Minggu, 02 Agustus 2009

MISI GEREJA DALAM KONTEKS PENGUPAHAN PEKERJA

MISI GEREJA DALAM KONTEKS PENGUPAHAN PEKERJA
Oleh: I Wayan Jhony

Konsep misi berwajah barat yang diwarisi oleh gereja-gereja reformasi di Indonesia, sudah waktunya untuk ditinjau kembali. Sebab pergumulan sosial, ekonomi, politik dan budaya Indonesia sangatlah berbeda dengan pergumulan di barat. Dengan demikian, warisan pemahaman tentang misi dari barat menjadi tidak relevan dalam konteks bangsa Indonesia yang tengah mereformasi diri. Olehnya gereja-gereja perlu berupaya sungguh-sungguh untuk merumuskan secara lebih bermakna panggilan misionernya. Jika rumusan tersebut sudah dihasilkan maka gereja-gereja di Indonesia akan menjadi gereja berwajah Indonesia yang hidup dan merasakan kehadirannya yang menyatu dengan konteks manusia yang menderita dan miskin.

Kehadiran gereja haruslah membawa pembebasan bagi keterasingan dan kemelaratan manusia. Gereja harus bercermin pada pembebasan Yesus yang menjadi sempurna di dalam salib-Nya. Hal ini merupakan proklamasi pembebasan bagi semua orang yang mengalami penindasan dalam semua aspek kehidupan (sosial, ekonomi dan politik), baik laki-laki maupun perempuan, manusia pekerja maupun manusia majikan.

Choan Seng Song menjelaskan,

We want to stress that the mission of the cross proves to be ultimate fulfillment of what the mission of the exodus stand for, namely deliverance from social, economic and political bondage. The mission of the cross makes it possible for the coming into being a new man and woman becoming instrumental in a reshaping of a social order based on the ethic of love for the Kingdom of God.[1]

A. Gereja Dalam Memahami Persoalan Tentang Upah
Memberi respons dan menunjukkan sikap berpihak secara nyata kepada pekerja harian, merupakan panggilan misioner gereja­gereja di Indonesia dalam era reformasi. Panggilan untuk mengentaskan masalah upah rendah sebagai dampak dari pelaksanaan kebijakan pengupahan yang timpang sangatlah mendesak, karena nampaknya gereja-gereja di Indonesia belum melihat soal ini sebagai bagian integral dari misi gereja yang berintikan cinta kasih Allah.

Berpihak pada pekerja menjadi penting, sebab dengan pemihakan itu gereja menjadi imitator Allah yang melalui paradigma eksodus jelas berpihak kepada kaum lemah. Maka mulai saat ini gereja harus mempunyai sikap option for the poor (berpihak kepada orang miskin).

1. Upah Sebagai Permasalahan Misi Gereja
Alkitab memandang manusia pekerja sebagai "Gambar Allah" atau "Peta Allah" atau "Citra Allah" atau "Imago Dei" (Kej. 1:27). Seperti juga manusia lain yang secara kebetulan menjadi manusia majikan. Karenanya, pekerja sebagai manusia, memiliki harkat dan martabat yang sama dan terhormat yang diberikan oleh Allah dan melekat kepada hakikat kemanusiaan pekerja sebagai ciptaan Allah. [2] Singkatnya: harkat kemanusiaan manusia yang sama itu, ada pada setiap manusia tanpa terkecuali, apapun status, profesi dan jabatannya. Ditegaskan :

Manusia diciptakan sebagai mahluk yang hidup dalam persekutuan dan wajib mengatur kehidupan bersama bagi semua orang. Dengan demikian manusia mempunyai hak-hak, martabat dan kewajiban yang tidak boleh diambil oleh siapapun dan oleh kuasa apapun. [3]

Sejalan dengan itu, Eka Darmaputera menjelaskan,
... setiap orang adalah citra Allah, maka setiap orang mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi yang sama, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Perbedaan-perbedaan antara manusia yang bersifat kondisional dan eksternal tidak sedikitpun mengurangi atau menambah kesamaan (bukan persamaan!) nya di hadapan Allah dan di hadapan sesamanya. Setiap orang dan semua orang diciptakan sama berharganya di hadapan Allah apapun latar belakang rasial, warna kulit, tingkat budaya dan status sosial - ekonominya. Ini mengimplikasikan kewajiban setiap orang dan semua orang untuk mewujudkan kemanusiaannya yang umum sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai citra Allah: tanggung jawabnya yang penuh sebagai diri sendiri, tanggung jawabnya yang penuh untuk menghargai dan menjalin hubungan kebersamaan yang timbal balik dengan sesarna citra Allah, tanggung jawabnya yang penuh untuk memelihara dan mengelola alam ciptaan bagi kesejahteraan bersama bagi seluruh alam ciptaan, tanggung jawabnya yang penuh untuk membangun masa depan yang terbaik bagi generasi-generasi yang akan datang. Dan oleh karena itu juga kewajiban untuk melawan segala bentuk humanisasi, yaitu segala bentuk perlakuan yang tidak memperlakukan: manusia-baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, sebagai citra Allah, yang menghalangi manusia untk menghadirkan diri secara penuh dan otentik (sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai citra Allah .... negara dan kekuasaan itu ada untuk manusia, berkewajiban untuk menghargai dan rnelindungi harkat dan martabat manusia sebagai citra Allah ...[4]

Keluhuran harkat dan martabat manusia pekerja sebagai peta Allah adalah diberikannya mandat kepada manusia untuk "memenuhi bumi dan menaklukkannya" (Kej. 1:28). Mandat Agung Allah tersebut adalah karunia istimewa dari Allah, supaya manusia pekerja dapat melanjutkan proses kehidupannya. Mandat tersebut, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, mengharuskan manusia untuk bekerja. Di dalam kerja, manusia mengekspresikan mandat itu untuk memenuhi makna kehidupannya. Oleh sebab itu, mandat yang mewujud dalam kerja, harus dilaksanakan sesuai dengan maksud Allah, yaitu memelihara keutuhan ciptaan Allah.[5]

Kerja adalah hakikat manusia (bdk. 2 Tes. 3:10). Kerja yang dipahami sebagai karunia Allah kepada manusia akan menjadi masalah, ketika kerja itu diselewengkan maknanya. Kerja akan menjadi beban, jika kerja dijadikan barang dagangan yang diperjual­belikan tanpa mempedulikan upah layak. Lain kata, mencegah manusia bekerja atau mempekerjakan manusia pekerja dengan upah yang tidak manusiawi adalah bertentangan dengan hakikat kemanusiaan manusia sebagai pekerja, lagi pula berarti gagal memenuhi tanggung jawab moral kepada Allah dalam diri sang pekerja.[6]

Dalam kondisi upah yang tidak layak, pekerja dan keluarganya, bagaimanapun tetap membutuhkan uang makan dan uang untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya. Maka dengan terpaksa “pekerja menjual” tenaganya kepada majikan. Pembayaran yang diterimanya pun sangat ditentukan oleh kalkulasi untung-rugi perusahaan. Upah ditetapkan oleh majikan serendah mungkin. Karena pekerja tergantung dari majikannya, maka upah yang sangat rendah sekalipun, terpaksa diterimanya.

Dalam keadaan demikian upah pekerja harian akan menjadi suatu masalah misi gereja. Artinya, gereja harus melakukan pendekatan baru dalam menjalankan misi sesuai realitas dan kondisi sosial yang sudah berubah. Oleh karena itu, agenda misi gereja harus membawa perubahan terhadap sistem pengupahan yang eksploitatif dan menindas keluhuran martabat manusia pekerja Indonesia.

