><br /></div><div align="justify">2. Misi dan Hak Asasi Manusia Pekerja<br />Manusia pekerja yang dilanggar Hak Asasi Manusia-nya (HAM) merupakan objek pelayanan Guru Agung Yesus Kristus. Dengan demikian, menjadi tugas gereja juga harus berjuang mengatasi gejolak pelanggaran terhadap HAM pekerja. Manusia pekerja adalah manusia yang lama derajat kemanusiaannya dengan manusia majikan. Olehnya, gereja harus memperjuangkan keadilan bagi mereka yang terpaksa menerima pekerjaan dengan upah yang sangat rendah. Sebab pembayaran upah yang rendah merupakan eksploitasi terhadap HAM pekerja yang sudah bekerja.<br /><br />... Jika seorang pekerja sudah mencurahkan banyak tenaganya, ia berhak sekurang- kurangnya untuk menerima upah yang cukup untuk hidup layak. "Layak” paling minimal berarti, bahwa seseorang dapat melaksanakan kehidupannya serasi dengan martabatnya sebagai manusia, Upah layak ini tidak dinilai dengan berapa besarnya angka yang dibayarkan kepada masing-masing pekerja, .... yang penting ialah, bahwa upah yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok pekerja dengan keluarganya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn36" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn36" name="_ftnref36">[36]</a><br /><br />Kepedulian gereja dalam memperjuangkan upah yang layak bagi pekerja merupakan cermin ketaatannya kepada Allah untuk mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam konteks manusia pekerja yang menderita. Perjuangan menegakkan Hak Asasi Manusia pekerja untuk mendapatkan upah yang adil adalah perjuangan penuh resiko. Dengannya gereja diharapkan mampu untuk bersikap tegas dan berani dalam menegakkan HAM yang lemah.<br /><br />Sebab siapakah sebenarnya yang paling berkepentingan mengenai Hak Asasi Manusia ini, bila bukan mereka yang kecil, yang lemah, yang tak berdaya?! Kepada merekalah kata Tuhan, kita harus berpihak. Sebab bagaimanapun pernah dikatakan, "meskipun Dewi Keadilan itu digambarkan buta, kepada yang lemahlah ia berpihak.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn37" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn37" name="_ftnref37">[37]</a><br /><br />Keberpihakan yang demikian tercakup juga dalam Laporan Sidang Raya IV DGD (4-19 Juli 1968) Uppsala tentang masalah HAM butir (19),<br /><br />Semua pernerintah harus menerima dan menterapkan naskah­-naskah resmi PBB dan organisasi-organisasi Internasional yang lain untuk melindungi hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan asasi, dan yang memperjuangkan status sama daril kaum wanita serta partisipasi mereka yang penuh dalam masalah-masalah manusia. .... Gereja-gereja harus berusaha agar jemaat-jemaat mereka merasakan, bahwa dalam rnasyarakat modern di selur-uh dunia hak-hak pororangan tidak boleh tidak berhubungan berat dengan perjuangan untuk memperbaiki taraf hidup dari orang-orang yang tak mempunyai hak kemasyarakatan sepenuhnya di semua negara-negara.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn38" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn38" name="_ftnref38">[38]</a><br /><br />3. Misi dan Pembebasan<br />Ketidakadilan sosial dan penindasan terhadap manusia pekerja merupakan kenyataan yang merendahkan martabat manusia sebagai citra Allah. Fenomena demikian haruslah diperangi oleh gereja agar manusia pekerja dapat segera keluar dari situasi ketidakadilan sosial tersebut. Wujud perjuangan gereja untuk berpihak kepada pekerja itulah yang disebut pembebasan. Pembebasan yang dilakukan gereja merupakan penghayatan imanya dalam dunia sosial politik dan dalam arti ekonomis.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn39" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn39" name="_ftnref39">[39]</a><br /><br />"Praksis gereja yang membebaskan itulah yang dikenal sebagai teologi pembebasan yang secara historis berkembang di Amerika Latin"<a title="" style="mso-footnote-id: ftn40" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn40" name="_ftnref40">[40]</a> dan "Gustavo Gutierrez-lah yang populer disebut sebagat bapak teologi pembebasan, dengan diterbitkannya buku “A Theology of Liberation” pada tahun 1973.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn41" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn41" name="_ftnref41">[41]</a> Pesan utama teologi pembebasan adalah tindakan memerdekakan kaum miskin dan <a href="http://tertind.as/">tertindas</a> dengan cara yang adil. Pekerjaan misioner ini adalah mandat Allah yang dinamakan kepada gereja melalui tugas misionernya.<br /><br />Praktek teologi pembebasan dan mini Gereja tidak dapat dipisalikan. Ideologi pembebasan incanaug berbeda dengan misi Gereja, tet:api keduanya saling berkaitan. Praktek pembebasan sebagai suatu bentuk misi gereja adalah respons yang sejati terhadap pesan Yesus Kristus. Artinya, "pembebasan dilihat sebagai wujud kesatuan dengan misi Yesus Kristus sebagai pembebas, wujud penyembahan kepada Allah yang niendengarkan jeritan umat-Nva dan menghendaki keadilan".<a title="" style="mso-footnote-id: ftn42" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn42" name="_ftnref42">[42]</a><br /><br />Teologi pembebasan menekankan perjuangan bagi kelompok­-kelompok yang miskin, diperas dan terisolasi. Hal ini sejalan dengan kehadiran Allah membawa pembebasan bagi kaum tertindas. Dalam Lukas 4:18-19 Yesus menegaskan bahwa "Kabar Gembira" ditujukan bagi:<br /><br />Kaum miskin, orang-orang tahanan, orang-orang buta dan kaum tertindas. Di situ dijanjikan pembebasan dari penahanan, kebebasan bagi kaum tertindas, dan kemudian ditutup dengan pemakluman mengenai "tahun rahmat Tuhan" (atau juga sering disebut sebagai Tahun Yubile) dimana akan di adakan restrukturisasi tata-ekonomi masyarakat. Dikatakan bahwa pada akhir pembacaan itu Yesus mengatakan: "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya". (Luk. 4:22). Dengan kata-kata itu diartikan bahwa Yesus bermaksud menegaskan bahwa pemenuhan harapan Mesianis kini telah dimulai.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn43" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn43" name="_ftnref43">[43]</a><br /><br />Membela kepentingan mereka yang tertindas dan terisolasi, miskin dan lemah berarti juga memihak pada kepentingan kaum pekerja. Itulah cita-cita kemanusiaan yang disemangati oleh Injil Yesus Kristus. Lebih jauh Lith seperti dikutip oleh Banawiratma dan Suwarno mengucapkan kata-kata profetis tentang pembebasan.<br /><br />Apa yang sekarang ada, tidak akan tetap ada. Apa yang lemah, akan menjadi kuat; yang kuat menjadi lemah. Apa yang sekarang berjalan, akan berhenti, dan apa yang sekarang berdiri, akan jatuh. Zaman baru mulai menyingsing. Siapa bijaksana bersiap-siap menyongsong kedatangan-Nya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn44" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn44" name="_ftnref44">[44]</a><br /><br />Pemahaman tersebut mendorong gereja:<br />Untuk melihat bahwa tugas pembebasan bukannya tugas sampingan atau bersifat sekunder, komplementer belaka, melainkan ia adalah hakiki, integratif dalam cita-cita dari kemanusiaan itu sendiri.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn45" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn45" name="_ftnref45">[45]</a><br /><br />Pemahaman itu didasari atas pergumulan sesama bangsa yang dahsyat, agar mereka memperoleh makna, martabat kebebasan dan cinta. Di mana manusia menderita akan menemui kehidupan yang wajar dan benar dalam tubuh Kristus yang di dalamnya lahir solidaritas antar umat manusia ciptaan Allah.<br /><br />4. Sikap Misioner Gereja Atas Realitas Pengupahan.<br />Kepedulian terhadap kaum pekerja merupakan arah pelayanan gereja di waktu kini dan yang akan datang.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn46" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn46" name="_ftnref46">[46]</a> Rasa solidaritas cinta kasih demikian adalah bagiasi dari sikap gereja yang berpihak pada kaum miskin (option for the poor). Di dalam <a href="http://bagi.an/">bagian</a> ini, penulis mendeskripsikan makna dari Kerajaan Allah mendahulukan kaum miskin (preferential option for the poor).<br /><br />.... Dalam Perjanjian Lama praksis untuk memihak dan melayani kepentingan orang yang lemah dinampakkan dalam Hukum Taurat seperti tahun Yobel, tahun Sabat, persepuluhan, memungut riba pada sesama bangsa. Dalam Perjanjian Lama perhatian pada orang miskin tidak sekedar dilakukan dalam pemberian yang karitatif, tetapi ada upaya untuk melakukan perubahun/transformasi sosial ekonomi politik. Orang­-orang Lewi yang menjadi imam di Bait Allah bukan sekedar pelayan upacara agama, tetapi juga menjadi pelaku/mengelola persembahan persepuluhan untuk disalurkan pada orang miskin dan janda-janda.</div><div align="justify"><br />Dalam Perjanjian Baru, rombongan Yesus mengenal pula bendahara untuk mengelola bantuan pada orang miskin. Demikian juga jemaat pertama dalam Kisah Para Rasul sudah mengenal pelayanan orang miskin secara terorganisasi, Hal serupa juga dilakukan oleh jemaat sesudah Kisah Rasul di mana para imam mengelola persembahan orang kaya untuk melayani orang miskin.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn47" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn47" name="_ftnref47">[47]</a> </div><div align="justify"><br />Karena itu, tidak ada alasan bagi gereja untuk melalaikan panggilan misionernya: berpihak dan melayani orang lemah dengan menerapkan keadilan Allah. Sudah seharusnya pilihan mendahulukan kaum pekerja di era reformasi merupakan salah satu (bukan satu-satunya) inti perjuangan gereja-gereja Indonesia dalam melayani sesama bangsa yang menderita.<br /><br />"Perjuangan gereja terhadap HAM pekerja atas upah layak harus menjadi prioritas. Dasar pertimbangannya, sebab Allah sendiri mau menyelamatkan semua orang dengan cara mendahulukan manusia yang paling jauh dari kemakmuran".<a title="" style="mso-footnote-id: ftn48" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn48" name="_ftnref48">[48]</a> Orang-orang yang tergolong jauh dari kemakmuran di antaranya adalah kaum pekerja harian lepas sebagai kelompok manusia yang miskin. Gereja harus menjadi gereja kaum miskin, gereja kaum pekerja.<br /><br />Chris Hartono menjelaskan<br /><br />.... Gereja harus lebih mengutamakan pelayanan yang transformatif (pelayanan bagi dan bersama orang miskin yang bersifat mendampingi dan mendorong orang miskin untuk memperjuangkan hak-haknya sendiri di dalam mengatasi kemiskinannya), walau tidak melupakan pelayanan karitatif (pelayanan bagi orang miskin yang bersifat membantu sehubungan dengan keadaannya yang tidak berdaya dan terdesak) dan pelayanan reformatif (pelayanan yang bersifat memampukan, membekali serta melatih orang miskin agar dengan kemampuan dan keterampilan baru, dapat membangun sendiri hidupnya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn49" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn49" name="_ftnref49">[49]</a></div><div align="justify"><br />Keprihatinan sosial gereja dalam bentuk karitatif dan reformatif belumlah lengkap. Oleh karena itu perlu ditambah dengan model pelayanan transformatif, agar gereja menunjukan sikap berpihak yang jelas. Pekerja harian sebagai orang miskin "membutuhkan sahabat-sahabat dan pendampingan dalam perjuangan mereka untuk memperoleh upah kerja layak. Satu­-satunya yang menjadi harapan mereka adalah Allah. Berdoa sebagai suatu upaya belumlah dapat dikatakan cukup, kaum pekerja memerlukan kekuatan untuk berjuang, namun kekuatan itu, tidak ada pada mereka. Oleh sebab itu, harapan dan kekuatan untuk berjuang akan mereka peroleh dari Allah melalui gereja sebagai persekutuan yang berpihak pada orang miskin".<a title="" style="mso-footnote-id: ftn50" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn50" name="_ftnref50">[50]</a>Sikap berpihak gereja pada orang miskin adalah sikap yang berdimensi teologis. Oleh karena itu, segala perjuangan yang dilakukan gereja haruslah dimulai dari dirinya sendiri.<br /><br />Gereja dalam misinya, juga harus berperan sebagai katalisator dalam usaha membaharui dan mengembangkan pemahaman teologis tentang kemitraan (partnership) pekerja-majikan. Gereja perlu menyadarkan majikan untuk membina relasi kasih dengan pekerjanya. Gereja harus terlebih dahulu menyadarkan warganya yang berstatus majikan atau yang bertanggungjawab di dalamnya agar memperlakukan pekerja secara adil dengan tetap memberikan upah layak.<br /><br />Atau menurut Widi Artanto,<br /><br />Setiap keputusan perusahaan harus selalu secara sadar dinilai dan diperhitungkan apakah di samping tujuan untuk menghasilkan keuntungan ekonomis bagi perusahaan, keputusan itu juga sekaligus akan mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas termasuk para buruh. Tanggung jawab sosial tidak dipertentangkan dengan keuntungan. Kepentingan jangka panjang perusahaan itu, citra sosial dan kelangsungan hidup perusahaan justru akan diperoleh dengan keputusan yang adil dan mengandung tanggung jawab sosial bagi masyarakat dan para buruh.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn51" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn51" name="_ftnref51">[51]</a><br /><br />Berkaitan dengan hal tersebut, Eka Darmaputera memberikan penjelasan,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn52" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn52" name="_ftnref52">[52]</a><br /><br />Bertanggung jawab sosial tidak dipertentangkan melainkan malah dikaitkan dengan keuntungan. Alasannya amat jelas. Sebab bila tanggung jawab sosial hanya akan merugikan perusahaan dan segi bisnis, maka sudah pastilah tak satu perusahaanpun dengan kerelaannya sendiri akan, bersedia mengemban tanggung jawab tersebut. <br />.......................................................................................................................................................................................................................................................................................................................<br />(a)Kepentingan Jangka Panjang<br />Bila Perusahaan bisnis peka terhadap kebutuhan masyarakat, dan berupaya untuk memenuhinya, dalam jangka panjang ia akan menghasilkan sebuah masyarakat yang lebih menguntungkan bagi usaha-usaha bisnis.<br />(b) Citra Sosial<br />berkaitan dengan keuntungan ekonornis jangka panjang, maka dapat pula disebutkan keuntungan yang lain. Perusahaan dengan tanggungjawab sosial yang tinggi juga akan mempunyai citra yang tinggi di pandangan masyarakat.<br />(c) Kelangsungan Hidup ...<br />(d) dan lain-lain.<br /><br />Sebab hakikatnya sebagai gereja yang diutus Allah haruslah memperhatikan, melindungi dan membela orang miskin. Dalam menjalankan tugas tersebut, gereja harus membuka diri <a href="http://unt.uk/">untuk</a> bekerja sama dengan pihak lain. Membebaskan pekerja dari upah kerja yang rendah misalnya, bukanlah hal yang mudah, sebab harus menghadapi <a href="http://kekuat.an/">kekuatan</a> dan kuasa struktural yang menindas. Dalam posisi solider, sikap gereja harus tegas dan sportif: melawan pelaku ketidakadilan dengan dasar cinta kasih dan anti kekerasan.<br /><br />Atau dengan kata lain, gereja harus berani untuk<br /><br />Mengubah atau seperlunya membongkar struktur-struktur ekonomi, politik, sosial, budaya dan ideologi yang menyebabkan segolongan orang tidak dapat memperoleh apa yang menjadi hak mereka atau tidak mendapat bagian wajar.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn53" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn53" name="_ftnref53">[53]</a> <br /><br />Bagi Widi Artanto,<br /><br />Advokasi bagi kaum buruh yang tertimpa ketidakadilan dan penindasan, adalah melakukan pendampingan yang memungkinkan kaum buruh itu sendiri merencanakan, melaksanakan dan bahkan mengevaluasi aksi perubahan. Mereka membutuhkan suatu proses pernberdayaan agar kekuatan kelompok ini dapat menjadi kekuatan transformatif karena seringkali yang dibutuhkan bukanlah sekedar reformasi dan relasi majikan buruh, melainkan suatu transformasi dalam asas keadilan, dan hak-hak asasi manusia yang perlu dipulihkan secara total dan radikal.</div><div align="justify"><br />Bila perlu, struktur dan perangkat hukum yang mengatur hubungan kerja dalam perburuhan harus diubah. ltulah sebabnya perjuangan untuk memperoleh hak berserikat merupakan bagian integral dari advokasi agar solidaritas dalam komunitas buruh itu sendiri yang menjadi penentu di dalam <a href="http://perubahan.sa/">perubahan.</a><a title="" style="mso-footnote-id: ftn54" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn54" name="_ftnref54">[54]</a><br /><br />Dengan demikian, gereja harus memiliki visi misi yang jelas dan lebih konkret implementasinya, di mana kaum pekerja harian adalah mitra setara-sejajar dengan majikan di dalam pelayanan dan panggilan misioner gereja. Berkaitan dengan itu, majikan Kristiani harus memeriksa diri sendiri:<br /><br />Apakah buruh di tempat saya sudah diperlakukan sesuai ajaran gereja: upah dan lembur, syarat kerja, asuransi kesehatan dan jaminan hari tua; perwakilan SPSI dalam perusahaan saya? Perwakilan buruh di dengar pendapatnya?<a title="" style="mso-footnote-id: ftn55" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn55" name="_ftnref55">[55]</a><br />Proses penyadaran dan perenungan tersebut hendaknya dilandasi oleh keyakinan bahwa tanggung jawab sosial itu akan menguntungkan pengusaha dalam jangka panjang dan sekaligus menjadi kesaksian Kristiani di tengah gejolak reformasi bangsa Indonesia. Sejalan dengan itu, J.B. Banawiratma:<br /><br />.... Prinsip etis memperlakukan buruh secara manusiawi dalam jangka panjang akan lebih membawa kepentingan secara ekonomis. Dengan demikian, pemihakan terhadap kepentingan kaum miskin bukan saja merupakan imperatif iman, melainkan dalam jangka panjang juga akan lebih menguntungkan proses ekonomis yang lebih luas.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn56" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn56" name="_ftnref56">[56]</a><br /><br />Oleh karena itu, pekerja harian mempunyai hak untuk dibebaskan dari struktur dan mekanisme pengupahan yang kurang wajar. Lebih tepat: pekerja diberi kesempatan untuk membebaskan diri dari eksploitasi dan berhak menerima upah kerja yang lebih wajar. "Wajar: sesuai dengan biaya hidup minimum nyata buruh".<a title="" style="mso-footnote-id: ftn57" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn57" name="_ftnref57">[57]</a><br /></div><div align="justify"> </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Catatan:<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a>Choan Seng Song. Christian Mission in Reconstruction: An Analysis. (New York: Orbis Book, 1977), p. 120<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a>Bandingkan Eka Darmaputera. Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis Ekonomi dan Penatalayanan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 13. Bandingkan Widi Artanto. “Gereja, Buruh dan Majikan”. Makalah pada Pertemuan Raya Kesaksian dan Pelayanan GKI Jateng, Baturraden, 22 November 1995, hlm. 2<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a>Biro Pelayanan Wanita PGI. Hasil-Hasil Pelaksanan Konsultasi Nasional Pelayanan Gereja Bagi Tenaga Kerja Wanita Indonesia. (Jakarta: PGI, 1995), hlm. 11<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a>Eka Darmaputera. “HAM Perspektif Teologis Kristiani” dalam Weinata Sairin dan J. M. Pattiasina (penyunting). Op.cit,. hlm. 74-75<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a>Bandingkan Widi Artanto. Op.cit., hlm. 3 Bandingkan Christopher Wright. Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 69<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a>Bandingkan Wright. Ibid. hlm. 69-71<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a>Pembahasan bagian ini didasarkan pada David J. Bosch. Transforming Mission: Paradigm Shift in Theology of Mission. (Maryknoll, N.Y: Orbis, 1991), pp. 181-189. Lihat juga David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen: Seiarah Teologi Mini Yang Mengubah dan Berubah.. Terjernahan oleh Stephen Suleeman. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 285-295. Bandingkan Hans Kung,. “Paradigm Change in Theology: A Proposal for Discussion" in Hans Kung and David Tracy (eds.). Paradigm Change in Theology. Translated by Margareth Kohl. (Edinburg: T & T Clark LTD, 1989), pp. 7-33<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a>John M. Echols dalam Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 417<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a>Thomas S. Kuhn. The Structure of Scientific Revolutions. (Chicago: The University of Chicago Press, 1970), p.175, cited by Hans Kung in Hans Kung and David Tracy (eds). Op.cit., p.7<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a>Bandingkan Coralie F. Joyce. “Pengertian Misi Dalam Era Yang Modern”. Makalah pada Perkuliahan Misiologi Program Pascasarjana Teologi UKIT, Mei 1998, hlm. 1<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a>John Campbell – Nelson (translator dan komentator). “Misi Gereja dan Pelayanan Global” dalam John Campbel-Nelson, Bendalina Souk dan Stephen Suleeman (penyunting). Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual. (Jakarta: Persetia, 1995), hlm. 37<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a>Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Lima Dokumen Keesaan Gereja. Keputusan Sidang Raya XII PGI Jayapura, 21 – 30 Oktober 1994. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 9<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a>Richard A. D. Siwu. Misi Dalam Pandangan Ekumenikal dan Evangelikal Asia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 209 mengutip EACC, Structures for a Missionary Congregation, 1964, hlm. 60<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a>Coralie F. Joyce. Op.cit., hlm. 2<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a>Felicianto V. Carimo. “Misi Di Dunia Yang Penuh Pelecehan dan Kekerasan”. Diterjemahkan bebas oleh Anna K dari CCA News Edisi January-March 1997. Refleksi Nomor 03/XX/September 1997, hlm. 59<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a>Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Op.cit., hlm. 53<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a>Dikemukakan dua eksistensi gereja ini, tentu saja, tidak dimaksudkan untuk mengabaikan eksistensi gereja lainnya. Seperti, eksistensi gereja sebagai Pengantin Kristus, Israel baru, bangsa yang dipilih dan kudus, imamat rajani, umat kepunyaan Allah, Bait Roh Kudus, Yerusalem Baru, dan lain-lain.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a>Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Loc.Cit. Bandingkan Membina Bersama. (Jakarta: DGI, 1976), hlm. 17-18<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref19" name="_ftn19">[19]</a>Felicianto V. Carimo. Loc.Cit.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref20" name="_ftn20">[20]</a>B. A. Supit. “Partisipasi Gereja dalam Menegakkan HAM dan Demokrasi Pancasila”. Makalah pada Seminar Sehari GMKI Cabang Tomohon, 12 Februari 1994, hlm. 1<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref21" name="_ftn21">[21]</a>Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI. Loc.Cit.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref22" name="_ftn22">[22]</a>Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Ibid., hlm. 54<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref23" name="_ftn23">[23]</a>Franz Magnis-Suseno. Beriman Dalam Masyarakat. (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 82-83<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref24" name="_ftn24">[24]</a>Bandingkan Ery Hutabarat-Lebang. “Pekerja Asing: Tantangan dan Kesempatan bagi Gereja-gereja di Asia”. Makalah pada Kuliah Alih Tahun PPsTI Persetia, Tomohon, 13 Juli 1998, hlm. 7<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref25" name="_ftn25">[25]</a>Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Op.,cit., hlm. 3<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref26" name="_ftn26">[26]</a>Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Op.,cit. hlm. 39<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref27" name="_ftn27">[27]</a>Franz Magnis-Suseno, Op.cit., hlm. 103<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref28" name="_ftn28">[28]</a>Chris Hartono. “Gereja dan Masyarakat”. Refleksi Nomor 03/XX/September 1997, hlm. 29<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref29" name="_ftn29">[29]</a>Matius 25:37-40<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn30" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref30" name="_ftn30">[30]</a>Bandingkan Komisi Kapausan Keadilan dan Perdamaian. Hak Asasi Manusia dan Gereja. (Jakarta: Obor, 1994), hlm. 105-106<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn31" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref31" name="_ftn31">[31]</a>Gregorius Utomo. “Keadilan dan Perdamaian, Komitmen Gereja dalam Perjalanannya Menuju Kerajaan Allah” dalam Eduard R. Dopo (penyunting). Keprihatinan Sosial Gereja. (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 56<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn32" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref32" name="_ftn32">[32]</a>John Campbell-Nelson, Bendalina Souk, dan Stephen Suleeman (editor). Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual. (Jakarta: Persetia, 1995), hlm. 226<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn33" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref33" name="_ftn33">[33]</a>Bandingkan R. N. Dickinson. To Set at Liberty the Oppressed. (Jenewa: WCC, 1975), pp. 116-117<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn34" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref34" name="_ftn34">[34]</a>Christian de Jonge. Menuju Keesaan Gereja. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 153<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn35" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref35" name="_ftn35">[35]</a>Richard A.D. Siwu. Op.cit., hlm. 159. Bandingkan Christian de Jonge. Op.cit., him. 159-166<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn36" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref36" name="_ftn36">[36]</a>Upah Adil Seri Bebas dan Tertib Nomor 2. (Jakarta: Sekretariat Nasional K.M/C.L.C, 1968), him. 11<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn37" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref37" name="_ftn37">[37]</a>Eka Darmaputera. "HAM Perspektif Teologis Kristiani" dalam Weinata Sairin dan J.M. Patiassina (penyunting). Hubungan Gereja dan Negara dan Hak­-hak Asasi Manusia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 76<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn38" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref38" name="_ftn38">[38]</a>Apa Kata Uppsala. Laporan SR IV DGD 4-19 Juli 1968 Uppsala Swedia. Terjemahan oleh Soritua A. E. Nababan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1969), hlm..52<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn39" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref39" name="_ftn39">[39]</a>Bandingkan J. B. Banawiratma (editor). Kemiskinan dan Pembebasan. (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 128-129<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn40" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref40" name="_ftn40">[40]</a>J. B. Banawiratma. Ibid. hlm. 131<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn41" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref41" name="_ftn41">[41]</a>Novembri Choeldahono. “Gereja dan Politik: Suatu Tinjauan Historis-Teologis Hubungan Gereja dan Politik Dalam Sejarah Kekristenan”. Bina Darma. Nomor 51 Desember 1995, hlm. 29<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn42" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref42" name="_ftn42">[42]</a>J. B. Banawiratma dan J. Muller. Berteologi Sosial Lintas Ilmu. (Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 43<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn43" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref43" name="_ftn43">[43]</a>Baskara T. Wardaya. Spirtualitas Pembebasan. (Yogyakarta: Kanisus, 1996), hlm. 69-70<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn44" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref44" name="_ftn44">[44]</a>F. Van Lith seperti dikutip J. B. Banawiratma dan P.J. Suwarno (editor). Teologi Kemerdekaan: Sebuah Tinjauan Lintas Bidang. (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 145<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn45" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref45" name="_ftn45">[45]</a>Karel Ph. Erari. Supaya Engkau Membuka Belenggu Kemiskinan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 104<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn46" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref46" name="_ftn46">[46]</a>Surat Pribadi dari H. H. Hangandji, 25 November 1995<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn47" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref47" name="_ftn47">[47]</a>Yosep P.O. Widyatmadja. “Iman Kristen dan Lembaga Pelayanan Masyarakat” dalam Banawiratma, Sumartana, Widyatmadja (editor). Merawat dan Berbagi Kehidupan. (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 53<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn48" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref48" name="_ftn48">[48]</a>Surat Pribadi dari H. H. Hangandji, 25 November 1995<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn49" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref49" name="_ftn49">[49]</a>Chris Hartono. “Ihwal Bergereja di Indonesia”. Bina Darma, Nomor 50 September 1995, hlm. 28-29<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn50" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref50" name="_ftn50">[50]</a>Bandingkan Widi Artanto. “Merawat dan Berbagi Kehidupan” dalam Banawiratma, Sumartana, Widyatmadja (editor). Op.cit., hlm. 37-38<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn51" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref51" name="_ftn51">[51]</a>Widi Artanto. Ibid., hlm. 2<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn52" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref52" name="_ftn52">[52]</a>Eka Darmaputera. Etika Sederhana Untuk Semua: Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan.. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 130-131<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn53" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref53" name="_ftn53">[53]</a>Franz Magnis-Suseno. Etika Politik. (Jakarta: PT. Gramedia, 1994), hlm. 332-333<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn54" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref54" name="_ftn54">[54]</a>Widi Artanto. “Gereja Buruh dan Majikan”. Makalah pada Petemuan Raya Kesaksian dan Pelayanan GKI Jawa Tengah, Baturraden, 22 November 1995, hlm. 6<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn55" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref55" name="_ftn55">[55]</a>Franz Magnis-Suseno. Beriman Dalam Masyarakat. (Yogyakarta: Kanisius., 1995), hlm. 107<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn56" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref56" name="_ftn56">[56]</a>J. B. Banawiratma. "Buruh Dalam Ajaran Sosial Gereja Katolik". Makalah pada Diskusi Panel Buruh dalam Perspektif Agama-Agama oleh Yayasan LAPERA Indonesia, Yogyakarta, 17 Mei 1995, hlm. 8<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn57" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref57" name="_ftn57">[57]</a>Franz Magnis-Suseno. Op.cit., hlm. 108</div>Jhony Jhony Wayanhttp://www.blogger.com/profile/17639128159958253618noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-2886431719523722445.post-26298355843117024832009-08-01T03:36:00.001-07:002009-08-01T03:44:34.083-07:00ETIKA LINGKUNGAN SEBAGAI ASAS MORAL DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN<div align="center">ETIKA LINGKUNGAN SEBAGAI ASAS MORAL DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN<br />(Refleksi Atas Etika Lingkungan Sonny Keraf)<br /><br />Oleh: I Wayan Jhony<br /><br /></div><div align="justify">Pendahuluan<br />Kehidupan ekologis Indonesia sedang menjauhi Firdaus. <em>Holocaust </em>barangkali merupakan kata yang mampu mewakili gawatnya krisis ekologis saat ini. Manusia bergumul mencari tahu para pelaku kerusakan ekologis dan jari telunjuk mereka akhirnya kembali pada diri mereka.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> Mencermati besarnya ancaman, ketakutan, dan horor ekologis buatan tangan manusia ini, maka tidaklah berlebihan untuk kemudian mengklasifikasikan perilaku tersebut sebagai tindakan “terorisme” (dalam pengertian khusus), yaitu “terorisme ekologis” <em>(eco-terrorism).</em><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a></div><div align="justify"><br />Aneka bencana ekologi buatan manusia berderet panjang melintasi batas-batas geografi dan demografi tanpa jeda. Illegal logging, illegal fishing, pengerukan tambang dan mineral, gempa bumi, global warming, banjir, longsor, kebakaran hutan dan sebagainya itu, menyerakkan bumi kita Indonesia. Lolosnya para pelaku terorisme ekologis dari jerat hukum dan lambannya tanggapan negara terhadap para korban bencana ekologis merupakan sepenggal bukti betapa rendahnya concern Indonesia terhadap holocaust ekologis. </div><div align="justify"><br />Holocaust ekologis buatan tangan manusia, semata-mata tidak dapat dilihat hanya sebagai kerusakan dan atau kehancuran pada struktur fisik dari alam dan lingkungan, tetapi sekaligus juga menjelaskan kerusakan pada struktur yang lebih “dalam” (deep structure) dan kompleks (complex disaster). Tidak hanya kerusakan tanah, sumber air, udara, rumah, lapisan ozon, jalan, tumbuhan dan atau komunitas biotis, tetapi lebih dari itu “kerusakan mental”, “kerusakan sosial”, dan “kerusakan spiritual” pada tingkat struktur yang lebih dalam.</div><div align="justify"><br />Relevansi pemikiran untuk kemudian memberikan landasan filosofis-etis yang lebih kontekstual dan cocok semakin diperlukan. Semuanya ini terfokus pada manusia, sebagai peletak dasar dari holocaust ekologis, serta mencari kedudukannya dalam seluruh ekosistem yang menjadi lingkungan hidupnya. Olehnya, suatu etika yang mampu memberi penjelasan dan pertanggungjawaban rasional tentang nilai-nilai, asas dan norma-norma moral bagi sikap dan perilaku manusia terhadap alam lingkungan ini akan sulit didapatkan, tanpa melibatkan manusia.<br /><br />Alam dan Urgensi Etika Lingkungan<br />Terminologi bahasa Latin, menyebutkan alam sebagai natura (dari kata kerja nascere yang artinya melahirkan). Alam dipersonifikasikan sebagai ibu yang memiliki kodrat untuk melahirkan. Bahkan Fransiskus dari Asisi, dalam Il Canto delle Creature (nyanyian alam), menyapa alam sebagai La Madre Terra (ibu bumi yang memberi segala kelimpahan). Ouspenky (filsuf Rusia), juga menyebut alam sebagai organisme biotis, karena organ alam: udara (atmosfir), air (hidrosfir), tanah, mineral (geosfir), flora, fauna, manusia dan mikroba (dekomposer) menyerupai organ terpadu dari keseluruhan ekosistem bumi yang teratur. </div><div align="justify"><br />Keseimbangan ekosistem mestinya dijaga. Di sinilah saya melihat urgensi peran etika ekologis atau etika lingkungan sebagai asas moral dalam pengelolaan lingkungan. Inti etika lingkungan adalah sikap bertanggung jawab yang maksimal terhadap lingkungan. Tujuan komprehensifnya adalah memelihara keseimbangan alam dan melestarikan keutuhan, keberlangsungan, kekayaan, dan keserasian ekosistem. Etika lingkungan mengubah kedudukan serta peran manusia sebagai penakluk alam, menjadi anggota alam yang harus terus belajar hidup saling berdampingan dalam suatu komunitas besar.<br /><br />Kembali ke Nilai Intrinsik Alam<br />Meskipun manusia memiliki kehendak bebas terhadap alam, tetapi manusia semestinya menerima dan mengakui kenyataan bahwa dia tidak dapat membebaskan dirinya dari alam. Tragedi manusia terbesar adalah keberadaannya dalam dua kondisi sekaligus. Dia bebas, tetapi pada saat yang sama, dia terdeterminasi. Dalam hal tertentu dia melampaui alam dan menguasai alam, namun dalam arti tertentu pula, dia terikat dan dikondisikan oleh alam. Dewasa ini, hubungan manusia dengan alam telah retak. Dominasinya terhadap alam telah berbalik menjadi ancaman bagi dirinya sendiri. Ancaman ini meminta manusia untuk segera mengambil sikap baru terhadap alam: mengelola lingkungan secara arif dengan berpijak dari etika lingkungan yang adalah asas moral dalam pengelolaan lingkungan.</div><div align="justify"><br />Hal utama yang tentu harus dilakukan oleh manusia adalah merubah paradigma tentang pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Lingkungan hidup itu sendiri adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain. </div><div align="justify"><br />Tujuan perubahan paradigma sedemikian itu adalah penting, agar sikap dan perilaku manusia menjadi lebih arif dalam memberi makna atas alam. Karena itu, manusia harus mengembangkan konsepsi tentang alam yang mengagungkan dan menghormati alam, juga menganggap alam sebagai sesuatu yang sakral dan hidup. Dengan demikian, akan melahirkan sikap yang menghormati dan peduli terhadap lingkungan. Atas dasar itu, kesadaran terhadap pentingnya pengelolaan lingkungan harus terus tertanam dalam diri manusia.</div><div align="justify"><br />Etika lingkungan menuntut agar etika dan moralitas tidak saja diberlakukan bagi komunitas biotis atau komunitas ekologis, tetapi juga bagi komunitas a-biotis. Dalam konteks ini, etika lingkungan merupakan refleksi kritis atas norma-norma dan prinsip atau nilai moral yang selama ini dikenal dalam komunitas manusia untuk diterapkan secara lebih luas dalam komunitas biotis dan juga komunitas a-biotis. Dalam perspektif etika lingkungan, manusia harus memperlakukan alam tidak semata-mata dalam kaitannya dengan kepentingan dan kebaikan manusia saja (ektrinsik). </div><div align="justify"><br />Oleh karena itu, manusia harus menumbuhkan adanya kesadaran terhadap upaya-upaya pengelolaan lingkungan dengan memegang beberapa prinsip.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> Pertama, manusia harus bersikap hormat terhadap alam. Kedua, manusia harus mempunyai prinsip bertanggung jawab, yakni tanggungjawab terhadap lingkungan merupakan tanggungjawab manusia juga. Ketiga, manusia harus memiliki solidaritas kosmis. Keempat, manusia harus mengimplementasikan prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam. Kelima, harus memiliki prinsip no harm (tidak merugikan alam). Keenam, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam. Ketujuh, prinsip keadilan. Dalam arti adil tentang perilaku manusia terhadap alam. Kedelapan, prinsip demokrasi. Kesembilan, prinsip integritas moral.</div><div align="justify"><br />Jadi, sudah saatnya, segala corak berpikir, tindakan dan perbuatan yang human oriented beralih kepada perspektif dan sikap yang nature oriented. Kembali ke alam (back to nature). Demikianlah cita-cita yang menjadi dambaan dan harapan bagi kita semua. Untuk hal ini, kita membutuhkan perubahan. Perubahan yang paling utama dan mendasar adalah perubahan sikap dasar di dalam diri manusia. Manusia pertama-tama perlu menyadari dirinya, bahwa dia adalah bagian dari alam, dan bukan sebaliknya. Sebagai bagian dari alam, manusia berpartisipasi dengan alam. </div><div align="justify"><br />Manusia perlu menyadari bahwa dia turut mengambil bagian dalam seluruh sistem tata semesta dan melihat dirinya secara baru sebagai partner alam. Partner adalah orang yang senantiasa berada dan hidup berdampingan bersama. Di dalam partnership tidak ada sub-ordinasi. Alam memiliki nilai intrinsik di dalam dirinya. Nilai intrinsik yang paling hakiki adalah nilai kehidupan. Nilai ini tidak diberikan dari luar. Tidak ditambahkan atau dikurangi oleh siapapun. Pertama-tama, ia bernilai untuk dirinya sendiri (nilai intrinsik). Kedua, ia bernilai untuk yang lain (nilai ekstrinsik).<br /><br />Teori Etika Lingkungan Sonny Keraf<br />Keraf mengatakan terdapat tiga model teori etika lingkungan, yakni yang disebutnya sebagai Shallow Environtmental Ethics, Intermediate Environtmental Ethics dan Deep Environtmental Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal dengan sebutan antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme.</div><div align="justify"><br />Antroposentrisme <em>(Shallow Environtmental Ethics)<br /></em>Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil berkaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah kepentingan manusia (sehingga, sebenarnya kurang tepat kalau diistilahkan dengan antroposentrisme). Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia.</div><div align="justify"><br />Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Maksudnya, dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan satu-satunya pusat pertimbangan, dan yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral. Akibatnya, secara teleologis, lingkungan diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies manusia, dan dihindari akibat buruk sebanyak mungkin bagi spesies itu. </div><div align="justify"><br />Oleh karenanya, alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Pandangan antroposentris yang menekankan bahwa manusia sebagai subjek utama dunia dan harus mendapat prioritas dalam pemanfaatan lingkungan dan sumber daya. Perspektif ini melihat, proses pembangunan dan implikasi terhadap lingkungan dipandang sebagai satu keniscayaan, sejauh proses tersebut diperuntukkan bagi kesejahteraan manusia. Pandangan ini mewarnai dan menjiwai proses pembangunan yang eksploitatif selama ini. Sering pula digunakan sebagai alat justifikasi setiap keputusan pembangunan yang dilakukan manusia. Dalam banyak kasus, pandangan ini juga dipakai manusia untuk menjustifikasi motif dan tindakan serakahnya. Jelas ini berdampak pada kerusakan lingkungan.<br /><br />Biosentrisme <em>(Intermediate Environtmental Ethics)<br /></em>Biosentrisme adalah suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri, lepas dari kepentingan manusia. Dengan demikian, biosentrisme menolak teori antroposentrisme yang menyatakan bahwa hanya manusialah yang memiliki nilai dalam dirinya. </div><div align="justify"><br />Teori biosentrisme berpandangan bahwa makhluk hidup bukan hanya manusia. Ada banyak hal dan jenis makhluk yang memiliki kehidupan. Pandangan biosentrisme mendasarkan moralitas pada keseluruhan kehidupan, entah pada manusia atau pada makhluk hidup lainnya. Karena yang menjadi pusat perhatian dan ingin dibela dalam teori ini adalah kehidupan. Dengan demikian, secara moral berlaku prinsip bahwa setiap kehidupan di muka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. <br /><br />Ekosentrisme <em>(Deep Environtmental Ethics)</em><br />Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Oleh karenanya teori ini sering disamakan begitu saja karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu pada penekanannya atas pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi pemberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas pemberlakuan etika untuk komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, konsep etika dibatasi pada komunitas yang hidup (biotis), seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika diperluas untuk komunitas ekosistem seluruhnya (biotis dan a-biotis).</div><div align="justify"><br />Biosentrisme dan ekosentrisme, memandang manusia tidak hanya sebagai makhluk sosial <em>(zoon politikon). </em>Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk dan memandang manusia tak lebih dari salah satu bagian dalam jaringan kehidupan.</div><div align="justify"><br />Bagaimanapun keseluruhan organisme kehidupan di alam ini layak dan harus dijaga. Holocaust ekologis telah membawa dampak pada setiap dimensi kehidupan ini. Ekosentrisme tidak menempatkan seluruh unsur di alam ini dalam kedudukan yang hierarkis dan atau sub-ordinasi. Melainkan sebuah kesatuan organis yang saling bergantung satu sama lain.</div><div align="justify"><br />Salah satu bentuk etika ekosentrisme ini adalah etika lingkungan yang sekarang ini dikenal sebagai <em>Deep Ecology.</em> Sebagai istilah, <em>Deep Ecology</em> pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, pada 1973, di mana prinsip moral yang dikembangkan adalah menyangkut seluruh komunitas ekologis. </div><div align="justify"><br />Istilah <em>Deep Ecology</em> sendiri digunakan untuk menjelaskan kepedulian manusia terhadap lingkungannya. Kepedulian yang ditujukan dengan membuat pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendalam dan mendasar, ketika dia akan melakukan suatu tindakan. Kesadaran ekologis yang mendalam adalah kesadaran spiritual atau religius, karena ketika konsep tentang jiwa manusia dimengerti sebagai pola kesadaran di mana individu merasakan suatu rasa memiliki, dari rasa keberhubungan, kepada kosmos sebagai suatu keseluruhan, maka jelaslah bahwa kesadaran ekologis bersifat spiritual dalam esensinya yang terdalam. Oleh karena itu pandangan baru realitas yang didasarkan pada kesadaran ekologis yang mendalam konsisten dengan apa yang disebut filsafat abadi yang berasal dari tradisi-tradisi spiritual, baik spiritualitas para mistikus Kristen, Budhis atau filsafat dan kosmologis yang mendasari tradisi-tradisi Amerika Pribumi.</div><div align="justify"><br />Ada dua hal yang sama sekali baru dalam <em>Deep Ecology</em>. Pertama, manusia dan kepentingannya bukan ukuran bagi segala sesuatu yang lain. Deep Ecology memusatkan perhatian kepada seluruh spesies, termasuk spesies bukan manusia. Ia juga tidak memusatkan pada kepentingan jangka pendek, tetapi jangka panjang. Maka dari itu, prinsip etis-moral yang dikembangkan Deep Ecology menyangkut seluruh kepentingan komunitas ekologis. </div><div align="justify"><br />Kedua, <em>Deep Ecology</em> dirancang sebagai etika praktis. Artinya, prinsip-prinsip moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkrit. Etika baru ini menyangkut suatu gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari sekedar sesuatu yang amat instrumental dan ekspansionis. Deep Ecology merupakan gerakan nyata yang didasarkan pada perubahan paradigma secara revolusioner, yaitu perubahan cara pandang, nilai dan perilaku atau gaya hidup. </div><div align="justify"><br />Perspektif <em>Deep Ecology</em> menekankan pada kepentingan dan kelestarian lingkungan alam. Pandangan ini berdasar etika lingkungan yang kritikal dan mendudukkan lingkungan tidak saja sebagai objek moral, tetapi subjek moral. Sehingga harus diperlakukan sederajat dengan manusia. Pengakuan lingkungan sebagai moral subjek, membawa dampak penegakkan prinsip-prinsip keadilan dalam konteks hubungan antara manusia dan lingkungan sebagai sesama moral subjek. Termasuk di sini isu <em>animal rights. Deep Ecology</em> memandang proses pembangunan harus sejak awal melihat implikasinya terhadap lingkungan. Karena setiap proses pembangunan akan melibatkan perubahan dan pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam.</div><div align="justify"><br />Pembangunan berkelanjutan sesungguhnya merupakan wacana moral dan kultural. Hal ini disebabkan karena yang menjadi persoalan utama adalah pada bentuk dan arah peradaban seperti apa yang akan dikembangkan manusia di bumi ini. Kearifan lingkungan lokal, sekaligus plural perlu terus dikembangkan. Tetapi tidak hanya diposisikan sebagai upaya untuk ”melawan” kecenderungan globalisasi dan westernisasi, melainkan satu ”pilihan”. Dengan kata lain, pengembangkan kearifan lingkungan tidak selalu harus ”dibenturkan” globalisasi/westernisasi, karena dia adalah ”keyakinan” sekaligus ”pilihan-pilihan” sadar tiap kelompok manusia di bumi untuk mengembangkan peradaban yang plural, sekaligus identitas yang beragam. Kearifan lokal dan plural ini, dengan demikian, dapat bersifat spatially bounded sekaligus universal. Syarat dari pengembangan kearifan lingkungan yang lokal sekaligus plural adalah bagaimana melihat kearifan lingkungan dan modernisme barat tidak secara”paradoksal” tetapi lebih ”dialektikal”.</div><div align="justify"><br />Dari berbagai penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa <em>Deep Ecology</em> timbul karena meningkatnya kesadaran manusia terhadap kaitan dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Kesadaran tersebut timbul karena manusia mulai menyadari akibat dari berbagai kerusakan yang dilakukan oleh dirinya terhadap lingkungan sekitarnya. Kesadaran yang sama kemudian mendorong berkembangnya konsep pembangunan berkelanjutan. Pada konsep ini manusia harus memperhatikan daya dukung alam dalam memenuhi kebutuhannya.<br /><br />Meng-Etis-Kan Etika Untuk Pengelolaan Lingkungan<br />Setidaknya, demikianlah beberapa poin pemikiran Keraf, tentang etika dan etika lingkungan yang bagi saya adalah basis dari sebuah pengelolaan lingkungan. Lingkungan adalah segala hal yang “bersentuhan” dengan kita, baik secara pikir, rasa, indra, ataupun sarana lain yang kita miliki. Tetapi dalam diskursus ini, sebenarnya selalu ada hidden subject (subyek yang disembunyikan). Kata “kita” di atas, menyiratkan adanya penyatuan antara saya, dan beberapa manusia lainnya. Mengatakan “kita” berarti menembus batas <em>(passing over),</em> antara “kita” dan yang “bukan kita”. Ketika saya mengatakan “lingkungan”, sebenarnya saya mengatakan “lingkungan saya”. Begitu juga ketika si “A” mengatakan lingkungan, maka sesungguhnya si “A” pun mengatakan “lingkungan saya”. Bagi saya, si “A” adalah “A”; bagi “A", saya adalah “A”, dan “A” adalah “saya”. Subyek yang disembunyikan itu, tak lain adalah subyek itu sendiri. Dunia, hanya terdiri dari “saya”, dan yang lain, yang “bukan saya”<em> (the others).</em></div><div align="justify"><br />Etika bukan mengajarkan moralitas secara langsung agar manusia menjadi lebih baik, melainkan kehendak untuk mencapai pengertian yang mendasar tentang moral. Etika adalah usaha “saya”, usaha “kita”, usaha manusia, untuk memahami bagaimana ber-perilaku kepada sesamanya, juga kepada yang bukan sesamanya. Etika adalah bagaimana “saya” ber-perilaku terhadap diri sendiri, juga kepada yang lain, sehingga etika mempunyai dimensi ke dalam dan keluar. Sehingga yang lain, juga bisa, untuk mengatakan “saya”, sebagaimana saya bisa untuk berkata “saya”.</div><div align="justify"><br />Sehubungan dengan ini, kemudian Keraf, dengan merunut cerita sejarah, membagi etika lingkungan (dimensi keluar, dari etika), menjadi antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme. Cara pandang antroposentrisme, kini dikritik secara tajam oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Sedangkan ekosentrisme berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme, yang hanya berpusat, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak hidup. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda a-biotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggungjawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggungjawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.</div><div align="justify"><br />Dalam hal ini Keraf hanya memasukkan banyak “yang lain” ke dalam “kita”, “kita” yang semula hanya berisi “saya” dan “kamu”. Dalam diskursus antroposentrisme, “kita” berisi manusia. Kemudian ini dirasa tidak cukup, sehingga mengundang hewan dan tumbuhan, ke dalam “kita”. “Kita” di sini, tidak bisa lagi dinamai antroposentrisme, melainkan biosentrisme. Hal ini pun berlanjut, ketika kemudian bebatuan, minyak, gas, dan lain-lain dimasukkan ke dalam “kita”. “Kita” adalah ekosentrisme. Jika etika adalah sebuah proses tentang bagaimana manusia ber-perilaku terhadap yang lain, dan lingkungan adalah segala sesuatu yang “menyentuh” subyek, di sini Keraf telah melebarkan konsepsi subyek. </div><div align="justify"><br />Menurut saya, permasalahan bukanlah sampai mana batasan kita tentang “kita”, juga bukan siapa saja yang harus masuk ke dalam “kita”. Melainkan bagaimana kita, sebagai subyek meng-etis-kan etika itu sendiri untuk pengelolaan lingkungan yang maksimal. Secara praktis, adalah terus mempertanyakan bagaimana ber-perilaku terhadap “yang lain”. Keraf melihat, dan mengandaikan bahwa relasi antara “kita” dengan “yang lain” adalah relasi tuan-budak, yang banyak disuarakan oleh Hegel, juga Nietszche. Dan saya kira, jika bentuk relasi semakin diteguhkan, maka bentuk etika ekosentrisme pun (atau etika lain, yang lebih banyak meng-kita-kan, kalau ada), tidak akan bisa memberikan banyak perubahan. Karena, bagaimana kita ber-perilaku kepada yang lain, adalah lebih mengenai sikap dan preposisinya, dan sekali lagi, bukan dengan memasukkan “yang lain” ke dalam lingkaran “kita”.<br /><br />Refleksi Etika Lingkungan<br />Pembicaraan tentang etika lingkungan sangat diperlukan mengingat kerusakan lingkungan hidup dan pola pendekatan yang membahayakan masa depan lingkungan dan manusia itu sendiri. Demikian juga sikap manusia terhadap lingkungan terkait dengan persoalan ekonomi, cenderung menggunakan pendekatan demi keuntungan pribadi atau kelompok dan jangka pendek dalam kehidupan. </div><div align="justify"><br />Oleh karena itu, perlulah diketahui juga tanggungjawab terhadap lingkungan dalam hal keutuhan biosfir dan generasi yang akan datang. Semboyan etika lingkungan adalah membangun yang tidak merusak ekosistem. Keraf menawarkan pendekatan etika alternatif yakni etika ekosentris tentu dengan mempertimbangkan kelebihannya daripada etika antroposentris dan etika biosentris. Etika ekosentris yang juga disebut Deep Ecology diyakininya sebagai pendekatan yang paling baik dalam mengatasi krisis lingkungan dewasa ini. Hal ini disebabkan karena etika ekosentris lebih berpihak pada lingkungan secara holistik. Cara demikian akan menjaga tetap bertahannya segala yang hidup dan yang tidak hidup sebagai bagian yang saling terkait dan saling menguntungkan. Bukan saja manusia, benda-benda di alam semesta juga memiliki tanggungjawab moralnya sendiri, oleh karena itu diperkirakan memiliki haknya sendiri juga.</div><div align="justify"><br />Persoalan mendasar yang barangkali dapat menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana konsepsi Keraf dapat menjadi operasional. Jika segala benda dianggap memiliki hak dan kewajibannya, seperti manusia, bagaimanakah konsep hak itu sendiri? Menjadi kabur, tidak jelas batas-batasnya. Hal ini sebagai akibat dari hubungan yang tidak jelas dan tegas antara manusia dan makhluk ciptaan lainnya. Apakah manusia yang menyembelih binatang, misalnya, merupakan pelanggaran terhadap hak binatang itu? Bagaimana pula dengan pohon, batu dan seterusnya.<br />Di samping itu, dari segi kebudayaan, tampaknya pandangan Keraf itu mengembalikan pada hubungan yang tidak jelas antara subjek dan objek, antara aku dan engkau, yang berlaku dalam masyarakat primitif. Artinya, alam diperlakukan seperti manusia, tidak ada jarak di antara keduanya, sehingga membuka kembali ruang untuk praktek-praktek kebatinan lama, menyembah pohon, batu, dan sejenisnya. Oleh karena itu, teori ekosentris dengan segala kelebihannya kiranya masih perlu mempertimbangkan homosentris agar tidak mengaburkan konsep hak, sebab pengelolaan lingkungan bukan berarti manusia menghormati hak makhluk lain untuk eksis, melainkan lebih kepada kewajiban dan tanggungjawab manusia demi kelestarian dirinya dan generasinya sebagai ciptaan Tuhan yang menjadi pimpinan dan pemelihara di muka bumi.<br /><br />Penutup<br />Cara berpikir antroposentris dalam berhadapan dengan alam tidak saja menempatkan manusia sebagai individu <em>(res cogitans)</em> dan sebagai “titik pusat” alam <em>(res extensa),</em> tetapi sekaligus “pusat” manusia-manusia lain. Sikap mementingkan diri, egosentrisme, dan insensitivitas sosial, tidak saja menggiring pada eksplorasi alam untuk kepentingan diri, dengan mengabaikan “hak alam” <em>(right of nature),</em> tetapi sekaligus “mengabaikan” hak manusia lain yang akan terkena dampaknya.</div><div align="justify"><br />Sikap antroposentrisme yang menguasai cara pikir kolektif bangsa tidak memberi ruang untuk hidupnya cara berpikir holistik <em>(holistic thinking),</em> yang melaluinya dunia dilihat sebagai sebuah keseluruhan, keutuhan, dan kesalingberkaitan, yang di dalamnya bagian <em>(each)</em> dilihat saling bersentuhan dengan keseluruhan <em>(whole),</em> dan di antara keseluruhan tersebut, manusia tidak lagi menjadi “pusat dunia” atau penguasa alam, tetapi menjadi bagian “kehidupan bersama yang lain”, baik manusia-manusia lain dan alam <em>(the others).</em> Inilah jiwa ekosentrisme yang melahirkan <em>Deep Ecology.</em></div><div align="justify"><br />Dalam cara berpikir holistik keseluruhan <em>(whole)</em> menentukan bagian-bagian <em>(parts),</em> ketimbang bagian-bagian ”melalui sifat-sifat intrinsiknya”, menentukan keseluruhan. Ketika seseorang (sebuah perusahaan) membakar hutan (tindakan individu), ia sudah menanamkan kesadaran dalam dirinya, tindakannya akan mempunyai efek kepada pihak lain <em>(the others),</em> sehingga menuntut sikap kehati-hatian, kecermatan, rasionalitas, tanggungjawab, dan etika sosial. Inilah logika sederhana cara berpikir holistik yang di dalamnya menyentuh <em>Deep Ecology.</em></div><em><div align="justify"><br /></em>Namun, mengapa “etika sederhana” ini tidak pernah menjadi bagian inheren kehidupan sehari-hari (Lebenswelt) bangsa, tidak mampu membentuk struktur dunia kehidupan sendiri? Dalam hal ini, “mengetahui” dan “menyadari” cara berpikir holistik <em>(Deep Ecology)</em> tidak akan ada artinya bila tidak didukung sikap mental, kemauan politik, tekanan sosial dan “paksaan hukum”<em> (coersion of law)</em> untuk mewujudkan cara berpikir itu dalam tindakan sehari-hari.</div><div align="justify"><br />Orang yang mempunyai pengetahuan <em>(knowledge)</em> bahwa tindakan merusak alam (termasuk membakar hutan) akan menimbulkan kerusakan ekosistem dan ketakutan manusia, tetapi mengabaikan pengetahuan itu, demi mendahulukan hasrat, kekuasaan <em>(power),</em> dan kepentingannya, inilah “teroris ekologi” sebenarnya. Dan, tugas berat bangsa ini tidak hanya memerangi “terorisme politik”, tetapi juga terorisme ekologis, <em>eco-terrorism.<br /></em><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br />Abdul Irsan. Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi. Jakarta: Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu, 2007<br />Borrong, Robert. Etika Bumi Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999<br />Buntaran, Freddy. Saudari Bumi Saudara Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997<br />Brundtland, Gro, Harlem, et al. Hari Depan Kita Bersama. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 1987<br />Chang, William. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005<br />Kaligis, J.R.E; Kiswoyo, Samidjo B dan Miarsyah, Mieke. Pendidikan Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, 2007<br />Keraf, Sonny A. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002<br />Salim, Emil. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: LPES, 1986<br />Stott, John. Isu-Isu Global. Menantang Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000<br />Suseno, Franz, Magnis. Etika Sosial., Jakarta: Penerbit Gramedia, 1991<br />Ward, Barbara & Dubos, Rene. Hanya Satu Bumi. Perawatan dan Pemeliharaan Sebuah Planit Kecil. Jakarta: P.T. Gramedia, 1974<br /> </div><div align="justify"><br />Internet<br /><a href="http://komunitaembunpagi.blogspot.com/2008/11/etika-lingkungan-sony-keraf.html">http://komunitaembunpagi.blogspot.com/2008/11/etika-lingkungan-sony-keraf.html</a><br /><a href="http://walhijabar.blogspot.com/2008/01/pemberdayaan-masyarakat-dalam.html">http://walhijabar.blogspot.com/2008/01/pemberdayaan-masyarakat-dalam.html</a><br /><a href="http://averroes.or.id/2007/12/12/ekologi-manusia-dan-kesadaran-individu-dalam-pengelolaan-lingkungan/">http://averroes.or.id/2007/12/12/ekologi-manusia-dan-kesadaran-individu-dalam-pengelolaan-lingkungan/</a><br /><a href="http://anisah.telkom.us/2008/03/page/3/">http://anisah.telkom.us/2008/03/page/3/</a><br /><a href="http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/4/25/o2.htm">http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/4/25/o2.htm</a><br />http://ansel-boto.blogspot.com/2008/06/etika-ekologi-yang-biosentris.html<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a>Lihat Mutiara Andalas. “Ekoteologi: Menebus Firdaus Dari Holocaust”. Majalah Basis Nomor 03-04, Tahun ke-57, Maret-April 2008, hlm. 59<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a><a href="http://www.anisah.telkom.us/2008/03/page3/">http://www.anisah.telkom.us/2008/03/page3/</a><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a>Lihat A. Sonny Keraf. Etika Lingkungan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hlm. 143-160</div>Jhony Jhony Wayanhttp://www.blogger.com/profile/17639128159958253618noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2886431719523722445.post-13950878830436440862009-08-01T02:43:00.000-07:002009-08-01T03:29:17.366-07:00PARADOKSALITAS AGAMA SEBAGAI MASALAH SOSIO-TEOLOGIS<div align="center">Paradoksalitas Agama Sebagai Masalah Sosio-Teologis<br />Sebuah Interméso di Tengah Diskusi Agama dan Kekerasan<br /><br />Oleh: I Wayan Jhony<br /><br /></div><div align="justify"><em>Abstract<br />We are living in a period of dramatic change. Structures that have held for generations are beings pulled down. At the end year of last century, and the early year of 21st century, society social life calendar in Indonesia was filled by paradox series event. There were many religion movements born, so it was reasonable if John Naisbitt and Patricia Aburdene named this era as the rise of religious. But when religious enthusiasm rose, at the same time the society morality, spirituality and religiosity brought disorder, as if had decadence including degradation. Violence by violence “involved” religion as if to increase blacklist at the face of our beloved country recently. The religious don’t bring coolness and peacefulness, but vagueness and fear.<br /></em><br />Keywords: religion, violence, escalation, sociologies, theologies, and paradox.<br /><br />Pengantar<br />Prediksi kematian agama (termasuk <em>God is dead)</em> yang pernah dikemukakan sekitar abad ke-19 oleh “elit-elit intelektual” Eropa,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> ternyata di abad ke-21 dianggap mitos masa lalu. Agama bukannya terdesak oleh ilmu pengetahuan modern dan ideologi-ideologi besar dunia kontemporer, melainkan mengalami kebangkitan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> Namun persis saat antusiasme dan kesadaran religius bangkit, bersamaan pula etika dan religiositas (keberagamaan) mengalami kemerosotan. Tragedi runtuhnya World Trade Center (WTC) di New York dan peledakan bom di Legian-Kuta (Bali) adalah sedikit bukti dari kemerosotan tersebut. Bahkan hampir satu dasawarsa lebih awal, “ramalan” tentang itu sudah pernah diungkap oleh Samuel Huntington<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a> dengan pernyataan: <em>the clash of civilizations. </em></div><div align="justify"><br />Kedua peristiwa itu (11 September 2001 dan 12 Oktober 2002) awalnya dianggap sebagai peristiwa terror kemanusiaan, masalah sosial politik dan anti kemapanan, tapi belakangan mulai berubah menjadi minor. Isu sentimen agama digulirkan sebagai gantinya. Bahkan Presiden Irak (Saddam Husein) mengisyaratkan: jika terjadi perang (Amerika versus Afghanistan, yang dituduh melindungi Osama bin Laden selaku pimpinan Tanzim Al-Qaeda), maka genderang perang agamapun telah dimulai. Bahkan peristiwa 11 September 2001 merupakan isu penentu siapa menjadi kawan dan siapa menjadi lawan, sebagaimana dikemukakan George W. Bush (Presiden Amerika Serikat): <em>you are either with us or against us.<br /></em><br />Agama Dalam Segmen Sosio-Teologis<br />Sebagai fenomena-sosial universal yang menyejarah, agama tidak saja “ada di mana-mana”, tetapi juga dianut oleh sebagian besar penduduk dunia dengan beragam lingkungan sosial-budaya. Keanekaragaman konteks sosial dan budaya penganut agama, memberi kemungkinan tidak mudahnya merumuskan definisi agama yang benar-benar representatif secara sosiologis. Saya setuju dengan Elizabeth K. Nottingham,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> bahwa agama bukanlah untuk didefinisikan (batasan), melainkan untuk dideskripsikan (penggambaran). Yakni “mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami oleh pemeluk-pemeluknya”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a> Dengan demikian, agama berkaitan dengan usaha-usaha pemeluknya untuk mengukur kedalaman makna keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a> </div><div align="justify"><br />Meski adalah kemustahilan secara sosiologis untuk mendefinisikan arti agama yang representatif, maka demi kesamaan paham dalam tulisan ini, saya kira ketidakmungkinan itu perlu “direlatifkan”. Agama adalah suatu institusi sosial (wadah komunitas, sistem keyakinan) yang memfasilitasi keinginan manusia untuk “berjumpa” dengan apa yang oleh Emile Durkheim<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a> sebut the sacred (membedakan dari yang profane) agar hidupnya memiliki makna positif dihadapan the sacred itu. Atau kata Hendropuspito,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a> “agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya”. </div><div align="justify"><br />Secara teologis, agama adalah pengalaman (pencarian dan respons) manusia terhadap apa yang Rudolf Otto<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a> istilahkan dengan “The Wholly Other”, sebuah misteri yang menakutkan tapi sekaligus mempesona (mysterium tremendum et fasinans). “Tidak ada agama ketika ‘yang suci’ tidak hidup sebagai inti terdalam, dan tanpa ‘yang suci’ tidak ada agama yang layak diberi nama agama”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a> Atau dalam bahasa Herlianto, agama adalah kesadaran yang ada dan lahir pada diri setiap manusia, bahwa di balik ‘alam nyata yang tidak kekal’ (profane) ini, ada ‘alam maya yang kekal’ (sacred) dan bahwa ‘manusia dengan suatu cara dapat berhubungan dengan realitas yang lain itu’.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a> Agama bukan saja sarana memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga merupakan pengalaman agamaniah manusia terhadap “yang suci”. </div><div align="justify"><br />Dengan demikian, baik secara sosiologis<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a> maupun teologis,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a> agama memiliki dimensi sosial (menghubungan manusia dengan sesama dan alam lingkungannya) dan rohani (menghubungkan manusia dengan “yang transenden”, “yang suci”). Dalam rangka membicarakan peran agama di tengah kehidupan bermasyarakat pasca modern, yang dianut itu (tradisi, agama) harus ditransformasikan. Sebab ketidaksanggupan untuk mentransformasikan (tradisi) agama dalam konteks pasca modern yang dominan “merombak”, akan menjadikan agama itu konservatif-irasional. Agama dalam zaman pasca modern adalah agama dalam tantangan: sikap beragama tradisional tidak mungkin diteruskan, dan itu artinya agama harus senantiasa ditransformasikan.<br /><br />Paradoksalitas Agama di Medan Ibu Pertiwi<br />Eksistensi manusia beragama sebagai makhluk sosial senantiasa disertai dengan insting-insting dan hegemonik seperti rasa lapar, rasa haus, rasa aman, keinginan berkuasa dan pertahanan diri. Dalam tiap aktivitas untuk memenuhi kebutuhan insting dan hegemonik-nya itulah yang memungkinkan, dan bahkan sering “membenarkan” manusia berinteraksi sosial dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Praktek kekerasan terhadap manusia oleh manusia beragama merupakan peristiwa sehari-hari masyarakat Indonesia pasca-modern, sepertinya membenarkan ungkapan Thomas Hobbes: <em>homo homini lupus</em> (= manusia menjadi serigala atas sesamanya). Dalam hal ini, yang kuat (secara fisik) akan menuai kemenangan, dan yang sekaligus menentukan hukum.</div><div align="justify"><br />Kekerasan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kondisi kejiwaan (psikis) manusia yang disulut oleh bertumbuhnya iklim atau suasana kemarahan, ketakutan, frustasi sosial, dan perasaan tertekan yang semakin intens dan cenderung meluas.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a> Ada banyak yang menjadi penyebabnya. Bisa karena ketimpangan dan ketidak-adilan yang membangkitkan perasaan kecewa. Bisa juga karena politik yang tidak memberikan peluang bagi partisipasi masyarakat dalam urusan yang menyangkut “nasib” masyarakat kebanyakan. Atau hadirnya suatu sistem yang memang memungkinkan terciptanya kelompok privilege yang tidak mendukung bagi peneguhan kepentingan orang banyak.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a></div><div align="justify"><br />Dengan demikian, kekerasan tidak saja menyangkut perilaku (remuknya tubuh seseorang dan terburainya usus dari perut), tetapi juga konteks dan sikap hidup (cara manusia memandang, memperlakukan manusia lain, cara mendidik, dan yang terpenting adalah cara mengelola konflik). Dalam masyarakat di mana kekerasan telah membudaya, kekerasan akan senantiasa menjadi cara paling efektif mengatur hubungan antar manusia. Kekerasan bukanlah reaksi terhadap kekerasan sebelumnya (seperti umumnya lingkaran setan kekerasan), melainkan sebuah aksi yang sadar dan sukarela, bahkan sebuah kreasi yang memuat dimensi imajinatif manusia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a></div><div align="justify"><br />Sekalipun praktek kekerasan amat mencuat dan tampaknya “dibenarkan” tampil ke permukaan pasca tumbangnya “boneka-boneka Soeharto”, namun akar kekerasan itu sendiri justru telah hadir jauh sebelum itu. Tepatnya: sejak peradaban antar manusia mulai berlangsung.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a> Karena itu, sulit rasanya untuk memisahkan antara sejarah hadirnya manusia dengan asal-usul kekerasan, baik di Indonesia, maupun di tempat-tempat lain. Kekerasan telah menghancurkan nilai dan hubungan persaudaraan, sebab kekerasan tidak saja mengubah kehangatan menjadi dendam, tetapi juga menanamkan luka batin dan teristimewa ia “menjadi monster bagi perkembangan psikis manusia di masa depan”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a></div><div align="justify"><br />Dalam rentang era –yang oleh para pakar- disebut pasca-modern, Indonesia tidak saja mengalami peningkatan jumlah (eskalasi) aksi kekerasan dari dan oleh manusia, tetapi juga pencanggihan dan sakralisasi kekerasan dengan dukungan teknologi. Bahkan yang paradoksal terjadi agamisasi kekerasan, yakni upaya labelisasi kekerasan dengan simbol-simbol agama.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn20" name="_ftnref20">[20]</a> “Kekerasan yang terjadi akibat ‘intervensi’ agama meski tidak secara taken for granted berdiri sendiri, ternyata telah menjadi tindakan yang paling kejam dan mengerikan dalam masyarakat beragama, di mana agama seakan memberikan justifikasi terhadap tindak kekerasan dalam kehidupan bermasyarakat”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn21" name="_ftnref21">[21]</a> </div><div align="justify"><br />Agama selaku wadah-sosial yang dipakai manusia dalam merespons “sapaan” Ilahi sudah amat jauh terseret dalam stigma kekerasan. Agama, di satu sisi memperbudak dan membelenggu penganutnya (melakukan aksi kekerasan), namun di sisi yang lain agama memerdekakan atau membebaskan penganutnya (agar tidak melakukan kekerasan). Inilah yang disebut dengan paradoksal, atau dalam bahasa Aloysius Pieris disebut ambivalen: memperbudak dan membebaskan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn22" name="_ftnref22">[22]</a> Wajah mendua seperti ini yang kerap kali menimbulkan persoalan dalam interaksi masyarakat majemuk seperti Indonesia. Banyak orang mengaku beragama, tapi ironisnya demi membela agama, nyawa sesama seringkali menjadi taruhan.</div><div align="justify"><br />Membeloknya agama ke dalam zona kekerasan untuk era ini adalah realitas. Karena itu perlu disadari bahwa di antara agama dan kekerasan terdapat hubungan paradoksal yang sangat nyata. Secara intrinsik, agama memang mengajar dan memproklamasikan perdamaian semesta, namun dalam waktu bersamaan dan secara intrinsik pula, agama dapat memancing terjadinya konflik dan kekerasan. Memang agak naif dan subjektif kalau dikatakan bahwa agama senantiasa “terlibat” dalam pentas kekerasan, sebab selama ini agama dikenal dengan karakternya yang memerdekakan dan membawa damai. Lalu mengapa (secara historis) agama-agama terbukti aktif “bermain-main” dalam wilayah kekerasan? Akibatnya, agama lebih sering didakwa sebagai trouble maker ketimbang problem solving.<br /><br />Agama di Kancah Kekerasan, Kebuntuan Mencipta Perdamaian-Semesta<br />Kekerasan di satu pihak, tak ubahnya rasa lapar yang tiba-tiba dapat mencuat ke permukaan (kodrat naluri-alamiah manusia secara jasmani). Namun di lain pihak, kekerasan adalah seperti “lingkaran setan”. Artinya, kekerasan itu lebih dari sekedar naluri yang alamiah, tetapi menjadi budaya, yakni budaya kekerasan. Kalau anggapan ini benar, maka secara perlahan interaksi sosial manusia sebagai masyarakat di millennium ini tidak saja mengalami perluasan kekerasan secara akumulatif, melainkan juga pencanggihan kekerasan. Kekerasan itu tidak pernah berdiri sendiri, lepas dari aneka persoalan yang ada di sekitarnya. Ia lahir susul-menyusul secara estafet bagaikan mata rantai dari kekerasan-kekerasan terdahulu.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn23" name="_ftnref23">[23]</a> </div><div align="justify"><br />Dalam kategori ini, saya membenarkan pendapat Jean Jacques Rousseau (1588-1679 M) bahwa manusia pada dasarnya adalah tidak baik dan tidak juga buruk, bukan egois dan bukan altruis, ia hidup dengan polos dan mencintai diri secara spontan. Kepolosan manusia itu terkoyak akibat pergumulannya di tengah sebagian masyarakat yang ingin memutlakkan kekuasaannya (tidak menghendaki perubahan). Karena keinginan bebas dari pergumulannya dalam sistem yang otoriter, misalnya, lalu manusia dengan mudah menumpahkan darah dan membunuh sesamanya. </div><div align="justify"><br />Awalnya kekerasan lahir dan dibidani oleh rasa keakuan para elit penguasa otoriter dan sahabat-sahabatnya. Lalu kekerasan pun muncul sebagai reaksi dari kelompok pejuang keadilan bersama kelompok yang diperjuangkannya. Awalnya berbentuk protes, demonstrasi, dan akhirnya sampai mengangkat senjata untuk menumbangkan “boneka-boneka penguasa” yang dianggap penjahat. Pada tataran ini, kekerasan akan kembali mencuat sebagai satu-satunya jalan berpikir dan bertindak dari penguasa untuk menumpas kekerasan kedua (dari para penentangnya). Begitulah seterusnya, hingga kekerasan demi kekerasan nyaris menumpahkan darah untuk membayar dendam kesumat yang tak kunjung tuntas penyelesaiannya secara hukum.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn24" name="_ftnref24">[24]</a></div><div align="justify"><br />Mengapa manusia menjadi marah, dan agresif, lalu melahirkan kekerasan? Anggapan teori psikologi lama, sebagaimana di antaranya dianut oleh Gerard Priestland, menyatakan bahwa agresivitas manusia disebabkan oleh frustasi sosial. Penelitian lebih lanjut, menunjukkan bahwa meskipun secara rohani kebutuhan manusia terpenuhi, tetap saja perasaan marah bisa terjadi. Sebaliknya, dengan konteks kehidupan yang chaos (di mana peran agama tampak “mandul”), banyak umat beragama yang justru tetap bersemangat melakukan kegiatan keagamaan dengan setia tanpa harus ditekan dan dipaksa oleh pihak negara (pemerintah).</div><div align="justify"><br />Penelitian-penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa penyebab kemarahan dan agresivitas manusia lebih pada gejala yang oleh Sarlito<a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn25" name="_ftnref25">[25]</a> (mengutip T.R. Gurr) disebut Deprivasi Relatif (DR), yakni suatu keadaan di mana antara harapan dan kenyataan terdapat jurang yang dalam: harapan melonjak, kenyataan tetap tidak berubah (DR tipe 1), harapan tidak berubah dan kenyataan lebih merosot (DR tipe 2), sedang DR tipe 3 (gabungan 1 dan 2). Yang sedang terjadi di Indonesia adalah DR tipe 3,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn26" name="_ftnref26">[26]</a> di mana interaksi sosial-kemasyarakatan semakin terpuruk karena krisis multi dimensi, harapan manusia justru melonjak karena dibakar oleh semangat dan euforia atau tidak salah juga dikatakan oleh Karman sebagai ironi reformasi.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn27" name="_ftnref27">[27]</a></div><div align="justify"><br />Deprivasi relatif yang melahirkan kekerasan demi kekerasan di Indonesia tampaknya sudah semakin kronis, dan cenderung menjadi budaya (kekerasan telah menjadi modus vivendi, sebuah masyarakat yang secara psikis sedang sakit). Dalam situasi serupa itu Girard sebagaimana dikutip oleh Maulani<a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn28" name="_ftnref28">[28]</a> tidak sependapat kalau kekerasan dipandang sebagai tindak yang “irasional”. Bagi Girard, kekerasan memiliki rasionalitasnya sendiri, terutama bila terdapat perasaan tertekan yang intens. Bila seseorang tak dapat melampiaskan kemarahannya kepada sumber yang menekan (bisa jadi karena berada di luar kemampuannya membalas), biasanya muncul reaksi dalam wujud mencari korban pengganti. </div><div align="justify"><br />Korban pengganti biasanya dipilih semata-mata karena ia lebih lemah, lebih rentan dan mudah dicapai untuk melampiaskan emosi dengan maksud bisa segera keluar dari aneka krisis. Bentuk-bentuk kekerasan brutal dan membenarkan segala cara, bukan hanya bom waktu yang bisa meletupkan persoalan lebih luas dan rusaknya relasi sosial-kemasyarakatan dalam suatu komunitas majemuk seperti Indonesia. Tetapi juga merupakan penghambat pertumbuhan dan sekaligus perkembangan manusia secara jasmani, terlebih rohani karena trauma yang berkepanjangan.<br /><br />Agama: “Terlibat” Atau “Melibatkan” Diri<br />Memang agak naif dan subjektif, kalau saya kemudian mengatakan bahwa agama senantiasa “terlibat” atau “melibatkan” diri atau “bermain” dalam pentas kekerasan, sebab selama ini agama dikenal dengan karakternya yang membawa damai. Lalu mengapa agama selalu menjadi “tersangka”? Ada beberapa kemungkinan dapat disebut. </div><div align="justify"><br />Pertama. Agama oleh sebagian besar masyarakat masih dimengerti sebagai wadah-sosial yang dengan mudahnya dapat mengumpulkan massa. Melalui agama, mereka merasa disatukan dan diikat oleh perasaan senasib untuk “membela Tuhan”,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn29" name="_ftnref29">[29]</a> membela (institusi) agama dan kebenaran (agama dipakai dalam percaturan politik atau “bahasa kekuasaan”). Juga perasaan untuk membebaskan diri dari sistem-sistem otoriter dan akumulasi kekecewaan terhadap pemerintah yang tidak menunjukkan sikap pembelaan dengan benar. Juga akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang selama ini (dianggap) tidak sungguh-sungguh menunjukkan concern-nya terhadap krisis multi-dimensi yang tampaknya enggan beranjak dari bumi Indonesia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn30" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn30" name="_ftnref30">[30]</a> </div><div align="justify"><br />Kedua. Hampir semua “agama” dilahirkan pada masyarakat tertutup (eksklusif) dan langsung berhadapan dengan musuh. Karenanya, banyak sekali ungkapan-ungkapannya yang secara tekstual (apa yang tertulis) menyatakan permusuhan dan mengutuk eksistensi agama lain.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn31" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn31" name="_ftnref31">[31]</a> Karena teks agama dianggap suci sementara konteks sosialnya diabaikan, maka pendekatan tekstual semata tanpa memperhatikan konteks historis (latar belakangnya) dan apalagi tanpa kemauan melakukan kerja-hermeneutik (upaya untuk menjadikan yang tekstual itu relevan di konteksnya) akan bisa mengawetkan rasa permusuhan terhadap kelompok dan atau agama-agama lain.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn32" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn32" name="_ftnref32">[32]</a></div><div align="justify"><br />Ketiga. Umumnya polarisasi dengan mengidentifikasikan antara “kita” dan “mereka”, membutuhkan legitimasi yang dikembangkan melalui narasi berbentuk ritual keagamaan, dan diperkokoh oleh ekspresi simbol-simbol keagamaan pula. Fenomen religiositas (keberagamaan) yang seperti ini hanya akan menambah kekokohan identitas diri dan kelompok sendiri, dan sekaligus juga memperteguh pembedaan di antara “kita” dan “mereka”. Dalam situasi chaos, narasi keunggulan simbol-simbol agama amatlah berpeluang menyulut ke-chaos-an yang semakin chaos: “kita” disucikan dan makin merasa paling suci; sedang “mereka” dilecehkan dan semakin dianggap lebih kafir.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn33" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn33" name="_ftnref33">[33]</a></div><div align="justify"><br />Keempat. Setiap agama pada akhirnya melahirkan realitas sosial berupa the community of believers, yang memerlukan sebuah ruang penemuan identitas diri dan kelompok di mana “kita” bisa unggul dan mendominasi dari “mereka”. Dalam posisi yang demikian, agama menyatukan orang-orang tertentu ke dalam kelompok tertentu, dan karena itu juga membeda-bedakan orang dari kelompok lain. Bersamaan dengan itu pula akan muncul apa yang disebut outsiders atau the other groups, bahkan mungkin one region one faith.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn34" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn34" name="_ftnref34">[34]</a> Polarisasi ini menciptakan dinamika kelompok antara “kita” dan “mereka”, yang senantiasa menguat di tengah situasi konflik di mana yang berbeda selalu menjadi rival.</div><div align="justify"><br />Kelima. Setiap agama menawarkan jalan keselamatan yang kemudian dipahami secara eksklusif (agamanyalah yang merupakan jalan keselamatan mutlak dan final). Lebih ekstrim lagi dengan mengutuk dan membasmi keberadaan agama lain, dan ironisnya dianggap sebagai suatu tuntutan suci (karena itu ada “perang suci” yang dilegalkan oleh agama tertentu). Orang semacam ini terlalu yakin, bahwa seakan dirinyalah yang telah ditunjuk oleh Tuhan sebagai pemegang kunci sorga, dan dialah pula yang paling berhak menentukan seleksinya, apakah seseorang layak atau tidak masuk sorga.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn35" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn35" name="_ftnref35">[35]</a> Dalam hal ini, agama tidak saja mendidik masyarakat, tetapi juga dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat.<br /><br />Menerobos Kebuntuan. Transformasi Agama Demi Agama Transformatif<br />Benturan peradaban sebagaimana digagas oleh Huntington dan maraknya aksi kekerasan di Indonesia, tidak saja mengindikasikan terjadinya dehumanisasi dalam dunia pasca modern, melainkan juga sekaligus runtuhnya harapan akan sebuah tata dunia pasca Perang Dingin yang lebih aman dan stabil. Agama lalu dituding selaku trouble maker dan yang harus pula “bertanggung jawab” memberhentikan setiap upaya penghancuran hakikat dan peradaban manusia oleh kekuatan-kekuatan revolusioner (problem solving). Jadi, agama-agama selain dituntut membuktikan dirinya sebagai pendorong integrasi, agama juga ditantang untuk membuktikan relevansi tradisinya bagi pencegahan dan pemecahan masalah-masalah dehumanisasi secara dialogis-transformatif. </div><div align="justify"><br />Dalam konteks yang terus berubah agama-agama ditantang untuk merelevansikan tradisi masing-masing agar tidak ketinggalan zaman, termasuk tradisi Kekristenan, yang dengannya berarti keberanian untuk kaji-ulang tradisi. Atau lebih tepatnya: sedang dibutuhkan transformasi agama (demi agama transformatif), agar tradisi yang dikandungnya menjadi kontekstual. Betapa tidak? Ketidakberanian, atau karena keengganan mengadakan transformasi tradisi (agama), seringkali menjadi sebab bahwa agama-agama tidak mampu menunjukkan “tanggung jawabnya” (sikap transformatifnya) ketika terjadi dehumanisasi. Bahkan kebangkitan agama-agama, senantiasa hanya dapat diikuti oleh dekadensi moral, yang ironisnya berarti keruntuhan etika dan religiositas (= keberagamaan) umat beragama. </div><div align="justify"> </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Catatan:</div><div align="justify"> </div><div align="justify"> </div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref2" name="_ftn2"><span style="font-size:85%;">[2]</span></a><span style="font-size:85%;">Antara lain August Comte (1798-1857, agama mengasingkan manusia dari kenyataan), Ludwig Feuerbach (1804-1872, agama mengasingkan manusia dari esensinya), Karl Marx (1818-1883, agama adalah candu masyarakat), Friedrich Nietzsche (1844-1900, Requienum Aeternam Deo, semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi), dan Sigmund Freud (1856-1939, agama adalah opium). Bahkan tiga di antara mereka (Feuerbach, Nietzsche dan Freud) akhirnya disebut sebagai algojo-algojo atheis berdarah sekuler yang mematikan Tuhan.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref3" name="_ftn3"><span style="font-size:85%;">[3]</span></a><span style="font-size:85%;">Kebangkitan agama justru dilihat sebagai salah satu megatrends menjelang akhir millennium kedua dan tahun-tahun awal millennium ketiga. Lihat John Naisbitt dan Patricia Aburdene. Sepuluh Arah Baru Untuk Tahun 1990-an. Megatrends 2000 (Jakarta: Binarupa Aksara, 1990), hlm. 254-280.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref4" name="_ftn4"><span style="font-size:85%;">[4]</span></a><span style="font-size:85%;">Lihat rangka-pikir Samuel Paul Huntington tentang “The Clash of Civilizations?” dalam [http://www.coloradocollege.edu/dept/PS/Finley/PS425/reading/Huntington1.html], diterbitkan oleh jurnal Foreign Affairs, edisi kemarau 1993 dan Samuel Paul Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (London: Simon & Schulster, 1996).<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref5" name="_ftn5"><span style="font-size:85%;">[5]</span></a><span style="font-size:85%;">Lihat Elizabeth K. Nottingham. Agama dan Masyarakat. Suatu Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 3.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref6" name="_ftn6"><span style="font-size:85%;">[6]</span></a><span style="font-size:85%;">D. Hendropuspito. Sosiologi Agama (Yogyakarta: Yayasan Kanisius dan Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 29<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref7" name="_ftn7"><span style="font-size:85%;">[7]</span></a><span style="font-size:85%;">Bandingkan Elizabeth K. Nottingham. Loc. cit.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref8" name="_ftn8"><span style="font-size:85%;">[8]</span></a><span style="font-size:85%;">Agama menurut Durkheim adalah kesatuan sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan sesuatu yang sacred, yakni segala sesuatu yang terasingkan dan terlarang, keyakinan dan praktek yang menyatu dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja, di mana semua orang tunduk kepada-Nya. Lihat Emile Durkheim. The Elementary Forms of Religious Life (New York: The Free Press, 1995) p. 44<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref9" name="_ftn9"><span style="font-size:85%;">[9]</span></a><span style="font-size:85%;">Lihat D. Hendropuspito. Op. cit., hlm. 34. Agama sebagai jenis sistem sosial, hendak menjelaskan bahwa agama adalah fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem sosial yang dapat dianalisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan tertentu. Agama berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris, menyatakan bahwa agama itu khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia luar” yang di-“huni oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh atau Roh tertinggi. Manusia mendayagunakan kekuatan-kekuatan di atas untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Kepentingan (keselamatan) adalah keselamatan di dalam dunia sekarang ini dan keselamatan di “dunia lain” yang dimasuki manusia sesudah kematian. Lihat D. Hendropuspito. Loc. cit.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref10" name="_ftn10"><span style="font-size:85%;">[10]</span></a><span style="font-size:85%;">Rudolf Otto. The Idea of the Holy. An Inquiry Into the Non-Rational Factor in the Idea of the Divine and its Relation to the Rational (New York: Oxford University Press, 1958), pp. 12-13, 25-40<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref11" name="_ftn11"><span style="font-size:85%;">[11]</span></a><span style="font-size:85%;">Bandingkan Rudolf Otto, Ibid. pp. 5-7<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref12" name="_ftn12"><span style="font-size:85%;">[12]</span></a><span style="font-size:85%;">Herlianto. “Perjalanan Agama dan Kehidupan Beragama di Masa Kini” dalam Majalah DIA, edisi 4/2001, kolom 1, hlm. 14. Manusia menyadari realita yang suci karena realita itu menyatakan dirinya sebagai sesuatu yang samasekali berbeda kenyataannya dari yang duniawi. Pernyataan ini disebut sebagai hierophany. Dalam hubungan dengan realita baka yang dianggap suci itu umumnya orang-orang memandang dengan sikap hormat disertai larangan dan pantangan bila berhubungan dengannya, karena yang dipercaya itu berasal atau berada dalam realita yang suci.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref13" name="_ftn13"><span style="font-size:85%;">[13]</span></a><span style="font-size:85%;">Kajian mendalam tentang agama dalam perspektif sosiologis dapat dilihat Peter Connoly (editor). Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKiS, 2002), hlm. 267-310.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref14" name="_ftn14"><span style="font-size:85%;">[14]</span></a><span style="font-size:85%;">Kajian mendalam tentang agama dalam perspektif teologis dapat dilihat Peter Connoly (editor). Ibid., hlm. 311-372.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref15" name="_ftn15"><span style="font-size:85%;">[15]</span></a><span style="font-size:85%;">Bandingkan gagasan Gerard Priestland. “The Future of Violence”, 1974 dan Rene Girard. “Violence and the Sacred”, 1989 sebagaimana dikutip oleh Z.A. Maulani. “Keberingasan”. Kolom dalam Majalah Gatra, edisi 16 November 1996, hlm. 31<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref16" name="_ftn16"><span style="font-size:85%;">[16]</span></a><span style="font-size:85%;">Bandingkan Z.A. Maulani. Loc. cit.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref17" name="_ftn17"><span style="font-size:85%;">[17]</span></a><span style="font-size:85%;">Selama ada unsur-unsur pemaksaan, destruksi, dan pengingkaran sebagian atau seluruh kebebasan, dan tidak menjadi soal siapa pelakunya, di sinilah terjadi kekerasan! Dimensi yang luas dan multi ini dengan demikian memperluas makna kekerasan sebagai bukan sekedar anti-perdamaian, tetapi juga pengingkaran kebebasan, peniadaan kesempatan yang sama, ibarat ‘burung dalam sangkar emas’: segalanya terpenuhi, tetapi kebebasannya diminimalkan. Paralel dengan kehidupan manusia, berarti free of will individu manusialah yang dikebiri habis-habisan oleh ‘sangkar emas’ tersebut.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref18" name="_ftn18"><span style="font-size:85%;">[18]</span></a><span style="font-size:85%;">Untuk kajian lebih lanjut tentang sejarah kekerasan di Indonesia dapat dibaca Freek Colombijn and J. Thomas Linbald (editors). Roots of Violence in Indonesia (Leiden: Koninklijk Instituut Voor Taal-Land-End Volkenkunde/KITLV Press, 2002), dan resensi kritisnya oleh Sukidi. “Perspektif Sejarah Kekerasan di Indonesia” dalam [http://www.cmdd.org/buku_sm.htm].<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref19" name="_ftn19"><span style="font-size:85%;">[19]</span></a><span style="font-size:85%;">Bandingkan Mamphele A. Ramphele. “Kata Pengantar” dalam Gill Straker. Faces in the Revolution. The Psychological Effects of Violence on Township Youth in South Africa (Claremont: David Philip Publishers and Ohio University Press, 1992), p.ix<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref20" name="_ftn20"><span style="font-size:85%;">[20]</span></a><span style="font-size:85%;">Agama selalu disebut-sebut di mana ada konflik terjadi (di Maluku, di Poso, dan di tempat-tempat lain), apakah sebagai pemicu, sebagai yang terlibat dalam konflik, sebagai yang membuat konflik mengalami perluasan, atau sebagai yang bisa menyelesaikan konflik (problem solving).<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref21" name="_ftn21"><span style="font-size:85%;">[21]</span></a><span style="font-size:85%;">Bandingkan Zuly Qodir. “Agama dan Kekerasan. Di Mana Peran Ornop Keagamaan?” Fokus dalam Harian Umum Kompas, edisi Jumat, 19 Januari 2001 dan juga tulisan-tulisan dalam Chaider S. Bamualim, Karlina Helmanita, Amelia Fauzia, E. Kusnadiningrat (editors). Communal Conflicts In Contemporary Indonesia (Jakarta: The Center for Languages and Cultures and The Konrad Adenauer Foundation, 2002), pp. 3-261<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref22" name="_ftn22"><span style="font-size:85%;">[22]</span></a><span style="font-size:85%;">Aloysius Pieris. Berteologi Dalam Konteks Asia (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996), hlm. 73. Bahkan Franz Magnis-Suseno menyebut agama sebagai “berkat dan ancaman” dalam Mencari Makna Kebangsaan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm 158; Mudji Sutrisno: “mencerahkan dan memecah” dalam Agama: Wajah Cerah dan Wajah Pecah (Jakarta: Penerbit Obor, 1996), hlm. 16; Franz Dahler: “menguntungkan dan merugikan” dalam Masalah Agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), hlm. 3; Agus M. Hardjana: “anugerah Tuhan dan upaya manusia” dalam Penghayatan Agama: Yang Otentik & Tidak Otentik (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), hlm. 5; Mianto N. Agung: “suaka dan petaka” dalam “Agama dan Konflik di Indonesia: Memahami Peran dan Posisi Gereja” dalam Majalah Bina Darma edisi 61 Januari 2001, hlm. 74<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref23" name="_ftn23"><span style="font-size:85%;">[23]</span></a><span style="font-size:85%;">Bandingkan Andreas Ambar Purwanto “Paradoksalitas Agama dan Kekerasan” Fokus dalam KQ Megazine, edisi April 1999, hlm. 1-2 dan lihat juga Mamphele A. Ramphele. “Kata Pengantar” dalam Gill Straker, Op. cit., pp. 87-107<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref24" name="_ftn24"><span style="font-size:85%;">[24]</span></a><span style="font-size:85%;">Bandingkan Andreas Ambar Purwanto dalam Loc. cit.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref25" name="_ftn25"><span style="font-size:85%;">[25]</span></a><span style="font-size:85%;">Lihat Sarlito Wirawan Sarwono. “Pencegahan Pemogokan Pekerja Dengan Pendekatan Psiko-Sosial dan Komunikasi”. Makalah disampaikan dalam seminar oleh Yayasan Cipta Masyarakat Madani, Jakarta, 23 Maret 2003, hlm. 1<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref26" name="_ftn26"><span style="font-size:85%;">[26]</span></a><span style="font-size:85%;">Bandingkan Sarlito Wirawan Sarwono. Loc. cit.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref27" name="_ftn27"><span style="font-size:85%;">[27]</span></a><span style="font-size:85%;">Yonky Karman. “Kekerasan di Era Reformasi. Memperingati Hari Anti Kekerasan Sedunia Tanggal 25 November”. Opini dalam Harian Umum Sinar Harapan, edisi Rabu, 26 November 2001, hlm. 6, klm. 8<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref28" name="_ftn28"><span style="font-size:85%;">[28]</span></a><span style="font-size:85%;">Bandingkan gagasan Rene Girard. “Violence and the Sacred”, 1989 sebagaimana dikutip oleh Z.A. Maulani. Loc. cit.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref29" name="_ftn29"><span style="font-size:85%;">[29]</span></a><span style="font-size:85%;">Bandingkan Zuly Qodir. Loc. cit.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn30" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref30" name="_ftn30"><span style="font-size:85%;">[30]</span></a><span style="font-size:85%;">Bandingkan Zainuddin Fananie, Atiqa Sabardila dan Dwi Purnanto. Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial (Jakarta: Muhammadiyah University Press bekerjasama dengan The Ford Foundation, 2002), hlm. 1-8<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn31" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref31" name="_ftn31"><span style="font-size:85%;">[31]</span></a><span style="font-size:85%;">Dalam agama Kristen teks yang sering dipahami secara tekstual antara lain Imamat 24:16, Ulangan 20:16, Yosua 6:21, 1 Samuel 15:3, Matius 10:34; 25:30 dan Lukas 12:51<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn32" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref32" name="_ftn32"><span style="font-size:85%;">[32]</span></a><span style="font-size:85%;">Lihat Komaruddin Hidayat sebagaimana dikutip oleh Maksun. “Upaya Preventif Menghindari Radikalisme Agama. Catatan Untuk Muhammad Muhajirin” Opini dalam Harian Umum Media Indonesia, edisi Jumat, 1 Juni 2001<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn33" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref33" name="_ftn33"><span style="font-size:85%;">[33]</span></a><span style="font-size:85%;">Bandingkan Ihsan Ali-Fauzi “Ambivalensi Sebagai Peluang: Agama, Kekerasan, dan Upaya Perdamaian” dalam Sifaul Arifin, Raja Juli Antony, Irfan Nugroho dan Irfan Amali (editor). Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan (Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah, The Asia Foundation, Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 69-73<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn34" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref34" name="_ftn34"><span style="font-size:85%;">[34]</span></a><span style="font-size:85%;">Lihat Komaruddin Hidayat sebagaimana dikutip oleh Maksun, Opini dalam Harian Umum Media Indonesia, Loc. cit., dan lihat juga Ihsan Ali-Fauzi, Loc. cit.<br /></span><a title="" style="mso-footnote-id: ftn35" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref35" name="_ftn35"><span style="font-size:85%;">[35]</span></a><span style="font-size:85%;">Lihat Komaruddin Hidayat sebagaimana dikutip oleh Maksun, Opini dalam Harian Umum Media Indonesia, Loc. cit.</span></div><div align="justify"><span style="font-size:85%;"></span> </div><div align="justify"><span style="font-size:85%;"></span> </div><div align="justify"><span style="font-size:85%;"></span> </div><div align="justify"><span style="font-size:85%;"></span> </div><div align="justify"><span style="font-size:85%;"></span></div><div align="justify"><span style="font-size:85%;"></span></div><div align="justify"></div><div align="justify"><span style="font-size:85%;"></span></div><div align="justify"><span style="font-size:85%;"></span></div><div align="justify"><span style="font-size:85%;"></span></div><div align="justify">Tulisan ini semula dimuat di Majalah "Exodus" Fakultas Teologi UKIT Nomor 14 Tahun XI, Juni 2004, halaman 46-61</div>Jhony Jhony Wayanhttp://www.blogger.com/profile/17639128159958253618noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2886431719523722445.post-7115499834678172612009-08-01T02:35:00.000-07:002009-08-01T03:36:06.530-07:00REFLEKSI TEOLOGIS ATAS SIKAP GEREJA TERHADAP UPAH DALAM RELASI BURUH-MAJIKAN<div align="center">REFLEKSI TEOLOGIS ATAS SIKAP GEREJA TERHADAP UPAH </div><div align="center">DALAM RELASI BURUH–MAJIKAN<br /><br />Oleh: I Wayan Jhony<br /><br /></div><div align="justify">Pendahuluan<br />Secara Nasional, seiring dengan berkembangnya perekonomian di Indonesia, pemerintah (melalui Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia) setiap tahunnya telah menaikkan Upah Minimum Regional (UMR) buruh untuk masing- masing daerah atau propinsi. Hal ini merupakan salah satu kebijakan positif dari pemerintahuntuk lebih meningkatkan kesejahteraan buruh sesuai jaminan konstitusi. Akan tetapi, dalam pelaksanaan sehari – hari, persoalan yang muncul adalah kesenjangan antara “das sollen” (yang diharapkan) dengan “das sein” (kenyataan di lapangan). </div><div align="justify"><br />Artinya, secara Nasional, UMR belum banyak diberlakukan dengan penuh oleh majikan. Akibatnya, upah yang umumnya diterima buruh belum menggambarkan jaminan bagi penerimaan upah yang layak dan sepadan dengan tenaga yang dikeluarkan oleh buruh. Akhirnya, stagnasi kesejahteraan buruh sampai saat ini masih menjadi fakta sosial yang tidak di pungkiri. </div><div align="justify"><br />Bagaimana tujuan pembangunan untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia dapat berhasil, jika kaum buruh (sebagai bagian integral bangsa dan Sumber Daya Manusia yang diharapkan berperan aktif dalam pembangunan) tidak didukung dengan upah kerja yang layak? Bagaimana pula kaum buruh harus berjuang untuk mencapai hidup yang layak dan sejahtera, jika upah yang mereka terima masih di bawah standar UMR yang ditetapkan oleh pemerintah? Menghadapi indikasi demikian, bagaimana sikap Gereja? </div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify">Gereja dipanggil untuk bertindak sesuai dengan komitmennya sebagai persekutuan yang “option for the poor”. Bertindak untuk kaum buruh sebagai salah satu bagian dari penjabaran komitmen Gereja adalah wahana untuk menciptakan relasi kasih di antara Gereja–Buruh–Majikan. Tulisan ini mencoba menyoroti sikap Gereja terhadap kasus rendahnya upah buruh dalam relasi buruh–majikan berdasarkan pandangan Alkitab, dengan memberikan refleksi teologisnya. Semoga bermanfaat dan mudah–mudahan dapat pula memberi kontribusi bagi penyelesaian masalah buruh dan majikan pada umumnya.<br /><br />Manusia (Buruh–Majikan) dan Upah Menurut Alkitab<br />Alkitab menyaksikan bahwa “Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya. Menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kejadian. 1: 27). Itu berarti bahwa buruh adalah juga “gambar Allah” atau citra Allah (Imago Dei), seperti juga manusia lain yang secara kebetulan menjadi majikan. Keberadaan majikan akan disempurnakan oleh keberadaan buruh. Baik majikan maupun buruh, ada dalam hubungan saling memberi dan saling menyempurnakan, sehingga muncul pemahaman bahwa majikan dan buruh adalah sama. (Benar!). </div><div align="justify"><br />Di hadapan Allah, manusia (buruh-majikan) adalah” makhluk.” Hal ini menurut Eka Darmaputera, disebut sebagai pemilik keunggulan kualitatif yang hakiki dibandingkan dengan ciptaan lainnya Ia diberi tugas untuk merawat (Kejadian 2:15) sekaligus dikaruniai mandat untuk “berkuasa“ (Kejadian 1:28) . Artinya, manusia diciptakan sebagai makhluk yang kreatif dalam relasinya dengan sesama dan wajib mengatur kehidupan bersama dalam keharmonisan dengan dan untuk semua orang. </div><div align="justify"><br />Dengan demikian, manusia (majikan-buruh) mempunyai hak-hak, martabat dan kewajiban yang sama dan tidak boleh dieksploitasi oleh siapapun (pada segala profesi dan jabatan). Dalam hal ini menurut Galatia 3:28, tidak ada orang Yahudi, atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan , karena kamu semua adalah satu dalam Kristus. </div><div align="justify"><br />Majikan dan buruh dalam keluhuran harkat dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Allah yang Imago Dei mengekspresikan mandat dan tugas dari Allah melalui kerja. Kerja adalah karunia Allah agar ciptaan-Nya dapat melanjutkan proses kehidupan. Kerja adalah hakekat manusia yang suci. Menurut Christopher Wright, kerja menjadi beban ketika kerja dijadikan barang dagangan, dibeli dan dijual tanpa mempedulikan upah yang layak bagi buruh dan keluarganya. Hal itu, selain bertentangan dengan kemanusiaan buruh sebagai citra Allah, juga berarti gagal memenuhi tanggung jawab kepada Allah demi buruh (bandingkan Kejadian. 2:1,.17 tentang kebebasan yang bertanggung jawab). </div><div align="justify"><br />Dalam beberapa bagian Alkitab, masalah “buruh – majikan“ sehubungan dengan “upah kerja“ menjadi sorotan yang sentral dan esensial. Dengan tegas dikatakan “... Janganlah kau tahan upah seorang pekerja harian sampai besok harinya” (Imamat 19:13, lihat juga Ulangan 24 :14.15). Ungkapan itu mengandung makna bahwa upah buruh harus dibayar dengan segera dan secara penuh. Umat Israel waktu itu dan “Israel“ masa kini dilarang keras menahan upah seorang buruh sampai waktu matahari terbenam. Upah buruh harus dibayar pada hari itu juga setelah menyelesaikan pekerjaannya (lihat juga Matius 20:8). Upah minimum buruh harus diterapkan supaya seorang buruh dapat hidup dari upahnya, mengingat kondisi hidup buruh amat membutuhkan upah sebagai uang belanja dan uang makan sehari-hari. </div><div align="justify"><br />“Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu. Kamu telah menghukum bahkan membunuh orang yang benar dan ia tidak dapat melawan kamu.” (Yakobus 5:4,6). </div><div align="justify"><br />Itulah kritik Yakobus melawan pemerasan terhadap buruh. Yakobus menegur orang-orang kaya (majikan) yang secara sengaja tidak membayar upah buruhnya. Ia memprotes majikan yang hidup dari hasil peluh kaum buruhnya, yang dalam sistem pengupahan tidak mendapat upah kerja yang layak. Sebagai pihak yang lemah, kaum buruh tidak punya daya untuk melawan. Itu berarti, sebagai “orang-orang kuat“, sang majikan telah melakukan penipuan, penindasan dan mengambil keuntungan secara sepihak dengan memperkosa hak asasi manusia sebagai buruh upahan. </div><div align="justify"><br />Tidak dapat disangkal, bahwa peraturan-peraturan, kritik, hukum dan paranesis dalam Alkitab yang berkaitan dengan pengupahan (yang sudah atau belum dikutip dalam tulisan ini) mempunyai aplikasi otomatis kepada kehidupan orang Kristen masa kini. </div><div align="justify"><br />Melalui kutipan-kutipan terdahulu, saya mengundang para pengikut Kristus untuk mampu berpikir secara kasih, lalu bertindak mengamalkan kasih itu. Disebutkan di atas tentang bagaimana seharusnya memperlakukan buruh dalam soal pemberian upah yang layak (lihat Imamat 19:13; Ulangan 24:14,15; Yeremia 22:13; Amsal 14:31; Matius 10:10, 20: 8; Kolose 4:1; Yakobus 5:4,6 dan lain- lain).</div><div align="justify"><br />Majikan yang peduli dengan upah buruh adalah wujud keterpanggilan untuk bertindak melalui kasih. Sebab peduli akan upah buruh yang layak merupakan bagian penting dari perwujudan kasih sang majikan terhadap para buruhnya. Oleh karena itu, perlu dipikirkan dan dilakukan pertolongan yang konkret bagi usaha peningkatan kesejahteraan buruh. Jadi, dalam hal ini, diperlukan semacam visi (sikap Gereja) yang beroeientasi-transformasi-keadilan dalam rangka keutuhan ciptaan Allah.<br /><br />Bagaimana Gereja Bersikap?<br />Mencermati fakta-fakta di lapangan, khususnya tentang rendahnya upah buruh, hal itu menimbulkan keprihatinan ditengah-tengah gencarnya upaya meningkatkan derajat hidup kaum buruh. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan melalui kenaikan UMR setiap tahunnya dan jaminan konstitusi secara Nasional maupun Internasional.</div><div align="justify"><br />Sebagai Gereja yang diutus Allah dan menerima tugas pengutusan itu, mau tidak mau Gereja diwajibkan agar mencermati berbagai permasalahan yang terjadi dengan tajam. Gereja harus berani memerangi segala bentuk ketidakadilan yang terjadi di sekitar pelayanannya atau bahkan dalam pelayanannya sendiri. Kecermatan Gereja tidaklah sekedar berdimensi sosiologis-etis, melainkan berakar dan bersumber dari dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. </div><div align="justify"><br />Masalah rendahnya upah buruh adalah masalah pelecehan Hak Asasi Manusia yang perlu mendapat perhatian lebih serius, bahkan menuntut solusi dari semua pihak, termasuk Gereja sebagai persekutuan yang “option for the poor”, yang diharapkan menjadi nyata dalam solidaritas terhadap kaum buruh dan bersama kaum buruh (“preferential option for the poor”).<br />Dalam Perjanjian Lama, praksis untuk memihak dan melayani kepentingan orang lemah dinampakkan dalam hukum Taurat, seperti tahun Yobel, tahun Sabat, persepuluhan, larangan memungut riba dari sesama bangsa. Dalam Perjanjian Lama, perhatian pada orang miskin tidak sekedar dilakukan dalam pemberian yang karitatif, tetapi ada upaya untuk melakukan transformasi sosial–ekonomi–politik. Orang–orang yang menjadi imam di Bait Allah bukan sekedar pelayan upacara agama, tetapi menjadi pelaku/pengelola persembahan persepuluhan untuk disalurkan pada orang miskin dan janda–janda. </div><div align="justify"><br />Dalam Perjanjian Baru, rombongan Yesus mengenal pula bendahara untuk mengelola bantuan pada orang miskin. Demikian juga dengan jemaat pertama dalam Kisah Para Rasul sudah mengenal pelayanan orang miskin secara terorganisasi. Hal serupa juga dilakukan oleh jemaat sesudah Kisah Para Rasul, di mana imam mengelola persembahan orang kaya untuk melayani orang miskin. (Widyatmadja 1994 : 53).</div><div align="justify"><br />Karena itu, tidak ada alasan bagi Gereja untuk melalaikan komitmennya, terlebih panggilan Allah untuk melayani kaum buruh. Pilihan mendahulukan kaum buruh adalah hal yang ditekankan dalam perjuangan Gereja–gereja. Perjuangan buruh terhadap upah yang layak harus diprioritaskan, karena Allah mau menyelamatkan semua manusia. Adapun cara Allah bertindak adalah dengan mendahulukan mereka yang paling jauh dari “kemakmuran”, yaitu buruh sebagai kelompok manusia yang miskin dan tertindas, bahkan tercecer dan tergilas. </div><div align="justify"><br />Oleh Chris Hartono dijelaskan “Gereja harus mengutamakan pelayanan transformatif (pelayanan bagi dan bersama orang miskin yang bersifat mendampingi dan mendorong orang miskin untuk memperjuangkan hak–haknya sendiri di dalam mengatasi kemiskinannya), dengan tidak melupakan pelayanan karitatif (pelayanan bagi orang miskin yang sifatnya membantu sehubungan dengan keadaannya yang tidak berdaya dan terdesak) dan pelayanan reformatif (pelayanan yang bersifat menampakkan, membekali serta melatih orang miskin agar memiliki kemampuan dan ketrampilan yang baru, yang dapat membangun sendiri hidupnya)”.</div><div align="justify"><br />Hal ini diakui juga oleh Widi Artanto dengan mengatakan bahwa bila keprihatinan sosial Gereja sebagai persekutuan hanya diwujudkan dalam bentuk karitatif dan reformatif, gereja yang “Option for the Poor” belum nampak dengan jelas. Oleh karena itu, perlu ditambah dengan pelayanan transfomatif. Buruh sebagai pihak yang lemah, menurut Artanto, membutuhkan sahabat–sahabat dan pendampingan dalam perjuangan mereka untuk memperoleh upah yang layak, sesuai dengan standar UMR. </div><div align="justify"><br />Harapan mereka satu-satunya adalah Allah. Akan tetapi, berdoa saja tidak cukup. Mereka perlu kekuatan untuk berjuang, namun kekuatan itu tidak mereka miliki. Oleh karena itu, harapan dan kekuaan untuk berjuang akan mereka peroleh dari Allah melalui Gerejanya. Selanjutnya, Gereja-gereja di Indonesia sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia diharapkan untuk berpartisipasi penuh dalam usaha memecahkan masalah rendahnya upah buruh. Gereja sebagai persekutuan yang “Option for the Poor” jangan introvet, tetapi hendaknya ekstrovet untuk bekerja sama dengan pihak lain. Akan tetapi, yang pertama perlu dilakukan oleh Gereja adalah mulai dari dirinya sendiri.</div><div align="justify"><br />Gereja harus berperan sebagai katalisator dalam usaha membarui dan mengembangkan pemahaman telogis tentang kemitraan buruh majikan. Gereja perlu menyadarkan para majikan untuk mambina relasi kasih dengan para buruhnya. Artinya, mereka memperlakukan buruh secara adil dengan memberikan upah kerja yang cukup (sesuai dengan UMR yang berlaku). Atau dengan kata lain, Gereja harus memiliki visi, di mana kaum buruh adalah mitra yang setara-sejajar dengan majikan dalam panggilan dan pelayanan gereja.</div><div align="justify"><br />Prinsip etis majikan memperlakukan buruh secara lebih manusiawi dalam jangka panjang akan lebih membawa keuntungan ekonomis. Dengan demikian, pemihakan terhadap kepentingan kaum buruh, menurut J.B Banawiratma bukan saja merupakan imperatif imam, melainkan dalam jangka panjang akan juga lebih menguntungkan proses ekonomis yang lebih luas. Sikap Gereja dalam posisi ini harus tegas. Berpihak pada yang lemah, sambil melawan ketidakadilan dan mengundang para pelakunya untuk bertobat dan sadar diri. Selain itu, Gereja harus selalu siap untuk memikul “salib“. </div><div align="justify"><br />Akhirnya, Gereja harus mau dan mampu memprakarsai, sambil menggelorakan dalam aksi nyata perjuangan Kristus untuk memerangi kemiskinan, penindasan dan ketertinggalan lainnya, yakni melalui kasih, pengorbanan dan kerelaan untuk menderita sebagai prajurit Kristus. Gereja di panggil untuk bertindak dalam keadilan dan perdamaian demi keutuhan ciptaan Allah di persada ini.<br /><br />Penutup<br />Buruh dan majikan adalah sosok manusia yang diciptakan oleh Allah se gambar dengan–Nya. Oleh karena itu, buruh dan majikan adalah gambar Allah, citra Allah, atau Imago Dei. Eksistensi buruh-majikan adalah eksistensi yang saling melengkapi dan menyempurnakan (relasi kemitraan). Sebagai buruh dan majikan, masing-masing diberi tugas oleh Allah, dan juga mandat, untuk “merawat“ dan “berkuasa“ terhadap ciptaan lainnya demi keutuhan ciptaan Allah. </div><div align="justify"><br />Sebagai manusia yang bekerja, buruh mempunyai hak untuk mendapatkan upah yang layak demi kemanusiaan. Oleh karena itu, pihak majikan harus senantiasa memperhatikan sistem pembayaraan upah yang telah ditentukan oleh pemerintah. Alkitab dengan tegas melarang seorang majikan membayar upah buruh di bawah standar minimal. </div><div align="justify"><br />Menghadapi situasi demikian (upah buruh yang rendah), Gereja sebagai persekutuan harus memiliki sikap untuk selalu mengadakan pelayanan yang karitatif-reformatif-transformatif, agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang terjadi di lapangan. </div><div align="justify"><br />Untuk memperjuangkan secara rasional dan murni “nasib“ buruh, maka perlu dibentuk organisasi buruh dalam suatu perusahaan oleh dan untuk buruh itu sendiri. Gereja juga harus mengadakan pembinaan kepada majikan dan buruh dalam keberadaan masing-masing. Pembinaan yang dimaksud adalah dalam posisi mereka sebagai majikan dan sebagai kaum buruh (bukan dalam status mereka sebagai warga Gereja/jemaat). </div><div align="justify"><br />Akhirnya, semua berpulang kepada kaum buruh itu sendiri, sebab segala usaha harus dimulai dari diri sendiri. Oleh karena itu, berusaha dengan mendahulukan tanggung jawab dari pada hak adalah hal yang mulia dan patut untuk mendapat penghargaan. Kita semua DIPANGGIL UNTUK BERTINDAK.<br /><br />Daftar Kepustakaan<br />Artanto, Widi. “Gereja, Buruh dan Majikan“. Makalah pada Pertemuan Raya Kesaksian dan Pelayanan GKI Jawa Tengah Baturraden, 22 November 1955.<br />Banawiratma, J.B; Sumartama dan Widyatmadja (Editor). Merawat dan Berbagi Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius, 1994.<br />Banawiratma ,J.B. “Buruh Dalam Ajaran Sosial Katolik”. Makalah pada Diskusi Panel Buruh Dalam Perspektif Agama-agama Yogyakarta, 17 Mei 1995.<br />Biro Pelayanan Wanita PGI. Hasil-hasil Pelaksanan Konsultasi Nasional Pelayanan Gereja Bagi Tenaga Kerja Wanita di Indonesia. Jakarta: PGI, 1995.<br />Darmaputra, Eka. Etika Sederhana Untuk Semua: Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990.<br />Hartono, Chris. “Ihwal Bergereja di Indonesia“. Bina Darma, Edisi September 1995, Salatiga: Binawarga, 1995.<br />Jhony, I Wayan. Hak Asasi Kaum Pekerja. Skripsi Sarjana Teologi (S1) Pada Fakultas Teologi UKIT, Tomohon 1996.<br />Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Terjemahan Baru. Jakarta: LAI, 1993.<br />Schultheis; Deberri dan Henriot, P. Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja. Yogyakarta : Kanisius, 1991.<br />Wright, Christopher. Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995. </div><div align="justify"></div><div align="justify"><br /></div><div align="justify"></div><div align="justify"><span style="font-size:78%;">Tulisan ini dengan judul “Dipanggil Untuk Bertindak: Refleksi Teologis Atas Sikap Gereja Terhadap Upah Dalam Relasi Buruh-Majikan“, pernah dimuat di Majalah Refleksi Yayasan INRI Solo, Nomor 03/XII/September 1997, hlm. 17-20. </span></div>Jhony Jhony Wayanhttp://www.blogger.com/profile/17639128159958253618noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2886431719523722445.post-68511877286061440372009-08-01T02:28:00.000-07:002009-08-01T02:32:06.722-07:00BERIBADAH DALAM BINGKAI LITURGIS GEREJA<div align="center">BERIBADAH DALAM BINGKAI LITURGIS GEREJA<br />Beberapa Catatan Sekitar Liturgika dan Homiletika<br /><br />Oleh: I Wayan Jhony<br /><br /></div><div align="justify"> </div><div align="justify">Pada prinsipnya ibadah adalah hakikat kesaksian (marturia), pelayanan (diakonia) dan persekutuan (koinonia) secara full time dari orang-orang percaya di manapun dalam segala waktu. Oleh karena itu, tepatlah kiranya ungkapan “tiada hari tanpa ibadah”, apalagi pada hari Tuhan (Minggu berasal dari kata Portugis Dominggo = hari Tuhan).<br /><br />Globalisasi Ibadah<br />Ibadah orang-orang percaya, ternyata tidak saja melampaui waktu (Senin sampai Minggu), tetapi juga melampaui ruang, dan karena itu, ibadah tidak terbatas di gedung-gedung gereja, melainkan juga di instansi-instansi, di rumah-rumah, di toko-toko, di hotel-hotel, di lapangan-lapangan, di kebun-kebun dan bahkan di lingkungan-lingkungan pendidikan.<br /><br />Ibadah orang percaya, ternyata juga melampaui situasi dan suasana. Karena itu, ibadah orang percaya tidak hanya terbatas pada situasi suka, tetapi juga ketika berdukacita. Tidak hanya itu, ibadah-ibadah orang percaya, ternyata juga melampaui ras, golongan, status sosial dan jenis kelamin, dan karena itu, ibadah tidak dibatasi hanya untuk ras tertentu, golongan tertentu, status sosial tertentu, apalagi jenis kelamin tertentu.<br /><br />Ibadah<br />Secara sederhana, ibadah adalah kegiatan penyembahan orang-orang percaya kepada Tuhan Allahnya (worship), yang tidak dapat dibatasi oleh waktu, ruang, suasana dan atribut-atribut sosial apapun, dan karena itu, ibadah selalu bersifat universal. Meskipun ibadah merupakan kegiatan penyembahan yang insani kepada yang Ilahi, tetapi hendaknya disadari bahwa, orang-orang percaya bukanlah pihak pemrakarsa. Pemrakarsa ibadah adalah Allah. Orang-orang percaya diundang oleh Allah.<br /><br />Allah yang memanggil, maka orang percaya datang sebagai tamu undangan, menanggapi panggilan dan undangan Allah. Orang percaya harus secara aktif dan kreatif menanggapi panggilan Allah (Lihat misalnya KJ. 33 “Suara-Mu Kudengar”, KJ 144 “Suara Yesus Kudengar”, KJ. 353 “Sungguh Lembut Tuhan Yesus Memanggil”, KJ. 354 “Dengan Lembut Tuhanku”, KJ. 355 “Yesus Memanggil”, KJ. 358 “Semua Yang Letih Lesu”, NKB. 125 “Kudengar Panggilan Tuhan”, DSL. 118 “Tuhan Datang Padamu”).<br /><br />Kaidah Ibadah<br />Ibadah berbeda dengan acara seremonial lainnya. Ia berbeda karena, selain hakikatnya berbeda dengan upacara sekuler (protokol-protokolan), ibadah juga berkaitan dengan kaidah atau aturan, sehingga dalam ibadah ada liturgi atau tata ibadah. Fungsi tata ibadah adalah mempersiapkan ibadah agar dapat berjalan dalam keteduhan dan keteraturan, seperti kata Rasul Paulus, ibadah “harus berlangsung dengan sopan dan teratur” (1 Korintus 14:40).<br /><br />Trilogi Kaidah Ibadah<br />Andar Ismail<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> menyebutkan 3 (tiga) kaidah sebuah ibadah: (1) keutuhan, (2) timbal-balik, dan (3) keseimbangan. Dalam kaidah keutuhan, diawalnya termuat undangan dari pihak Allah dan sekaligus kedatangan pihak orang percaya: tahbisan/votum, salam, introitus, pengakuan dosa, pemberitaan anugerah Allah, petunjuk hidup baru. Pada bagian berikut tata ibadah dimuat sapaan Allah: pembacaan Alkitab. Sedangkan bagian akhir tata ibadah dimuatlah tanggapan orang percaya terhadap sapaan Allah: pengakuan iman, persembahan, doa syafaat, pengutusan dan berkat.<br /><br />Dalam kaidah timbal-balik, acara ibadah tersusun dengan irama gilir-ganti atau anti-phone. Selanjutnya dalam kaidah keseimbangan, artinya tidak ada pihak ataupun unsur yang mendominasi (misalnya doa jangan berkepanjangan atau khotbah jangan sampai mendominasi panjangnya ibadah).<br /><br />Nyanyian Orang Percaya<br />Berkaitan dengan nyanyian orang percaya (umat) dalam ibadah, Ismail<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> menjelaskan, hendaknya diperhatikan kategori yang sepadan atau sifat-sifat khas dari nyanyian umat. Pada bagian introitus lagu hendaknya bersifat invokatif dan doksologi. Nyanyian pada pelayanan sabda bersifat proklamatif dan menerompetkan karya Allah dalam sejarah. Sedangkan lagu pada bagian pengutusan bersifat komitmen atas perjanjian baik dari pihak umat atau dari pihak Allah. Dan di atas semua sifat tersebut, hendaknya diperhatikan juga faktor tahun gereja.<br /><br />Epiklese dan Pembacaan Alkitab<br />Membaca Alkitab adalah dalam rangka untuk mendengar pesan-pesan dari Allah. Pembaca memerlukan keteduhan dan kesiapan untuk mendengarkan pesan tersebut. Meneduhkan diri inilah yang dikandung jika pembaca berdoa sebelum membaca Alkitab. Doa itu disebut epiklese (Yunani: epikaleo = seruan). Contoh epiklese adalah ungkapan Samuel dalam 1 Samuel 3:10 “Berbicaralah, Tuhan, sebab hamba-Mu mendengar”. Epiklese mengantar pembaca agar ketika Alkitab dibaca, pesan Allah keluar dari ayat-ayat itu (teks ke konteks) dan bukan sebaliknya, pendapat kita masuk ke dalam ayat-ayat itu (konteks ke teks). </div><div align="justify"><br />Khotbah<br />Memberitakan Firman Allah bukanlah sekedar pilihan antara suka atau tidak suka. Sebab suka atau tidak suka sekalipun, memberitakan Firman Allah adalah tugas dan sekaligus hakikat orang-orang percaya, di manapun dan kapanpun juga.<br /><br />Rasul Paulus mengatakan: “Beritakanlah Firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran. Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng. Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita, lakukanlah pekerjaan pemberita Injil dan tunaikanlah tugas pelayananmu!” (2 Timotius 4:2-5).<br /><br />Khotbah yang baik, pertama-tama adalah khotbah yang dipersiapkan dengan baik dan disampaikan juga dengan baik (tidak loyo, tidak bertele-tele, suara dan mimik jelas, kreatif dan komunikatif, tidak kaku bagaikan robot). Khotbah yang baik adalah khotbah yang memiliki sasaran yang jelas (relevan, siapa pendengar?, apa kebutuhannya?, trend/kecenderungannya apa?, konteksnya bagaimana?, mengenal bahwa tiap konteks berbeda).<br /><br />Khotbah yang baik, tidak saja disampaikan dengan jelas dan ada sasaran, tetapi khotbah juga harus mempunyai isi yang jelas dan tegas (Allah yang diberitakan, bukan semata-mata pribadi pengkhotbah – orang percaya hanyalah alat, bahasa sederhana mudah ditangkap).<br /><br />Sebelum berkhotbah, bacalah kembali perikop pembacaan Alkitab yang ditawarkan. Tidak ada penampilan yang maksimal, tanpa persiapan diri yang juga maksimal. Karena itu, hindarilah penampilan (berkhotbah) tanpa persiapan yang baik. Hindarilah pula berkhotbah tanpa penguasaan isi perikop.<br /><br />Khotbah sebenarnya merupakan hasil pengolahan atas suatu perikop Firman Allah yang tertulis dalam Alkitab. Oleh karena itu, dengan alasan dan situasi apapun, khotbah tidak akan pernah berubah hakikatnya menjadi Firman Allah. Firman Allah adalah Firman Allah, sedangkan khotbah hanyalah salah satu alat supaya Firman Allah diberitakan.<br /><br />Pengakuan Iman (credo)<br />Mengaku iman artinya menerima dan memutuskan untuk percaya kepada Allah (seperti halnya Abram dalam Kejadian 12:1-9). Pengakuan iman diikrarkan dalam ibadah jemaat (universal – am), tetapi sekaligus bersifat pribadi (bukan “kami percaya”, melainkan “aku percaya”). Sedangkan mengenai sikap tidaklah dengan menutup mata, sebab pengakuan iman bukanlah rumusan doa.</div><div align="justify"><br />Persembahan<br />Wujud persembahan orang-orang percaya adalah memberi, karena Allah terlebih dahulu sudah memberi. Bahkan Tuhan Yesus mengajarkan untuk memberi dari kekurangan, seperti halnya janda miskin menurut cerita Markus 12:41-44. Memberi persembahan bukanlah pancingan, bukanlah deposit orang percaya yang daripadanya akan menjadi simpanan berbunga seperti halnya di bank.<br /><br />Pengutusan dan Berkat<br />Pengutusan dan berkat, keduanya sekaligus menjadi akta terakhir dari liturgis gereja. Artinya, secara formal ibadah memang akan berakhir, tetapi ibadah keseharian justru baru akan dimulai. Dengan kata lain, ibadah sesungguhnya bukan saja berwujud dalam berhimpunnya orang-orang percaya satu dua jam, melainkan meliputi seluruh bakti dan karya hidup orang percaya. Kesiapan inilah yang melahirkan berkat.<br /><br />Berkat (benediksi) berfungsi sebagai proklamasi, sekaligus penegasan janji bahwa Allah bersedia menyertai orang-orang percaya bukan saja dalam bakti (ketika berhimpun), tetapi juga ketika bersaksi (saat menyebar dalam rutinitas harian). Inilah dimensi misi 24 jam, misi hidup orang percaya, seperti halnya dimaksud oleh Rasul Paulus dalam Roma 12:1.<br /><br />Akhirnya, selamat memberitakan perbuatan-perbuatan besar Allah, sebab bagaimana dunia mendengar tentang Allah dalam Yesus, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Karena itu, beritakanlah Firman Allah supaya dunia tidak saja mendengar, tetapi juga diselamatkan. Selamat berhari jadi. Viva Remaja “Ekklesia”. Pakatuan wo Pakalawiren.<br /><br /><br />Kepustakaan<br />Darmaputera, Eka. Iman Dalam Kehidupan. Yogyakarta: Kairos Books, 2004<br />______________ “Penyanyi dan Nyanyiannya. Refleksi Matius 5:21-48”. Karya tulis dalam <a href="http://www.glorianet.org/">www.glorianet.org</a><br />Ismail, Andar. Selamat Berbakti. 33 Renungan Tentang Ibadah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999<br />Sudibya, Warsito, Djoko. Pelayanan Lewat Khotbah. Pedoman Praktis dan Contoh. Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1995<br />Wuwungan, O.E.Ch. Bina Warga. Bunga Rampai Pembinaan Warga Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995<br /><br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a>Lihat Andar Ismail. Selamat Berbakti. 33 Renungan Tentang Ibadah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm. 33, 34<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2886431719523722445#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a>Lihat Ismail. Ibid., hlm. 57</div><div align="justify"> </div><div align="justify"> </div><div align="justify"> </div><div align="justify"><span style="font-size:78%;">LATIHAN TENAGA PEMBINA REMAJA GEREJA<br />Dalam Rangka HUT XI Remaja Jemaat GMIM “Ekklesia” Wengkol, Wilayah Tondano ISabtu, 17 Juni 2006</span></div>Jhony Jhony Wayanhttp://www.blogger.com/profile/17639128159958253618noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2886431719523722445.post-10996034141424142132009-08-01T02:15:00.000-07:002009-08-01T02:23:33.704-07:00LOVE, SEX AND DATING DALAM PERSPEKTIF IMAN KRISTIANI<div align="center">LOVE, SEX AND DATING<br />DALAM PERSPEKTIF IMAN KRISTIANI<br /><br />Oleh: I Wayan Jhony </div><div align="justify"><br /><br />Dalam perspektif iman Kristiani, “love, sex and dating” (LSD) adalah karunia Tuhan yang indah, yang kudus, yang luhur, dan oleh karena itu, harus dimanfaatkan secara bertanggung jawab dan dijaga kehormatan dan kekudusannya. Mengapa? Karena LSD itu ada pada ranah orde penciptaan (“order of creation”). Jadi, LSD sekaligus merupakan sentralitas dari tata formasi dan tata disain Tuhan Allah selaku Sang disainer dalam rangka mengelola dan merawat bumi agar tetap aman, damai dan lestari. <br /><br />Manusia diperlengkapi dengan perasaan (untuk mencintai dan dicintai), dilengkapi seks (beda jenis kelamin, Kejadian 1:27), seksualitas (Kejadian 1:25, 2:25), dan diperlengkapi juga dengan waktu (termasuk untuk pacaran). Hasil karya Tuhan akan LSD, wajib dihormati, dijaga, dipelihara, dan dipakai pada rel-rel yang benar. Artinya, agar LSD pada tubuh yang insani tersebut, sanggup berdaya guna, berhasil guna, tetapi juga tepat guna (Kejadian 1:31 “Ia melihat bahwa segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik”). Dalam kategori Eden yang harmonis, LSD masih terbatas pada ruang “privat” (pribadi, tertutup).<br /><br />Edanitas: Trend Global<br />Era edan (kehilangan Eden), LSD yang awalnya ada di wilayah “privat” (secara revolusioner) telah berubah menjadi bagian dari wilayah “public” (terang-terangan) dan “profit”. Dengan demikian, zaman ini, telah mampu mengantar manusia untuk menjadi pribadi “ekshibisionis”. Artinya, manusia dipaksa untuk mempertontonkan dirinya sampai dengan keintimannya yang paling tersembunyi. Ulah dari penari-penari “striptease” misalnya, yang dengan terang-terangan tega mempertontonkan ketelanjangannya dalam gelanggang pertunjukan erotis.<br /><br />Namun pengertian “ekshibisionis” era edan yang saya maksudkan dalam dialog interaktif ini, justru melebihi ke-“striptease”-an itu. Bagi saya, “ekshibisionis”, justru pertama-tama merupakan penampilan diri yang tidak ada hubungannya dengan arena pertunjukan dan atau hiburan. Pribadi “ekshibisionis” itu tidak lagi berkata “inilah aku yang telanjang”, melainkan “intiplah ketelanjanganku”. Tidak perlu ia telanjang, namun dalam segala gerak dan penampilannya, orang lain bisa mengintip, menerawang dan ber-fantasi atas “ketelanjangannya” atau bahkan “meraba-raba ketelanjangannya” itu sampai sejauh-jauhnya. Yang menjadi soal, bukan bahwa LSD itu jahat, tetapi LSD itu terlalu baik untuk diumbar, dan terlalu hebat untuk ditelanjangi.<br /><br />“Tabut Perjanjian” di Edanitas Zaman<br />1 Korintus 6:12-13 “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apapun. Makanan adalah untuk perut dan perut untuk makanan: tetapi kedua-duanya akan dibinasakan Allah. Tetapi tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh”.<br /><br />1 Korintus 6:19-20 “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!”.<br /><br />LSD dengan alasan apapun, tidak dapat dijadikan objek permainan birahi, atau di eksploitir hanya untuk mencapai kenikmatan fisik dan sensasi tubuh, apalagi kenikmatan fisik yang sembrono, egoistis, dangkal dan sesaat. “Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun” (1 Korintus 10:23). Manusia memang diberi kebebasan, tetapi harus diingat bahwa tidak semua yang boleh dan dapat dilakukan manusia, lalu berguna bagi diri sendiri dan sesamanya (band. Galatia 5:13).<br /><br />Bersukarialah, Tapi …<br />“Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu, biarlah hatimu bersuka pada masa mudamu, dan turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu, tetapi ketahuilah bahwa karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan! Buanglah kesedihan dari hatimu dan jauhkanlah penderitaan dari tubuhmu, karena kemudaan dan fajar hidup adalah kesia-siaan” (Pengkhotbah 11:9).<br /><br />Remaja yang dikasihi Tuhan. Tuhan, Sang disainer itu, punya rencana yang sangat indah di balik kegantenganmu, di balik kecantikanmu. Jadi, jangan nodai kegantengan dan kecantikanmu itu, jangan beri polesan kelabu pada setiap bagian organ-organ tubuhmu hanya karena manisnya kata cinta dan kata saying itu. Ingat, engkau sedang mengusung “tabut perjanjian Allah” dalam perjalanan melintasi panas dinginnya padang gurun kehidupanmu saat ini. Semoga kegantengan dan kecantikan, serta cinta tulus kalian semua, menjadi berkat bagi sebanyak-banyaknya manusia. Tuhan memberkati. Amin.<br /><br /><span style="font-size:78%;">Tondano, 30 Juni 2006<br />Catatan Pengantar Pada Dialog Interaktif<br />Peserta Perkemahan Remaja GMIM Rayon Minahasa<br />Tanggal 28 Juni s/d 02 Juli 2006 di Perkebunan Makalonso, Tondano Timur</span></div>Jhony Jhony Wayanhttp://www.blogger.com/profile/17639128159958253618noreply@blogger.com0