Minggu, 02 Agustus 2009

PELAYAN KHUSUS (DI) GEREJA:KARISMA, KARAKTER DAN KOMITMENNYA

PELAYAN KHUSUS (DI) GEREJA: KARISMA, KARAKTER DAN KOMITMENNYA

Oleh: I Wayan Jhony

Pada prinsipnya (baik secara sosiologis maupun teologis), setiap orang adalah pelayan yang “bertugas” atau “dipercayakan” untuk melaksanakan tugas pelayanan (memantapkan profil gereja dan profil masyarakat). Secara sosiologis berarti, setiap pribadi adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa kehadiran orang lain (kebutuhan saling melayani). Sedangkan secara teologis artinya, bahwa semua orang percaya (imamat am) adalah pelayan (memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari TUHAN sebagaimana disebutkan dalam 1 Petrus 2:9-10). Kedua prinsip ini, pada akhirnya membenarkan apa kata Robert Greenleaf, “bahwa setiap orang dilahirkan sebagai pelayan, dan bukan sebagai pemimpin”.

Dunia yang semakin kering dan keras ini, sedang membutuhkan pemimpin penyejuk bumi, pemimpin berjiwa patriotik, tepatnya: pemimpin yang bermental pelayan (hamba dan gembala). “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10:42b-45).

Menjadi pelayan khusus (di) gereja memiliki sisi yang mempesona dan tidak mempesona. Mempesona (glamorous) artinya, bahwa tugas menjadi pelayan khusus itu (gradual maupun otomatis) dapat melahirkan popularitas, kehormatan, kebanggaan dan kepuasan tersendiri bagi penyandang jabatan pelayan khusus (bdk. 1 Timotius 5:17, Markus 10:29-30). Karenanya, tidaklah mengherankan, jika jabatan sebagai pelayan khusus (sering) menjadi rebutan banyak orang (bahkan ber-ambisi). Sedangkan tidak mempesona (non glamorous), berarti bahwa tugas menjadi pelayan khusus itu (gradual maupun otomatis) dapat menghilangkan dimensi glamorous menjadi pelayan khusus, kehilangan harga diri (bdk. Markus 8:34), lahirnya penolakan, bahkan dimusuhi dan dibenci banyak orang (bdk. Matius 10:22).

Asal-usul saya dan saudara-saudara berbeda, umur kita berbeda, jam terbang kita berbeda, pendidikan kita berbeda, status sosial kita berbeda, track record kita juga berbeda. Tetapi ada satu yang sama dan senantiasa tidak dapat kita ubah: saya dan saudara-saudara adalah pelayan (malah pelayan yang di-khusus-kan). Itu jabatan kita, itu hakikat kita, dan itu pula status kita. Jika pelayan khusus adalah jabatan, hakikat dan status kita, mengapa sering terjadi benturan dan atau krisis (krisis ke-pelayan-an)? Dalam konteks persoalan inilah, masalah karisma, karakter dan komitmen saya kemukakan, untuk menjadi “santapan ringan” kita bersama dalam memaksimalkan fungsi jabatan, hakikat dan status kita.

Karisma adalah istilah khas Yunani, dari akar kata karis yang berarti anugerah atau karunia. Karisma adalah hadiah yang datangnya tanpa kita duga sebelumnya. Suatu pemberian istimewa (khas, khusus) dari Allah berdasarkan kemurahan hati Allah sendiri (bukan karena kita berhak menerimanya). Ada rupa-rupa karisma sebagaimana diungkap oleh Rasul Paulus dalam 1 Korintus 12:4. Contoh karisma adalah melayani, mengajar, memberi, berkhotbah, menjadi nabi, bahasa lidah, bernubuat, menyembuhkan, dan sebagainya (lihat misalnya Roma 12, 1 Korintus 12-14, Efesus 3-4, 1 Petrus 4). Karisma adalah kemasan dari suatu produk. Disinilah letak daya tarik seorang pelayan dan atau pelayan khusus itu.

Karakter bisa diartikan sebagai tabiat, watak, tingkah laku atau kelakuan seseorang. Karakter menunjukkan siapa sebenarnya kita. Jika karisma adalah kemasan dari suatu produk, maka karakter adalah keunggulan produk dimaksud. Konsumen akan sangat kecewa apabila kualitas produk yang dibeli tidak sebaik kemasannya. Untuk menguji kualitas dan keunggulan suatu produk, maka produk itu harus dicoba terlebih dahulu. Untuk menguji karakter seorang pelayan khusus, maka ia harus hidup dan melibatkan diri dalam pelayanan dan kehidupan nyata. Keunggulan produk ditentukan oleh keunggulan kemasan dan produk itu. Keunggulan seorang pelayan khusus dan pelayanannya ditentukan oleh karisma dan karakternya.