2. Pengertian Paradigma, Misi dan Gereja
Bagian ini memusatkan perhatian pada pengertian paradigma dan pergeserannya dalam sejarah teologi misi. Kemudian diungkapkan hakikat misi dalam pengertian modern. Akhirnya dikemukakan pengertian gereja menurut konsep LDKG PGI.

2.a. Paradigma dan Pergeserannya Dalam Teologi Misi[7]
Perkembangan era modernisasi telah menghadirkan beragam paradigma baru yang perlu diuji nilai keabsahannya.

Banyak ahli (ilmu alamiah maupun sosial) dalam teorinya berupaya untuk mendefinisikan istilah "paradigma" ke dalam sebuah pengertian yang dapat diterima secara umum. Tetapi agaknya, hanya definisi Thomas Kuhn (ahli fisika dan sejarawan ilmu pengetahuan Amerika) yang terkenal. Walaupun Kuhn sendiri menggunakan istilah paradigma dalam 22 pengertian. Pandangan Kuhn banyak diterima, karena dalam pengertian-pengertian tertentu, Kuhn telah mengungkapkan dan membuat eksplisit apa yang menurut banyak orang ketahui secara implisit.

Walaupun Kuhn sendiri membatasi teorinya hanya pada teori alamiah, tetapi dalam rangka studi teologi (menurut David Bosch) pandangan Thomas Kuhn mengenai pergeseran-pergeseran paradigma masih mempunyal relevansi yang kuat, tetapi dengan catatan, harus diterapkan secara hati-hati (kritis), khususnya pemahaman mengenai teologi misi.

Pergeseran paradigma lahir sebagai akibat dari tidak mampunya model ilmiah yang ada untuk memecahkan persoalan­-persoalan yang muncul. Hal. inilah yang kemudian mengantar manusia untuk mencari suatu model atau struktur teoretis baru, yakni model atau struktur yang diharapkan siap dan dapat menggantikan yang lama. Hal inilah yang oleh Kuhn disebut dengan istilah paradigma "(Inggris, kata benda paradigm: model, pola, contoh)".[8] Dalam buku “The Structure of Scientific Revolutions", Kuhn mendefinisikan "paradigma" sebagai,

An entire constellation of beliefs, values, techniques, and so on shared by the members or a given community.[9] (Keseluruhan konstelasi dari kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, teknik-teknik dan sebagainya, yang sarna-lama dimiliki oleh sebuah masyarakat tertentu).

Pergeseran pengertian paradigma dalam teologi memang sangat beralasan. Sebab menurut Kuhn, tak seorangpun dapat menciptakan suatu paradigma baru yang baku, yang dapat diterima setiap waktu dan masa. Paradigma itu sendiri lahir, berkembang dan menjadi "masak" di dalarn suatu konteks yang beraneka ragam. Artinya, paradigma lama akan menjadi usang (tapi tidak hilang, dapat terus hidup) dan muncul lagi suatu paradigma baru yang mulai diminati dalam jangka waktu tertentu saja.

Namun demikian dewasa ini teori Kuhn dianggap sangat penting dalam hampir semua bidang keahlian, termasuk di dalam teologi. Harus diakui bahwa teori Kuhn mempunyai relevansi khusus dalam bidang teologi zaman sekarang, karena sifatnya praktis untuk semua disiplin dalam kerangka mencari suatu pendekatan den pemahaman yang baru tentang realitas. Inilah pencarian akan suatu paradigma yang baru.

Menurut Kuhn (seperti dikutip Bosch), untuk memilih paradigma yang cocok tidak ada standar yang lebih tinggi dari persetujuan dalam komunitas yang relevan. Sebab sesungguhnya. tidak ada norma-norma atau nilai-nilai yang benar-benar tertinggi. Karena itu bagi umat Kristen, pergeseran paradigma hanya bisa terjadi apabila berdasarkan Injil den karena Injil, bukan untuk melawan Injil.

2. b. Misi Dalam Pengertian Modern
Pengertian misi berkembang terus dan harus dipahami dalam konteksnya. "Amanat Agung" misi dalam Matius 28:18-20 dan Markus 16:15 yang menjiwai gereja zaman pencerahan merupakan panggilan untuk mengabarkan Injil kepada segala makhluk dan menjadikan segala bangsa murid-murid Yesus.[10]

Misi bukanlah suatu kegiatan fakultatif bagi gereja. Misi adalah hakikat keberadaan gereja. Gereja, apabila "berada oleh misi", haruslah memahami dengan jelas misi yang merupakan panggilannya, dan harus senantiasa dilengkapi dengan berbagai karunia sebagai bentuk dan sumber dari pada kehidupannya demi kesetiaannya dalam misinya. [11]

Dengan demikian misi seharusnya tidak lagi dilihat hanya dalam rangka mengkristenkan orang-orang bukan Kristen, melainkan harus dipahami dalam konteks yang lebih luas. Menurut Lima Dokumen Keesaan Gereja Bab I butir (9),

Tugas penggilan gereja itu adalah kelanjutan dari misi Yesus Kristus, yang telah diutus Allah untuk menyelamatkan dunia ini dan memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah, Tugas panggilan gereja tidak pernah berubah disemua tempat dan dalam segala zaman. Sebab gereja hidup oleh Kristus dan bagi Kristus, dan Kristus itu tidak berubah, karena la adalah lama, kemarin, hari ini, besok dan selama­-lamanya.[12]

Hakikat misi gereja di Asia telah dirumuskan dalam Sidang Raya Christian Conference of East Asia (CCEA) di Kuala Lumpur tahun 1959 yang menjelaskan, Gereja janganlah hanya memahami Kristus di tengah kehidupan yang berubah, melainkan berada di sana, menjawab kepada-Nya dan memaklumkan ketuhanan dan kehadiran-Nya. Itulah hakekat gereja dan untuk itulah hakekat kesaksiannya ditengah perubahan sosial di Asia masa kini. Adalah keyakinan kami bersama bahwa gereja hanya bisa menjadi efektif dalam pemberitaan tentang Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat apabila ia menjadi satu keikutsertaan penuh dalam kehidupan baru Asia. [13]

Di atas semua yang baru disebutkan, Gereja-gereja konsiliar, yaitu gereja-gereja yang melibatkan diri dalam gerakan oikumenis, pandangan yang baru sementara timbul dan berkembang mengenai metode-metode yang cocok untuk melaksanakan panggilan gereja dalam konteks modern. Manurut pandangan ini, Injil Lukas 4:16-21 merupakan acuan untuk menciptakan paradigma Missiologia baru dan menjadi dasar Alkitabiah untuk proses konsiliar yang sekarang disebut "Justice, Peace and the Integrity of Creation” (Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan). [14]

Dengan itu dimaksudkan bahwa misi gereja yang modern mestilah memperlihatkan program khusus kepada penderitaan manusia yang konkret. Sebab misi yang melalaikan hal tersebut tidak relevan dengan amanat Alkitab yang harus dipahami dalam konteksnya.

Tidak hanya mereka yang normal dan sudah akrab saja yang termasuk dalam misi ini, tetapi juga mereka yang abnormal, mereka yang "aneh", orang asing, mereka yang berbeda dari kita, dan yang tersingkir. Sesungguhnya jika masyarakat baru ini tercipta dan benar-benar lahir dari saat masyarakat sejati dari anak-anak Allah ada, di mana bukan hanya hak-hak manusia tetapi martabat, rasa hormat dan kebebasan diberi keleluasaan ketika itu ada di tengah-tengah kita, maka kuasa teror akan berhenti. [15]

2.c. Gereja Menurut Naskah LDKG – PGI
Pengertian tentang gereja termuat dalam salah satu rumusan buku Lima Dokumen Keesaan Gereja produk Sidang Raya XII PGI 1994 di Jayapura terutama dalam Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) bab VI, butir (18),

Roh Kudus menghimpun umat-Nya dari segala bangsa, suku, kaum, dan bahasa, ke dalam suatu persekutuan yaitu gereja, di mana Kristus adalah Tuhan dan Kepala (Ef. 4:3-16; Why. 7:9). Roh Kudus juga telah memberi kuasa kepada gereja dan mengutusnya kk dalam dunia untuk menjadi saksi, memberitakan lnjil Kerajaan Allah; kepada segala makhluk di semua tempat dan di separjang zaman (Kis. 1:8; Mrk. 16:15; Mat, 28:19-20). Dengan demikian gereja tidak hidup untuk dirinya sendiri. Sama seperti Kristus telah meninggalkan kemuliaan-Nya di Sorga, mengosongkan diri dan menjadi manusia (Yoh. 1:14; Flp. 2:6-8), dan tergerak hati-Nya oleh sebab belas kasihan kepada semua orang yang sakit; lelah dan terlantar seperti domba tanpa gembala, demikian pulalah gereja dipanggi! untuk selalu menyangkal diri dan mengorbankan kepentingannya sendiri, agar semua orang yang menderita karena pelbagai penyakit dan kelemahan yang merindukan kelepasan, dapat mengalami pembebasan dan penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus (Mat. 9:35-38; Luk. 4:18-19). Dengan demikian, gereja dan warganya akan dapat menghayati dengan sungguh-sungguh makna dari baptisan dan perjamuan kudus yang senantiasa dilayankan bersama­-sama dengan pemberitaan Firman Allah di tengah-tengah ibadah gereja sebagai tanda keberadaan dan kekudusannya.[16]

Gereja yang merupakan persekutuan orang percaya yang dihimpun oleh Roh Kudus Allah, diutus-Nya untuk menjadi saksi, memberitakan Injil di semua tempat agar semua manusia dapat mengalami pembebasan. Itulah misi gereja yang berasal dari Allah. Gereja berada di tangan Allah untuk menjalankan pekerjaan misi­Nya. Karena itu, gereja harus dipahami dalam pengertiannya yang hakiki, sebagai milik Allah "yang diutus ke dalam dunia".

Banyak kiasan dalam Alkitab yang dipakai untuk memberi gambaran kepada keberadaan atau eksistensi gereja. Di antaranya eksistensi gereja sebagai Tubuh Kristus (Ef. 1:22; Kol. 1:18; 1 Kor. 12:27), dan gereja sebagai arak-arakan umat Allah (Kej. 12:3; Mzm. 84:8; Yes. 2:23; Ibr. 12:1; Kis. 1:8).[17]

Sehubungan dengan keberadaan gereja sebagai arak-arakan umat Allah yang terus berada dalam perjalanan menuju kepenuhan di dalam Kerajaan Allah, LDKG PGI bab VI, butir (19)

la dituntut untuk selalu terbuka kepada dunia ini, agar dunia ini terbuka kepada undangan Allah untuk turut serta di dalam arak­-arakan orang percaya menuju pemenuhan janji Allah akan Kerajaan-Nya di dalam Yesue Kristus (1 Ptr. 2:9; 5:15-16). Dengan senantiasa menguji setiap Roh, apakah roh itu berasal dari Allah (I Yoh. 4:1), Gereja dipanggil untuk membina hubungan dan kerjasama dengan pemerintah dan semua pihak di dalam masyarakat untuk mendatangkan kebaikan dan demi damai sejahtera bagi semua orang, dalam rangka mewujudkan dan mendirikan tanda-tanda Kerajaan Allah menuju kesempurnaan di dalam Yesus Kristus. [18]

Gereja sebagai arak-arakan umat Allah dalam kaitan dengan tugas-tugas gereja di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang sedang mereformasi diri, memerlukan suatu paradigma misi yang relevan dalam konteksnya. Dengan harapan, paradigma misi yang dihasilkan menjadi bagian dari arak-arakan yang berjalan dan merupakan pedoman bersama yang bersifat dinamis dan dikembangkan terus sesuai konteksnya.

2.d. Hakikat Gereja Yang Bermisi Untuk Pekerja
Misi gereja harus mempunyai konteks dan kepastian. Misi gereja harus membawa peran konkret dalam mentransformasikan hidup masyarakat yang dipandang hina dan tersingkir ke arah hidup yang sejahtera dalam keadilan. Artinya, transformasi yang menciptakan masyarakat baru, di mana harkat dan martabat manusia dihormati. Inilah kabar baik yang merupakan inti dari pekerjaan misioner.

Kabar Baik inilah yang memberi kehidupan kepada gereja, menjadi tanda hidup gereja. Inilah sebabnya mengapa dalam tradisi oikoumene yang baik, dikatakan bahwa misi adalah hidupnya, dan hidup gereja itu adalah misinya. Juga mengapa dikatakan bahwa misi gereja itu adalah menjadi gereja. Pada akhirnya inilah mengapa perhatian akan martabat dan hak asasi manusia tidak hanya menjadi bagian misi gereja, itu adalah jalan “menjadi gereja".[19]

Pekerjaan misioner gereja merupakan kelanjutan dari misi Allah. Gereja yang melaksanakan misi Allah adalah gereja yang senantiasa sadar akan dirinya sebagai "yang diutus ke dalam dunia". Sebagai "yang diutus Allah" dan menerima tugas "pengutusan" itu, gereja harus mampu memahami dan menjawab realitas sesuai metode yang cocok dengan realitas tersebut. Maksudnya, kepedulian misi gereja adalah kepedulian yang ditunjukkan oleh misi Allah, yakni berpihak pada yang lemah tanpa mengabaikan yang kuat. Kaum pekerja harian lepas merupakan salah satu di antara sederetan kelompok manusia yang lemah, yang kepadanya gereja harus menunjukkan rasa solidernya. Inilah tugas misioner untuk memberitakan keadilan Allah kepada orang-orang miskin. Suatu tugas yang merupakan bagian dari keseluruhan misi gereja di dunia ini. Realitas upah pekerja yang tidak layak haruslah menjadi agenda utama yang siap diperjuangkan oleh gereja.

Kesiapan untuk memerangi realitas itu akan menjadikan gereja sebagai persekutuan yang hidup dan saling melayani. Inilah hakikat, gereja yang bermisi untuk pekerja, kelompok manusia yang diungkapkan sebagai golongan termiskin, tercecer, terjepit dan tersisih. "gereja harus berani menyatakan apa yang benar dan apa yang salah. Ia berani melakukan koreksi terhadap keadaan yang tidak benar".[20] Sebab tugas panggilan gereja adalah menampakkan "keesaan, kesaksian dan pelayanan dalam kasih serta usaha menegakkan keadilan".[21]

Jadi gereja sebagai suatu himpunan umat Allah dipanggil bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan menjadi alat Allah untuk menjalankan misi-Nya yang penuh solidaritas di tengah-­tengah dunia yang penuh pelecehan dan kekerasan. Agar menjadi memahami masyarakat manusia yang selama ini hidup di luar jangkauan misi gereja. Gereja harus berjuang secara aktif dan kreatif dalam upaya mencegah segala hal yang merongrong dan merendahkan harkat kemanusiaan manusia pekerja dengan sistem pengupahan yang tidak layak. Upaya tersebut merupakan "pembelaan dan penegakan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia".[22]

Perjuangan melawan ketidakadilan dalam soal pengupahan merupakan hakikat gereja yang bermisi untuk menyinarkan Injil ke dalam dunia pekerja. Itulah hakikat gereja yang berpihak.

Istilah berpihak itu penting. Maksudnya bukan memusuhi yang lain-lain. Orang Kristen yang mengambil sikap mendukung dan solider dengan salah satu pihak tidak berarti membenci atau memusuhi pihak­pihak lain. Yesus melarang kita dengan keras untuk membenci dan memusuhi. Cinta kepada sernua merupakan tanda sikap Kristiani. Akan tetapi cinta pada semua tidak berarti bahwa kita tidak dapat berpihak atau berdiri di semua pihak. Hal itu tidak mungkin. Waktu, tenaga dan dana yang kita berikan kepada mereka yang tidak miskin dengan sendirinya tidak dapat kita berikan kepada mereka yang miskin, padahal mereka yang miskin membutuhkannya, jadi kita berpihak melawan mereka yang miskin. Begitu pula dalam situasi ketidakadilan, tidak ada sikap yang netral. Kalau seorang manusia diperkosa, kita tidak dapat rnengarnbil sikap "berpihak pada semua". Netral dalam situasi penindasan dan ketidakadilan adalah sama dengan mendukung penindasan dan ketidakadilan itu.[23]

3. Urgensi Paradigma Misi Gereja Bagi Pekerja
Hal yang memang tidak dapat dihindari dan masih terjadi di era reformasi bangsa ini adalah diberlakukannya kebijakan upah rendah melalui UMR. Kenyataan demikian menggugah semua insan untuk mencari solusi yang bersifat transformatif. Sebab kenyataan membuktikan di lapangan dan tidak dapat diingkari bahwa konsepsi keadilan yang kini berjalan, sangat jauh dari apa yang dikehendaki banyak pekerja. Keadilan yang dimaksud adalah suatu keadaan yang berdasar pada suatu hubungan antara majikan dan pekerja yang tidak eksploitatif dan menindas. Sehingga setiap .pekerja bisa mendapatkan. apa yang dibutuhkannya sebagaimana kontribusi yang dikeluarkannya.

Disinilah sebetulnya muncul urgensi membangun suatu paradigma misi gereja yang menjadi acuan bersama bagi gereja yang berpihak pada pekerja: "menjadi gereja pekerja". Menjadi gereja pekerja adalah paradigma nilai yang memihak kepada kaum pekerja dalam keadilan. Paradigma ini tentu saja bukan untuk memberikan arti atas pengasingan pekerja, tetapi justru perlu diupayakan oleh gereja untuk mendorong ke arah transformasi struktur (sosial-ekonomi) yang ada dan membangunnya kembali menjadi suatu paradigma yang berlandaskan pada nuansa keadilan dan kebenaran. Sehingga kaum pekerja, bukan lagi menjadi pihak "alienasi" dan tercecer, tetapi menjadi pihak yang menjadi motor sekaligus penikmat kemajuan pembangunan era reformasi ini.

Permasalahan rendahnya upah pekerja adalah permasalahan iman dan karena itu, gereja dipanggil untuk menjawab masalah ini dalam terang Injil. Sehingga mereka yang tersisih dan yang tidak di­perhitungkan dalam masyarakat menemukan kembali hakikat dirinya sebagai manusia yang bermartabat. Inilah bagian dari tanggung jawab moral gereja untuk mempertinggi hak-hak manusiawi yang luhur.[24]

4. Pengupahan Pekerja Dalam Rumusan LDKG – PGI
Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) adalah suatu pedoman bersama Gereja-gereja di Indonesia yang sifatnya dinamis dan di­kembangkan tentu sesuai dengan tahap-tahap perkembangan bersama melalui Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Lebih tepat, LDKG adalah visi sentral yang menjadi acuan pokok bagi gereja­-gereja di Indonesia. Dalam dokumen tersebut diatur bagaimana seharusnya gereja-gereja menjalankan misi bersamanya.

Misi bersama ini harus dilihat sebagai misi yang mencakup tanggung jawab gereja untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa, oleh karenanya harus dilaksanakan bersama-sama oleh kami gereja­-gereja-Mu dengan titik pandang mengenai seluruh tanah air Indonesia sebagai suatu wilayah pelayanan dan kesaksian bersama kami. [25]

Dalam pemahaman tentang misi bersama itu, terkandung maksud bahwa realitas yang digumuli adalah kaum miskin, agar menjadi subjek dan bukan objek misi. Memang kini, tidak semua anggota gereja adalah orang miskin, tetapi mereka ditantang untuk menyamakan diri dengan kaum miskin. Bersekutu dengan mereka dalam perjuangan untuk mencapai pembebasan dari segala bentuk ketidakadilan.

Perhatian yang lebih serius terhadap derita sesama bangsa yang miskin, dirumuskan

Peran serta gereja-gereja yang mengabarkan Injil dalarn pembangunan Nasional menuntut Gereja untuk memberi perhatian khusus kepada orang-orang miskin dan tertindas, berhubung kemiskinan dan penderitaan sosial karena ketiadaan keadilan dan kedamaian adalah masalah-masalah yang peka dan mendesak untuk diatasi dalam era pembangunan ini.[26]

Dengan demikian diakui bahwa konsep tentang pengupahan pekerja tidak disebut secara langsung dalam rumusan LDKG-PGI. Tetapi bila dikaji secara lebih mendalam, maka secara implisit, hal itu sangat jelas diungkap dan diberi perhatian khusus. Sebab masalah pengupahan merupakan bagian dari keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Memang harus diakui bahwa,

Gereja semula tidak, menyadari bahwa masalah kaum buruh bukan sekedar masalah adanya orang miskin dalam masyarakat. Akan tetapi sejak pertengahan abad ke-19 gereja mulai sadar akan tantangan permasalahan kaum buruh. Dobrakan terpenting adalah kesadaran bahwa masalah kaum buruh pada hakikatnya merupakan masalah keadilan tatanan bidang ekonomi. [27]

Memberi perhatian khusus kepada orang miskin berarti berjuang bersama mereka untuk memperbaiki keadaan mereka. Jika Allah dipahami sebagai yang memperhatikan, mengasihi, mencintai dan mengasuh kaum pekerja sebagai manusia miskin, maka manusia majikan dan gereja dipanggil untuk melakukan hal yang sama. Pekerja adalah bagian golongan manusia miskin yang tidak dapat membela dirinya sendiri bila mengalami penindasan dan perlakuan tidak adil menyangkut upah kerja.

Dalam kaitan dengan ini, tepatlah ungkapan yang berbunyi, jika gereja tidak bersaudara dengan kaum miskin, maka ia tidak bersaudara dengan Kristus. Dengan demikian, kesetiakawanan gereja dengan kaum miskin menjadi salah satu tolok ukur kebenaran gereja. .... terdapat tuntutan agar gereja menyamakan diri dengan kaum miskin; gereja tidak hanya menjadi church for the poor, melainkan juga menjadi church of the poor. [28]

Cara memperlakukan orang miskin (kaum pekerja) merupakan indikasi dari penerimaan atau penolakan terhadap Kristus. Injil Matius menjelaskan,

Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau? Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, SESUNGGUHNYA SEGALA SESUATU YANG KAMU LAKUKAN UNTUK SALAH SEORANG DARI SAUDARA-KU YANG PALING HINA INI, KAMU TELAH MELAKUKANNYA UNTUK AKU. [29]

Gereja harus sadar bahwa kaum pekerja adalah saudara yang secara khusus dititipkan Allah. Mereka perlu dan harus diberi perhatian khusus, sebab mereka dilupakan oleh "dunia". Kepada merekalah gereja harus berpihak dan "mencerminkan keadilan dalam nuansa kebebasan, saling percaya dan belas kasih yang solider dengan manusia pekerja".[30]

B. Misi Gereja Tentang Pengupahan
Gereja-gereja di Indonesia adalah gereja yang diutus Allah dan menerima pengutusan itu sebagai tugas misionernya. Dalam semangat misionernya itu mengharuskan gereja peka dan selalu siuman mencermati berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Pada posisi demikian, gereja harus berani memerangi segala bentuk ketidakadilan yang terjadi di sekitar pelayanannya atau bahkan dalam pelayanannya sendiri. Kecermatan dan ketajaman gereja tidaklah sekedar berdimensi sosiologis etis, melainkan harus berakar dan bersumber dari Alkitab.

1. Misi dan KPKC/JPIC
Di satu pihak, misi dan masalah Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) atau misi dan Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC), memang tidak dapat begitu saja disamakan. Tetapi di pihak lain, secara mendasar, keduanyapun tidak dapat dipisahkan. Gereja yang bermisi atau gereja yang menjalankan misi adalah gereja yang menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah. Ciri-ciri Kerajaan Allah, diantaranya adalah adil, damai dan utuh. Dengan demikian adalah menjadi tugas gereja dalam misinya untuk mengusahakan Keadilan. Perdamaian demi Keutuhan Ciptaan Allah. Artinya, gereja hanya mempunyai arti apabila ia terlibat dalam pelaksanaan misi Allah mewujudkan keadilan sosial.

Bagi Gregorius Utomo,

Gereja akan merupakan tanda yang jelas dam komunitas kaum beriman yang berjalan menuju Kerajaan Allah apabila di dalarn perjalanannya tersebut sungguh-sungguh peduli terhadap sesama umat, lebih-lebih mereka yang miskin, menderita/tertindas, di atau terpinggirkan. Untuk mereka dan dengan mereka inilah kita, gereja, membulatkan tekad dan pengabdian di bidang keadilan dan perdamaian. [31]

Dalam memproklamasikan program hidup-Nya, Yesus memaklumkan tahun Rahmat Tuhan atau Tahun Yobel (lihat Luk. 4:18-19). Proklamasi tahun pembebasan ini bukan hanya berlaku pada waktu maklumat ini diproklamirkan ketika Yesus mengunjungi Nazaret. Melainkan merupakan proklamasi Yesus yang berlaku kekal. Inti proklamasi Yesus itu adalah penghayatan-Nya terhadap kasih Bapa-Nya yang diamalkan dalarn seluruh hidup, karya dan dalam pelayanan-Nya. Kehadiran Allah yang berbelas kasih dalam diri Yesus menyatakan bahwa keadilan dan perdamaian yang baru dan abadi dinyatakan dalam integritas ciptaan.

Reformasi adalah gerakan yang memperjuangkan terciptanya Keutuhan Ciptaan Allah. Suatu era baru yang memberi kesempatan kepada gereja untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran secara adil dan damai. Misi yang penuh dengan KPKC tidak mungkin dapat berhasil jika dilakukan hanya dengan berdoa, melainkan juga dengan memelihara segenap potensi-potensi yang diberikan Allah dalam nuansa keadilan dan perdamaian. Sebab wajah misi yang kontekstual dan relevan di era reformasi ini adalah "suatu wajah yang peka terhadap masalah-masalah Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan".[32]

Konsep mengenai KPKC/JPIC tersebut nanti diberikan secara tersurat pada Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia (SR DGD) VI Vancouver (1983). Sebenarnya "benih" tentang hal itu sudah ada sejak SR DGD IV Uppsala (1968) dan SR DGD V Nairobi (1975). Sejak Uppsala dan Nairobi, Gereja-gereja sudah memberikan prioritas utama kepada orang-orang termiskin dari yang miskin.[33] Selanjutnya oleh Commision on World Mission and Evangelism (CWME) DGD dalam konperensinya di Melbourne (12-15 Mei 1980) telah memberikan perhatian kepada kaum miskin.

Konperensi ini memusatkan perhatiannya kepada kaum miskin. Solidaritas dengan kaum miskin dianggap tugas utama dalam pekabaran Injil, perhatian ini dipertanggungjawabkan secara teologis, dengan menunjukan kepada kenyataan bahwa Yesus menyatakan perhatian khusus untuk kaum lemah dan kaum miskin.. [34]

Dengan perhatian seperti itu, menyatakan bahwa gereja­-gereja telah mulai memberikan perhatian khusus kepada orang miskin (pekerja) dan melibatkan diri dalam perjuangan mereka melawan struktur demi keadilan dan perdamaian.

Konperensi yang diselenggarakan oleh CWME DGD berikutnya di San Antonio (1989), juga telah memahami misi itu dalam kerangka,

Perdamaian, Keadilan, dan Keutuhan Ciptaan (Ing: Peace, Justice and the Integrity of Creation). Jadinya, sub tema: "Misi dengan cara Kristus” diberi arti bahwa Injil diberitakan dalam kerangka perdamaian dan keadilan komunitas manusia serta keutuhan ciptaan Tuhan.[35]
2. Misi dan Hak Asasi Manusia Pekerja
Manusia pekerja yang dilanggar Hak Asasi Manusia-nya (HAM) merupakan objek pelayanan Guru Agung Yesus Kristus. Dengan demikian, menjadi tugas gereja juga harus berjuang mengatasi gejolak pelanggaran terhadap HAM pekerja. Manusia pekerja adalah manusia yang lama derajat kemanusiaannya dengan manusia majikan. Olehnya, gereja harus memperjuangkan keadilan bagi mereka yang terpaksa menerima pekerjaan dengan upah yang sangat rendah. Sebab pembayaran upah yang rendah merupakan eksploitasi terhadap HAM pekerja yang sudah bekerja.

... Jika seorang pekerja sudah mencurahkan banyak tenaganya, ia berhak sekurang- kurangnya untuk menerima upah yang cukup untuk hidup layak. "Layak” paling minimal berarti, bahwa seseorang dapat melaksanakan kehidupannya serasi dengan martabatnya sebagai manusia, Upah layak ini tidak dinilai dengan berapa besarnya angka yang dibayarkan kepada masing-masing pekerja, .... yang penting ialah, bahwa upah yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok pekerja dengan keluarganya.[36]

Kepedulian gereja dalam memperjuangkan upah yang layak bagi pekerja merupakan cermin ketaatannya kepada Allah untuk mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam konteks manusia pekerja yang menderita. Perjuangan menegakkan Hak Asasi Manusia pekerja untuk mendapatkan upah yang adil adalah perjuangan penuh resiko. Dengannya gereja diharapkan mampu untuk bersikap tegas dan berani dalam menegakkan HAM yang lemah.

Sebab siapakah sebenarnya yang paling berkepentingan mengenai Hak Asasi Manusia ini, bila bukan mereka yang kecil, yang lemah, yang tak berdaya?! Kepada merekalah kata Tuhan, kita harus berpihak. Sebab bagaimanapun pernah dikatakan, "meskipun Dewi Keadilan itu digambarkan buta, kepada yang lemahlah ia berpihak.[37]

Keberpihakan yang demikian tercakup juga dalam Laporan Sidang Raya IV DGD (4-19 Juli 1968) Uppsala tentang masalah HAM butir (19),

Semua pernerintah harus menerima dan menterapkan naskah­-naskah resmi PBB dan organisasi-organisasi Internasional yang lain untuk melindungi hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan asasi, dan yang memperjuangkan status sama daril kaum wanita serta partisipasi mereka yang penuh dalam masalah-masalah manusia. .... Gereja-gereja harus berusaha agar jemaat-jemaat mereka merasakan, bahwa dalam rnasyarakat modern di selur-uh dunia hak-hak pororangan tidak boleh tidak berhubungan berat dengan perjuangan untuk memperbaiki taraf hidup dari orang-orang yang tak mempunyai hak kemasyarakatan sepenuhnya di semua negara-negara.[38]

3. Misi dan Pembebasan
Ketidakadilan sosial dan penindasan terhadap manusia pekerja merupakan kenyataan yang merendahkan martabat manusia sebagai citra Allah. Fenomena demikian haruslah diperangi oleh gereja agar manusia pekerja dapat segera keluar dari situasi ketidakadilan sosial tersebut. Wujud perjuangan gereja untuk berpihak kepada pekerja itulah yang disebut pembebasan. Pembebasan yang dilakukan gereja merupakan penghayatan imanya dalam dunia sosial politik dan dalam arti ekonomis.[39]

"Praksis gereja yang membebaskan itulah yang dikenal sebagai teologi pembebasan yang secara historis berkembang di Amerika Latin"[40] dan "Gustavo Gutierrez-lah yang populer disebut sebagat bapak teologi pembebasan, dengan diterbitkannya buku “A Theology of Liberation” pada tahun 1973.[41] Pesan utama teologi pembebasan adalah tindakan memerdekakan kaum miskin dan tertindas dengan cara yang adil. Pekerjaan misioner ini adalah mandat Allah yang dinamakan kepada gereja melalui tugas misionernya.

Praktek teologi pembebasan dan mini Gereja tidak dapat dipisalikan. Ideologi pembebasan incanaug berbeda dengan misi Gereja, tet:api keduanya saling berkaitan. Praktek pembebasan sebagai suatu bentuk misi gereja adalah respons yang sejati terhadap pesan Yesus Kristus. Artinya, "pembebasan dilihat sebagai wujud kesatuan dengan misi Yesus Kristus sebagai pembebas, wujud penyembahan kepada Allah yang niendengarkan jeritan umat-Nva dan menghendaki keadilan".[42]

Teologi pembebasan menekankan perjuangan bagi kelompok­-kelompok yang miskin, diperas dan terisolasi. Hal ini sejalan dengan kehadiran Allah membawa pembebasan bagi kaum tertindas. Dalam Lukas 4:18-19 Yesus menegaskan bahwa "Kabar Gembira" ditujukan bagi:

Kaum miskin, orang-orang tahanan, orang-orang buta dan kaum tertindas. Di situ dijanjikan pembebasan dari penahanan, kebebasan bagi kaum tertindas, dan kemudian ditutup dengan pemakluman mengenai "tahun rahmat Tuhan" (atau juga sering disebut sebagai Tahun Yubile) dimana akan di adakan restrukturisasi tata-ekonomi masyarakat. Dikatakan bahwa pada akhir pembacaan itu Yesus mengatakan: "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya". (Luk. 4:22). Dengan kata-kata itu diartikan bahwa Yesus bermaksud menegaskan bahwa pemenuhan harapan Mesianis kini telah dimulai.[43]

Membela kepentingan mereka yang tertindas dan terisolasi, miskin dan lemah berarti juga memihak pada kepentingan kaum pekerja. Itulah cita-cita kemanusiaan yang disemangati oleh Injil Yesus Kristus. Lebih jauh Lith seperti dikutip oleh Banawiratma dan Suwarno mengucapkan kata-kata profetis tentang pembebasan.

Apa yang sekarang ada, tidak akan tetap ada. Apa yang lemah, akan menjadi kuat; yang kuat menjadi lemah. Apa yang sekarang berjalan, akan berhenti, dan apa yang sekarang berdiri, akan jatuh. Zaman baru mulai menyingsing. Siapa bijaksana bersiap-siap menyongsong kedatangan-Nya.[44]

Pemahaman tersebut mendorong gereja:
Untuk melihat bahwa tugas pembebasan bukannya tugas sampingan atau bersifat sekunder, komplementer belaka, melainkan ia adalah hakiki, integratif dalam cita-cita dari kemanusiaan itu sendiri.[45]

Pemahaman itu didasari atas pergumulan sesama bangsa yang dahsyat, agar mereka memperoleh makna, martabat kebebasan dan cinta. Di mana manusia menderita akan menemui kehidupan yang wajar dan benar dalam tubuh Kristus yang di dalamnya lahir solidaritas antar umat manusia ciptaan Allah.

4. Sikap Misioner Gereja Atas Realitas Pengupahan.
Kepedulian terhadap kaum pekerja merupakan arah pelayanan gereja di waktu kini dan yang akan datang.[46] Rasa solidaritas cinta kasih demikian adalah bagiasi dari sikap gereja yang berpihak pada kaum miskin (option for the poor). Di dalam bagian ini, penulis mendeskripsikan makna dari Kerajaan Allah mendahulukan kaum miskin (preferential option for the poor).

.... Dalam Perjanjian Lama praksis untuk memihak dan melayani kepentingan orang yang lemah dinampakkan dalam Hukum Taurat seperti tahun Yobel, tahun Sabat, persepuluhan, memungut riba pada sesama bangsa. Dalam Perjanjian Lama perhatian pada orang miskin tidak sekedar dilakukan dalam pemberian yang karitatif, tetapi ada upaya untuk melakukan perubahun/transformasi sosial ekonomi politik. Orang­-orang Lewi yang menjadi imam di Bait Allah bukan sekedar pelayan upacara agama, tetapi juga menjadi pelaku/mengelola persembahan persepuluhan untuk disalurkan pada orang miskin dan janda-janda.

Dalam Perjanjian Baru, rombongan Yesus mengenal pula bendahara untuk mengelola bantuan pada orang miskin. Demikian juga jemaat pertama dalam Kisah Para Rasul sudah mengenal pelayanan orang miskin secara terorganisasi, Hal serupa juga dilakukan oleh jemaat sesudah Kisah Rasul di mana para imam mengelola persembahan orang kaya untuk melayani orang miskin.[47]

Karena itu, tidak ada alasan bagi gereja untuk melalaikan panggilan misionernya: berpihak dan melayani orang lemah dengan menerapkan keadilan Allah. Sudah seharusnya pilihan mendahulukan kaum pekerja di era reformasi merupakan salah satu (bukan satu-satunya) inti perjuangan gereja-gereja Indonesia dalam melayani sesama bangsa yang menderita.

"Perjuangan gereja terhadap HAM pekerja atas upah layak harus menjadi prioritas. Dasar pertimbangannya, sebab Allah sendiri mau menyelamatkan semua orang dengan cara mendahulukan manusia yang paling jauh dari kemakmuran".[48] Orang-orang yang tergolong jauh dari kemakmuran di antaranya adalah kaum pekerja harian lepas sebagai kelompok manusia yang miskin. Gereja harus menjadi gereja kaum miskin, gereja kaum pekerja.

Chris Hartono menjelaskan

.... Gereja harus lebih mengutamakan pelayanan yang transformatif (pelayanan bagi dan bersama orang miskin yang bersifat mendampingi dan mendorong orang miskin untuk memperjuangkan hak-haknya sendiri di dalam mengatasi kemiskinannya), walau tidak melupakan pelayanan karitatif (pelayanan bagi orang miskin yang bersifat membantu sehubungan dengan keadaannya yang tidak berdaya dan terdesak) dan pelayanan reformatif (pelayanan yang bersifat memampukan, membekali serta melatih orang miskin agar dengan kemampuan dan keterampilan baru, dapat membangun sendiri hidupnya.[49]

Keprihatinan sosial gereja dalam bentuk karitatif dan reformatif belumlah lengkap. Oleh karena itu perlu ditambah dengan model pelayanan transformatif, agar gereja menunjukan sikap berpihak yang jelas. Pekerja harian sebagai orang miskin "membutuhkan sahabat-sahabat dan pendampingan dalam perjuangan mereka untuk memperoleh upah kerja layak. Satu­-satunya yang menjadi harapan mereka adalah Allah. Berdoa sebagai suatu upaya belumlah dapat dikatakan cukup, kaum pekerja memerlukan kekuatan untuk berjuang, namun kekuatan itu, tidak ada pada mereka. Oleh sebab itu, harapan dan kekuatan untuk berjuang akan mereka peroleh dari Allah melalui gereja sebagai persekutuan yang berpihak pada orang miskin".[50]Sikap berpihak gereja pada orang miskin adalah sikap yang berdimensi teologis. Oleh karena itu, segala perjuangan yang dilakukan gereja haruslah dimulai dari dirinya sendiri.

Gereja dalam misinya, juga harus berperan sebagai katalisator dalam usaha membaharui dan mengembangkan pemahaman teologis tentang kemitraan (partnership) pekerja-majikan. Gereja perlu menyadarkan majikan untuk membina relasi kasih dengan pekerjanya. Gereja harus terlebih dahulu menyadarkan warganya yang berstatus majikan atau yang bertanggungjawab di dalamnya agar memperlakukan pekerja secara adil dengan tetap memberikan upah layak.

Atau menurut Widi Artanto,

Setiap keputusan perusahaan harus selalu secara sadar dinilai dan diperhitungkan apakah di samping tujuan untuk menghasilkan keuntungan ekonomis bagi perusahaan, keputusan itu juga sekaligus akan mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas termasuk para buruh. Tanggung jawab sosial tidak dipertentangkan dengan keuntungan. Kepentingan jangka panjang perusahaan itu, citra sosial dan kelangsungan hidup perusahaan justru akan diperoleh dengan keputusan yang adil dan mengandung tanggung jawab sosial bagi masyarakat dan para buruh.[51]

Berkaitan dengan hal tersebut, Eka Darmaputera memberikan penjelasan,[52]

Bertanggung jawab sosial tidak dipertentangkan melainkan malah dikaitkan dengan keuntungan. Alasannya amat jelas. Sebab bila tanggung jawab sosial hanya akan merugikan perusahaan dan segi bisnis, maka sudah pastilah tak satu perusahaanpun dengan kerelaannya sendiri akan, bersedia mengemban tanggung jawab tersebut.
.......................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
(a)Kepentingan Jangka Panjang
Bila Perusahaan bisnis peka terhadap kebutuhan masyarakat, dan berupaya untuk memenuhinya, dalam jangka panjang ia akan menghasilkan sebuah masyarakat yang lebih menguntungkan bagi usaha-usaha bisnis.
(b) Citra Sosial
berkaitan dengan keuntungan ekonornis jangka panjang, maka dapat pula disebutkan keuntungan yang lain. Perusahaan dengan tanggungjawab sosial yang tinggi juga akan mempunyai citra yang tinggi di pandangan masyarakat.
(c) Kelangsungan Hidup ...
(d) dan lain-lain.

Sebab hakikatnya sebagai gereja yang diutus Allah haruslah memperhatikan, melindungi dan membela orang miskin. Dalam menjalankan tugas tersebut, gereja harus membuka diri untuk bekerja sama dengan pihak lain. Membebaskan pekerja dari upah kerja yang rendah misalnya, bukanlah hal yang mudah, sebab harus menghadapi kekuatan dan kuasa struktural yang menindas. Dalam posisi solider, sikap gereja harus tegas dan sportif: melawan pelaku ketidakadilan dengan dasar cinta kasih dan anti kekerasan.

Atau dengan kata lain, gereja harus berani untuk

Mengubah atau seperlunya membongkar struktur-struktur ekonomi, politik, sosial, budaya dan ideologi yang menyebabkan segolongan orang tidak dapat memperoleh apa yang menjadi hak mereka atau tidak mendapat bagian wajar.[53]

Bagi Widi Artanto,

Advokasi bagi kaum buruh yang tertimpa ketidakadilan dan penindasan, adalah melakukan pendampingan yang memungkinkan kaum buruh itu sendiri merencanakan, melaksanakan dan bahkan mengevaluasi aksi perubahan. Mereka membutuhkan suatu proses pernberdayaan agar kekuatan kelompok ini dapat menjadi kekuatan transformatif karena seringkali yang dibutuhkan bukanlah sekedar reformasi dan relasi majikan buruh, melainkan suatu transformasi dalam asas keadilan, dan hak-hak asasi manusia yang perlu dipulihkan secara total dan radikal.

Bila perlu, struktur dan perangkat hukum yang mengatur hubungan kerja dalam perburuhan harus diubah. ltulah sebabnya perjuangan untuk memperoleh hak berserikat merupakan bagian integral dari advokasi agar solidaritas dalam komunitas buruh itu sendiri yang menjadi penentu di dalam perubahan.[54]

Dengan demikian, gereja harus memiliki visi misi yang jelas dan lebih konkret implementasinya, di mana kaum pekerja harian adalah mitra setara-sejajar dengan majikan di dalam pelayanan dan panggilan misioner gereja. Berkaitan dengan itu, majikan Kristiani harus memeriksa diri sendiri:

Apakah buruh di tempat saya sudah diperlakukan sesuai ajaran gereja: upah dan lembur, syarat kerja, asuransi kesehatan dan jaminan hari tua; perwakilan SPSI dalam perusahaan saya? Perwakilan buruh di dengar pendapatnya?[55]
Proses penyadaran dan perenungan tersebut hendaknya dilandasi oleh keyakinan bahwa tanggung jawab sosial itu akan menguntungkan pengusaha dalam jangka panjang dan sekaligus menjadi kesaksian Kristiani di tengah gejolak reformasi bangsa Indonesia. Sejalan dengan itu, J.B. Banawiratma:

.... Prinsip etis memperlakukan buruh secara manusiawi dalam jangka panjang akan lebih membawa kepentingan secara ekonomis. Dengan demikian, pemihakan terhadap kepentingan kaum miskin bukan saja merupakan imperatif iman, melainkan dalam jangka panjang juga akan lebih menguntungkan proses ekonomis yang lebih luas.[56]

Oleh karena itu, pekerja harian mempunyai hak untuk dibebaskan dari struktur dan mekanisme pengupahan yang kurang wajar. Lebih tepat: pekerja diberi kesempatan untuk membebaskan diri dari eksploitasi dan berhak menerima upah kerja yang lebih wajar. "Wajar: sesuai dengan biaya hidup minimum nyata buruh".[57]
Catatan:
[1]Choan Seng Song. Christian Mission in Reconstruction: An Analysis. (New York: Orbis Book, 1977), p. 120
[2]Bandingkan Eka Darmaputera. Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis Ekonomi dan Penatalayanan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 13. Bandingkan Widi Artanto. “Gereja, Buruh dan Majikan”. Makalah pada Pertemuan Raya Kesaksian dan Pelayanan GKI Jateng, Baturraden, 22 November 1995, hlm. 2
[3]Biro Pelayanan Wanita PGI. Hasil-Hasil Pelaksanan Konsultasi Nasional Pelayanan Gereja Bagi Tenaga Kerja Wanita Indonesia. (Jakarta: PGI, 1995), hlm. 11
[4]Eka Darmaputera. “HAM Perspektif Teologis Kristiani” dalam Weinata Sairin dan J. M. Pattiasina (penyunting). Op.cit,. hlm. 74-75
[5]Bandingkan Widi Artanto. Op.cit., hlm. 3 Bandingkan Christopher Wright. Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 69
[6]Bandingkan Wright. Ibid. hlm. 69-71
[7]Pembahasan bagian ini didasarkan pada David J. Bosch. Transforming Mission: Paradigm Shift in Theology of Mission. (Maryknoll, N.Y: Orbis, 1991), pp. 181-189. Lihat juga David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen: Seiarah Teologi Mini Yang Mengubah dan Berubah.. Terjernahan oleh Stephen Suleeman. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 285-295. Bandingkan Hans Kung,. “Paradigm Change in Theology: A Proposal for Discussion" in Hans Kung and David Tracy (eds.). Paradigm Change in Theology. Translated by Margareth Kohl. (Edinburg: T & T Clark LTD, 1989), pp. 7-33
[8]John M. Echols dalam Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 417
[9]Thomas S. Kuhn. The Structure of Scientific Revolutions. (Chicago: The University of Chicago Press, 1970), p.175, cited by Hans Kung in Hans Kung and David Tracy (eds). Op.cit., p.7
[10]Bandingkan Coralie F. Joyce. “Pengertian Misi Dalam Era Yang Modern”. Makalah pada Perkuliahan Misiologi Program Pascasarjana Teologi UKIT, Mei 1998, hlm. 1
[11]John Campbell – Nelson (translator dan komentator). “Misi Gereja dan Pelayanan Global” dalam John Campbel-Nelson, Bendalina Souk dan Stephen Suleeman (penyunting). Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual. (Jakarta: Persetia, 1995), hlm. 37
[12]Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Lima Dokumen Keesaan Gereja. Keputusan Sidang Raya XII PGI Jayapura, 21 – 30 Oktober 1994. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 9
[13]Richard A. D. Siwu. Misi Dalam Pandangan Ekumenikal dan Evangelikal Asia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 209 mengutip EACC, Structures for a Missionary Congregation, 1964, hlm. 60
[14]Coralie F. Joyce. Op.cit., hlm. 2
[15]Felicianto V. Carimo. “Misi Di Dunia Yang Penuh Pelecehan dan Kekerasan”. Diterjemahkan bebas oleh Anna K dari CCA News Edisi January-March 1997. Refleksi Nomor 03/XX/September 1997, hlm. 59
[16]Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Op.cit., hlm. 53
[17]Dikemukakan dua eksistensi gereja ini, tentu saja, tidak dimaksudkan untuk mengabaikan eksistensi gereja lainnya. Seperti, eksistensi gereja sebagai Pengantin Kristus, Israel baru, bangsa yang dipilih dan kudus, imamat rajani, umat kepunyaan Allah, Bait Roh Kudus, Yerusalem Baru, dan lain-lain.
[18]Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Loc.Cit. Bandingkan Membina Bersama. (Jakarta: DGI, 1976), hlm. 17-18
[19]Felicianto V. Carimo. Loc.Cit.
[20]B. A. Supit. “Partisipasi Gereja dalam Menegakkan HAM dan Demokrasi Pancasila”. Makalah pada Seminar Sehari GMKI Cabang Tomohon, 12 Februari 1994, hlm. 1
[21]Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI. Loc.Cit.
[22]Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Ibid., hlm. 54
[23]Franz Magnis-Suseno. Beriman Dalam Masyarakat. (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 82-83
[24]Bandingkan Ery Hutabarat-Lebang. “Pekerja Asing: Tantangan dan Kesempatan bagi Gereja-gereja di Asia”. Makalah pada Kuliah Alih Tahun PPsTI Persetia, Tomohon, 13 Juli 1998, hlm. 7
[25]Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Op.,cit., hlm. 3
[26]Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Op.,cit. hlm. 39
[27]Franz Magnis-Suseno, Op.cit., hlm. 103
[28]Chris Hartono. “Gereja dan Masyarakat”. Refleksi Nomor 03/XX/September 1997, hlm. 29
[29]Matius 25:37-40
[30]Bandingkan Komisi Kapausan Keadilan dan Perdamaian. Hak Asasi Manusia dan Gereja. (Jakarta: Obor, 1994), hlm. 105-106
[31]Gregorius Utomo. “Keadilan dan Perdamaian, Komitmen Gereja dalam Perjalanannya Menuju Kerajaan Allah” dalam Eduard R. Dopo (penyunting). Keprihatinan Sosial Gereja. (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 56
[32]John Campbell-Nelson, Bendalina Souk, dan Stephen Suleeman (editor). Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual. (Jakarta: Persetia, 1995), hlm. 226
[33]Bandingkan R. N. Dickinson. To Set at Liberty the Oppressed. (Jenewa: WCC, 1975), pp. 116-117
[34]Christian de Jonge. Menuju Keesaan Gereja. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 153
[35]Richard A.D. Siwu. Op.cit., hlm. 159. Bandingkan Christian de Jonge. Op.cit., him. 159-166
[36]Upah Adil Seri Bebas dan Tertib Nomor 2. (Jakarta: Sekretariat Nasional K.M/C.L.C, 1968), him. 11
[37]Eka Darmaputera. "HAM Perspektif Teologis Kristiani" dalam Weinata Sairin dan J.M. Patiassina (penyunting). Hubungan Gereja dan Negara dan Hak­-hak Asasi Manusia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 76
[38]Apa Kata Uppsala. Laporan SR IV DGD 4-19 Juli 1968 Uppsala Swedia. Terjemahan oleh Soritua A. E. Nababan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1969), hlm..52
[39]Bandingkan J. B. Banawiratma (editor). Kemiskinan dan Pembebasan. (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 128-129
[40]J. B. Banawiratma. Ibid. hlm. 131
[41]Novembri Choeldahono. “Gereja dan Politik: Suatu Tinjauan Historis-Teologis Hubungan Gereja dan Politik Dalam Sejarah Kekristenan”. Bina Darma. Nomor 51 Desember 1995, hlm. 29
[42]J. B. Banawiratma dan J. Muller. Berteologi Sosial Lintas Ilmu. (Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 43
[43]Baskara T. Wardaya. Spirtualitas Pembebasan. (Yogyakarta: Kanisus, 1996), hlm. 69-70
[44]F. Van Lith seperti dikutip J. B. Banawiratma dan P.J. Suwarno (editor). Teologi Kemerdekaan: Sebuah Tinjauan Lintas Bidang. (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 145
[45]Karel Ph. Erari. Supaya Engkau Membuka Belenggu Kemiskinan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 104
[46]Surat Pribadi dari H. H. Hangandji, 25 November 1995
[47]Yosep P.O. Widyatmadja. “Iman Kristen dan Lembaga Pelayanan Masyarakat” dalam Banawiratma, Sumartana, Widyatmadja (editor). Merawat dan Berbagi Kehidupan. (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 53
[48]Surat Pribadi dari H. H. Hangandji, 25 November 1995
[49]Chris Hartono. “Ihwal Bergereja di Indonesia”. Bina Darma, Nomor 50 September 1995, hlm. 28-29
[50]Bandingkan Widi Artanto. “Merawat dan Berbagi Kehidupan” dalam Banawiratma, Sumartana, Widyatmadja (editor). Op.cit., hlm. 37-38
[51]Widi Artanto. Ibid., hlm. 2
[52]Eka Darmaputera. Etika Sederhana Untuk Semua: Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan.. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 130-131
[53]Franz Magnis-Suseno. Etika Politik. (Jakarta: PT. Gramedia, 1994), hlm. 332-333
[54]Widi Artanto. “Gereja Buruh dan Majikan”. Makalah pada Petemuan Raya Kesaksian dan Pelayanan GKI Jawa Tengah, Baturraden, 22 November 1995, hlm. 6
[55]Franz Magnis-Suseno. Beriman Dalam Masyarakat. (Yogyakarta: Kanisius., 1995), hlm. 107
[56]J. B. Banawiratma. "Buruh Dalam Ajaran Sosial Gereja Katolik". Makalah pada Diskusi Panel Buruh dalam Perspektif Agama-Agama oleh Yayasan LAPERA Indonesia, Yogyakarta, 17 Mei 1995, hlm. 8
[57]Franz Magnis-Suseno. Op.cit., hlm. 108

3 komentar:

saidhbhinzaiger mengatakan...

Lucky 777 Casino No Deposit Bonus Code - jtmhub.com
Get Lucky 777 구미 출장안마 Casino no deposit bonus 용인 출장샵 code. 포천 출장샵 JTG Casino. No deposit bonus code 청주 출장마사지 for all new players. 양주 출장안마 New players only. T&C's apply.

mccera mengatakan...

click to read vibrators,horse dildo,male sex dolls,sex dolls,sex doll,cheap dildo,cheap dildo,wholesale sex toys,wholesale sex toys navigate to this website

mctite mengatakan...

yg341 replica bags online yo863