Karisma tanpa karakter adalah mustahil untuk memaksimalkan fungsi jabatan, hakikat dan status kita sebagai pelayan khusus. Karisma membutuhkan karakter untuk membuktikan keunggulan atau kualitas suatu produk. Akan tetapi, karisma Ilahi, karakter yang mapan, tanpa adanya komitmen dalam memaksimalkan fungsi jabatan, hakikat dan status sebagai pelayan khusus adalah kebohongan. Karisma dan karakter membutuhkan komitmen sebagai perekat. Jika karisma adalah input (masukan, pemberian) Ilahi, maka karakter adalah output (proses keluar, hasil) manusiawi. Diantara yang Ilahi dan manusiawi ini dibutuhkan komitmen manusiawi sebagai daya perekatnya (the adhesive capacity).

Komitmen secara umum adalah kontrak sosial (sosiologis) dan sekaligus kontrak batin (teologis) seseorang yang ingin diwujud-nyatakannya dengan sungguh-sungguh tanpa memperhitungkan untung-rugi (tanpa tedeng aling-aling). Seluruh hidup Tuhan Yesus sampai dengan mati-Nya adalah dalam rangka mewujud-nyatakan sebuah komitmen. Marilah kita jadikan definisi komitmen yang sifatnya umum di atas, menjadi lebih sederhana dan spesifik, sekaligus berkaca dari komitmen pelayanan Yesus.

Pertama. Tuhan Yesus, tahu benar untuk apa Dia hidup (misi). Dia tahu benar apa yang ingin Dia capai (visi). “Sebab Aku telah turun dari sorga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku” (Yohanes 6:38). Ini amat penting. Kita tidak bisa mempunyai komitmen apabila kita sendiri sebagai pelayan khusus tidak tahu apa yang mesti kita “komitmeni”, tidak tahu apa yang hendak dicapai, tidak tahu apa yang hendak dikerjakan. Sekedar tahu apa yang hendak dicapai, apa yang hendak dikerjakan juga tidaklah cukup. Kita harus merasa terdorong dengan amat kuatnya dari dalam (refleksi batin) untuk mewujudnyatakannya.

Kedua. Menterjemahkan visi dan misi dalam hidup (melalui seluruh sikap, cara berpikir, tutur kata, dan tindak tanduk kita). Seluruh hidup Yesus adalah 100% itu. Dibuka dengan godaan Iblis di padang gurun (lihat Matius 4:1-11), dan ditutup dengan pergumulan hebat di Taman Getsemani (lihat Matius 26:39). Pokok persoalan di dalam dua peristiwa itu sama: pergumulan antara “melakukan kehendak sendiri” atau “melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku”. Sekali komitmen tetap komitmen, sekali merdeka harus merdeka. Komitmen adalah memandang ke satu arah dan berjalan ke satu tujuan. Tidak menyimpang ke kiri atau ke kanan. Tidak menengok ke belakang, tetapi terus menatap ke depan.

Ketiga. Yesus, tidak saja tahu dan mampu menterjemahkan visi dan misi-Nya sebagai pelayan khusus Allah Bapa, tetapi juga mati di dalam komitmen. Yesus mati setelah usai melaksanakan kehendak Bapa-Nya. Itulah kerja Yesus di sepanjang hidup-Nya, hidup dan mati di dalam komitmen. Pasti tidak ada yang lebih melegakan di hidup ini, selain daripada dapat mengakhiri hidup dalam komitmen tanpa cela. Tidak perlu mentransfer “filsafat balon”, cukup dengan “filsafat telur”, sederhana namun cemerlang. Kita masih di dermaga pelayanan tahun pertama, mari mempertahankan karisma, karakter dan komitmen kita, sebab kita adalah sama: pelayan khusus yang diutus Bapa menjadi gembala.

Yesus memanggil orang banyak dan murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku" (Markus 8:34).


Kepustakaan
Darmaputera, Eka. KETIKA TAKUT MENCENGKERAM. KUMPULAN RENUNGAN TENTANG KETEGUHAN DAN PENGHARAPAN. Yogyakarta: Gloria Graffa, 2002
Ismail, Andar. SELAMAT MELAYANI TUHAN. 33 RENUNGAN TENTANG PELAYANAN. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997
Lembaga Alkitab Indonesia. ALKITAB TERJEMAHAN BARU © 1974. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1998
Sjiamsuri, Lenardo, A. KARISMA VERSUS KARAKTER. MENUJU KEPADA KEUNGGULAN SEORANG PELAYAN TUHAN. Jakarta: Nafiri Gabriel, 2000
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA. Jakarta: Balai Pustaka, 2002


Disampaikan Dalam Konven Pelayan Khusus 2005-2009 Jemaat GMIM Ekklesia” Wengkol, Wilayah Tondano Satu, Jumat 15 April 2005

Tidak ada komentar: