Sabtu, 01 Agustus 2009

PARADOKSALITAS AGAMA SEBAGAI MASALAH SOSIO-TEOLOGIS

Paradoksalitas Agama Sebagai Masalah Sosio-Teologis
Sebuah Interméso di Tengah Diskusi Agama dan Kekerasan

Oleh: I Wayan Jhony

Abstract
We are living in a period of dramatic change. Structures that have held for generations are beings pulled down. At the end year of last century, and the early year of 21st century, society social life calendar in Indonesia was filled by paradox series event. There were many religion movements born, so it was reasonable if John Naisbitt and Patricia Aburdene named this era as the rise of religious. But when religious enthusiasm rose, at the same time the society morality, spirituality and religiosity brought disorder, as if had decadence including degradation. Violence by violence “involved” religion as if to increase blacklist at the face of our beloved country recently. The religious don’t bring coolness and peacefulness, but vagueness and fear.

Keywords: religion, violence, escalation, sociologies, theologies, and paradox.

Pengantar
Prediksi kematian agama (termasuk God is dead) yang pernah dikemukakan sekitar abad ke-19 oleh “elit-elit intelektual” Eropa,[2] ternyata di abad ke-21 dianggap mitos masa lalu. Agama bukannya terdesak oleh ilmu pengetahuan modern dan ideologi-ideologi besar dunia kontemporer, melainkan mengalami kebangkitan.[3] Namun persis saat antusiasme dan kesadaran religius bangkit, bersamaan pula etika dan religiositas (keberagamaan) mengalami kemerosotan. Tragedi runtuhnya World Trade Center (WTC) di New York dan peledakan bom di Legian-Kuta (Bali) adalah sedikit bukti dari kemerosotan tersebut. Bahkan hampir satu dasawarsa lebih awal, “ramalan” tentang itu sudah pernah diungkap oleh Samuel Huntington[4] dengan pernyataan: the clash of civilizations.

Kedua peristiwa itu (11 September 2001 dan 12 Oktober 2002) awalnya dianggap sebagai peristiwa terror kemanusiaan, masalah sosial politik dan anti kemapanan, tapi belakangan mulai berubah menjadi minor. Isu sentimen agama digulirkan sebagai gantinya. Bahkan Presiden Irak (Saddam Husein) mengisyaratkan: jika terjadi perang (Amerika versus Afghanistan, yang dituduh melindungi Osama bin Laden selaku pimpinan Tanzim Al-Qaeda), maka genderang perang agamapun telah dimulai. Bahkan peristiwa 11 September 2001 merupakan isu penentu siapa menjadi kawan dan siapa menjadi lawan, sebagaimana dikemukakan George W. Bush (Presiden Amerika Serikat): you are either with us or against us.

Agama Dalam Segmen Sosio-Teologis
Sebagai fenomena-sosial universal yang menyejarah, agama tidak saja “ada di mana-mana”, tetapi juga dianut oleh sebagian besar penduduk dunia dengan beragam lingkungan sosial-budaya. Keanekaragaman konteks sosial dan budaya penganut agama, memberi kemungkinan tidak mudahnya merumuskan definisi agama yang benar-benar representatif secara sosiologis. Saya setuju dengan Elizabeth K. Nottingham,[5] bahwa agama bukanlah untuk didefinisikan (batasan), melainkan untuk dideskripsikan (penggambaran). Yakni “mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami oleh pemeluk-pemeluknya”.[6] Dengan demikian, agama berkaitan dengan usaha-usaha pemeluknya untuk mengukur kedalaman makna keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta.[7]

Meski adalah kemustahilan secara sosiologis untuk mendefinisikan arti agama yang representatif, maka demi kesamaan paham dalam tulisan ini, saya kira ketidakmungkinan itu perlu “direlatifkan”. Agama adalah suatu institusi sosial (wadah komunitas, sistem keyakinan) yang memfasilitasi keinginan manusia untuk “berjumpa” dengan apa yang oleh Emile Durkheim[8] sebut the sacred (membedakan dari yang profane) agar hidupnya memiliki makna positif dihadapan the sacred itu. Atau kata Hendropuspito,[9] “agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya”.

Secara teologis, agama adalah pengalaman (pencarian dan respons) manusia terhadap apa yang Rudolf Otto[10] istilahkan dengan “The Wholly Other”, sebuah misteri yang menakutkan tapi sekaligus mempesona (mysterium tremendum et fasinans). “Tidak ada agama ketika ‘yang suci’ tidak hidup sebagai inti terdalam, dan tanpa ‘yang suci’ tidak ada agama yang layak diberi nama agama”.[11] Atau dalam bahasa Herlianto, agama adalah kesadaran yang ada dan lahir pada diri setiap manusia, bahwa di balik ‘alam nyata yang tidak kekal’ (profane) ini, ada ‘alam maya yang kekal’ (sacred) dan bahwa ‘manusia dengan suatu cara dapat berhubungan dengan realitas yang lain itu’.[12] Agama bukan saja sarana memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga merupakan pengalaman agamaniah manusia terhadap “yang suci”.

Dengan demikian, baik secara sosiologis[13] maupun teologis,[14] agama memiliki dimensi sosial (menghubungan manusia dengan sesama dan alam lingkungannya) dan rohani (menghubungkan manusia dengan “yang transenden”, “yang suci”). Dalam rangka membicarakan peran agama di tengah kehidupan bermasyarakat pasca modern, yang dianut itu (tradisi, agama) harus ditransformasikan. Sebab ketidaksanggupan untuk mentransformasikan (tradisi) agama dalam konteks pasca modern yang dominan “merombak”, akan menjadikan agama itu konservatif-irasional. Agama dalam zaman pasca modern adalah agama dalam tantangan: sikap beragama tradisional tidak mungkin diteruskan, dan itu artinya agama harus senantiasa ditransformasikan.

Paradoksalitas Agama di Medan Ibu Pertiwi
Eksistensi manusia beragama sebagai makhluk sosial senantiasa disertai dengan insting-insting dan hegemonik seperti rasa lapar, rasa haus, rasa aman, keinginan berkuasa dan pertahanan diri. Dalam tiap aktivitas untuk memenuhi kebutuhan insting dan hegemonik-nya itulah yang memungkinkan, dan bahkan sering “membenarkan” manusia berinteraksi sosial dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Praktek kekerasan terhadap manusia oleh manusia beragama merupakan peristiwa sehari-hari masyarakat Indonesia pasca-modern, sepertinya membenarkan ungkapan Thomas Hobbes: homo homini lupus (= manusia menjadi serigala atas sesamanya). Dalam hal ini, yang kuat (secara fisik) akan menuai kemenangan, dan yang sekaligus menentukan hukum.

Kekerasan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kondisi kejiwaan (psikis) manusia yang disulut oleh bertumbuhnya iklim atau suasana kemarahan, ketakutan, frustasi sosial, dan perasaan tertekan yang semakin intens dan cenderung meluas.[15] Ada banyak yang menjadi penyebabnya. Bisa karena ketimpangan dan ketidak-adilan yang membangkitkan perasaan kecewa. Bisa juga karena politik yang tidak memberikan peluang bagi partisipasi masyarakat dalam urusan yang menyangkut “nasib” masyarakat kebanyakan. Atau hadirnya suatu sistem yang memang memungkinkan terciptanya kelompok privilege yang tidak mendukung bagi peneguhan kepentingan orang banyak.[16]

Dengan demikian, kekerasan tidak saja menyangkut perilaku (remuknya tubuh seseorang dan terburainya usus dari perut), tetapi juga konteks dan sikap hidup (cara manusia memandang, memperlakukan manusia lain, cara mendidik, dan yang terpenting adalah cara mengelola konflik). Dalam masyarakat di mana kekerasan telah membudaya, kekerasan akan senantiasa menjadi cara paling efektif mengatur hubungan antar manusia. Kekerasan bukanlah reaksi terhadap kekerasan sebelumnya (seperti umumnya lingkaran setan kekerasan), melainkan sebuah aksi yang sadar dan sukarela, bahkan sebuah kreasi yang memuat dimensi imajinatif manusia.[17]

Sekalipun praktek kekerasan amat mencuat dan tampaknya “dibenarkan” tampil ke permukaan pasca tumbangnya “boneka-boneka Soeharto”, namun akar kekerasan itu sendiri justru telah hadir jauh sebelum itu. Tepatnya: sejak peradaban antar manusia mulai berlangsung.[18] Karena itu, sulit rasanya untuk memisahkan antara sejarah hadirnya manusia dengan asal-usul kekerasan, baik di Indonesia, maupun di tempat-tempat lain. Kekerasan telah menghancurkan nilai dan hubungan persaudaraan, sebab kekerasan tidak saja mengubah kehangatan menjadi dendam, tetapi juga menanamkan luka batin dan teristimewa ia “menjadi monster bagi perkembangan psikis manusia di masa depan”.[19]

Dalam rentang era –yang oleh para pakar- disebut pasca-modern, Indonesia tidak saja mengalami peningkatan jumlah (eskalasi) aksi kekerasan dari dan oleh manusia, tetapi juga pencanggihan dan sakralisasi kekerasan dengan dukungan teknologi. Bahkan yang paradoksal terjadi agamisasi kekerasan, yakni upaya labelisasi kekerasan dengan simbol-simbol agama.[20] “Kekerasan yang terjadi akibat ‘intervensi’ agama meski tidak secara taken for granted berdiri sendiri, ternyata telah menjadi tindakan yang paling kejam dan mengerikan dalam masyarakat beragama, di mana agama seakan memberikan justifikasi terhadap tindak kekerasan dalam kehidupan bermasyarakat”.[21]

Agama selaku wadah-sosial yang dipakai manusia dalam merespons “sapaan” Ilahi sudah amat jauh terseret dalam stigma kekerasan. Agama, di satu sisi memperbudak dan membelenggu penganutnya (melakukan aksi kekerasan), namun di sisi yang lain agama memerdekakan atau membebaskan penganutnya (agar tidak melakukan kekerasan). Inilah yang disebut dengan paradoksal, atau dalam bahasa Aloysius Pieris disebut ambivalen: memperbudak dan membebaskan.[22] Wajah mendua seperti ini yang kerap kali menimbulkan persoalan dalam interaksi masyarakat majemuk seperti Indonesia. Banyak orang mengaku beragama, tapi ironisnya demi membela agama, nyawa sesama seringkali menjadi taruhan.

Membeloknya agama ke dalam zona kekerasan untuk era ini adalah realitas. Karena itu perlu disadari bahwa di antara agama dan kekerasan terdapat hubungan paradoksal yang sangat nyata. Secara intrinsik, agama memang mengajar dan memproklamasikan perdamaian semesta, namun dalam waktu bersamaan dan secara intrinsik pula, agama dapat memancing terjadinya konflik dan kekerasan. Memang agak naif dan subjektif kalau dikatakan bahwa agama senantiasa “terlibat” dalam pentas kekerasan, sebab selama ini agama dikenal dengan karakternya yang memerdekakan dan membawa damai. Lalu mengapa (secara historis) agama-agama terbukti aktif “bermain-main” dalam wilayah kekerasan? Akibatnya, agama lebih sering didakwa sebagai trouble maker ketimbang problem solving.

Agama di Kancah Kekerasan, Kebuntuan Mencipta Perdamaian-Semesta
Kekerasan di satu pihak, tak ubahnya rasa lapar yang tiba-tiba dapat mencuat ke permukaan (kodrat naluri-alamiah manusia secara jasmani). Namun di lain pihak, kekerasan adalah seperti “lingkaran setan”. Artinya, kekerasan itu lebih dari sekedar naluri yang alamiah, tetapi menjadi budaya, yakni budaya kekerasan. Kalau anggapan ini benar, maka secara perlahan interaksi sosial manusia sebagai masyarakat di millennium ini tidak saja mengalami perluasan kekerasan secara akumulatif, melainkan juga pencanggihan kekerasan. Kekerasan itu tidak pernah berdiri sendiri, lepas dari aneka persoalan yang ada di sekitarnya. Ia lahir susul-menyusul secara estafet bagaikan mata rantai dari kekerasan-kekerasan terdahulu.[23]

Dalam kategori ini, saya membenarkan pendapat Jean Jacques Rousseau (1588-1679 M) bahwa manusia pada dasarnya adalah tidak baik dan tidak juga buruk, bukan egois dan bukan altruis, ia hidup dengan polos dan mencintai diri secara spontan. Kepolosan manusia itu terkoyak akibat pergumulannya di tengah sebagian masyarakat yang ingin memutlakkan kekuasaannya (tidak menghendaki perubahan). Karena keinginan bebas dari pergumulannya dalam sistem yang otoriter, misalnya, lalu manusia dengan mudah menumpahkan darah dan membunuh sesamanya.

Awalnya kekerasan lahir dan dibidani oleh rasa keakuan para elit penguasa otoriter dan sahabat-sahabatnya. Lalu kekerasan pun muncul sebagai reaksi dari kelompok pejuang keadilan bersama kelompok yang diperjuangkannya. Awalnya berbentuk protes, demonstrasi, dan akhirnya sampai mengangkat senjata untuk menumbangkan “boneka-boneka penguasa” yang dianggap penjahat. Pada tataran ini, kekerasan akan kembali mencuat sebagai satu-satunya jalan berpikir dan bertindak dari penguasa untuk menumpas kekerasan kedua (dari para penentangnya). Begitulah seterusnya, hingga kekerasan demi kekerasan nyaris menumpahkan darah untuk membayar dendam kesumat yang tak kunjung tuntas penyelesaiannya secara hukum.[24]

Mengapa manusia menjadi marah, dan agresif, lalu melahirkan kekerasan? Anggapan teori psikologi lama, sebagaimana di antaranya dianut oleh Gerard Priestland, menyatakan bahwa agresivitas manusia disebabkan oleh frustasi sosial. Penelitian lebih lanjut, menunjukkan bahwa meskipun secara rohani kebutuhan manusia terpenuhi, tetap saja perasaan marah bisa terjadi. Sebaliknya, dengan konteks kehidupan yang chaos (di mana peran agama tampak “mandul”), banyak umat beragama yang justru tetap bersemangat melakukan kegiatan keagamaan dengan setia tanpa harus ditekan dan dipaksa oleh pihak negara (pemerintah).

Penelitian-penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa penyebab kemarahan dan agresivitas manusia lebih pada gejala yang oleh Sarlito[25] (mengutip T.R. Gurr) disebut Deprivasi Relatif (DR), yakni suatu keadaan di mana antara harapan dan kenyataan terdapat jurang yang dalam: harapan melonjak, kenyataan tetap tidak berubah (DR tipe 1), harapan tidak berubah dan kenyataan lebih merosot (DR tipe 2), sedang DR tipe 3 (gabungan 1 dan 2). Yang sedang terjadi di Indonesia adalah DR tipe 3,[26] di mana interaksi sosial-kemasyarakatan semakin terpuruk karena krisis multi dimensi, harapan manusia justru melonjak karena dibakar oleh semangat dan euforia atau tidak salah juga dikatakan oleh Karman sebagai ironi reformasi.[27]

Deprivasi relatif yang melahirkan kekerasan demi kekerasan di Indonesia tampaknya sudah semakin kronis, dan cenderung menjadi budaya (kekerasan telah menjadi modus vivendi, sebuah masyarakat yang secara psikis sedang sakit). Dalam situasi serupa itu Girard sebagaimana dikutip oleh Maulani[28] tidak sependapat kalau kekerasan dipandang sebagai tindak yang “irasional”. Bagi Girard, kekerasan memiliki rasionalitasnya sendiri, terutama bila terdapat perasaan tertekan yang intens. Bila seseorang tak dapat melampiaskan kemarahannya kepada sumber yang menekan (bisa jadi karena berada di luar kemampuannya membalas), biasanya muncul reaksi dalam wujud mencari korban pengganti.

Korban pengganti biasanya dipilih semata-mata karena ia lebih lemah, lebih rentan dan mudah dicapai untuk melampiaskan emosi dengan maksud bisa segera keluar dari aneka krisis. Bentuk-bentuk kekerasan brutal dan membenarkan segala cara, bukan hanya bom waktu yang bisa meletupkan persoalan lebih luas dan rusaknya relasi sosial-kemasyarakatan dalam suatu komunitas majemuk seperti Indonesia. Tetapi juga merupakan penghambat pertumbuhan dan sekaligus perkembangan manusia secara jasmani, terlebih rohani karena trauma yang berkepanjangan.

Agama: “Terlibat” Atau “Melibatkan” Diri
Memang agak naif dan subjektif, kalau saya kemudian mengatakan bahwa agama senantiasa “terlibat” atau “melibatkan” diri atau “bermain” dalam pentas kekerasan, sebab selama ini agama dikenal dengan karakternya yang membawa damai. Lalu mengapa agama selalu menjadi “tersangka”? Ada beberapa kemungkinan dapat disebut.

Pertama. Agama oleh sebagian besar masyarakat masih dimengerti sebagai wadah-sosial yang dengan mudahnya dapat mengumpulkan massa. Melalui agama, mereka merasa disatukan dan diikat oleh perasaan senasib untuk “membela Tuhan”,[29] membela (institusi) agama dan kebenaran (agama dipakai dalam percaturan politik atau “bahasa kekuasaan”). Juga perasaan untuk membebaskan diri dari sistem-sistem otoriter dan akumulasi kekecewaan terhadap pemerintah yang tidak menunjukkan sikap pembelaan dengan benar. Juga akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang selama ini (dianggap) tidak sungguh-sungguh menunjukkan concern-nya terhadap krisis multi-dimensi yang tampaknya enggan beranjak dari bumi Indonesia.[30]

Kedua. Hampir semua “agama” dilahirkan pada masyarakat tertutup (eksklusif) dan langsung berhadapan dengan musuh. Karenanya, banyak sekali ungkapan-ungkapannya yang secara tekstual (apa yang tertulis) menyatakan permusuhan dan mengutuk eksistensi agama lain.[31] Karena teks agama dianggap suci sementara konteks sosialnya diabaikan, maka pendekatan tekstual semata tanpa memperhatikan konteks historis (latar belakangnya) dan apalagi tanpa kemauan melakukan kerja-hermeneutik (upaya untuk menjadikan yang tekstual itu relevan di konteksnya) akan bisa mengawetkan rasa permusuhan terhadap kelompok dan atau agama-agama lain.[32]

Ketiga. Umumnya polarisasi dengan mengidentifikasikan antara “kita” dan “mereka”, membutuhkan legitimasi yang dikembangkan melalui narasi berbentuk ritual keagamaan, dan diperkokoh oleh ekspresi simbol-simbol keagamaan pula. Fenomen religiositas (keberagamaan) yang seperti ini hanya akan menambah kekokohan identitas diri dan kelompok sendiri, dan sekaligus juga memperteguh pembedaan di antara “kita” dan “mereka”. Dalam situasi chaos, narasi keunggulan simbol-simbol agama amatlah berpeluang menyulut ke-chaos-an yang semakin chaos: “kita” disucikan dan makin merasa paling suci; sedang “mereka” dilecehkan dan semakin dianggap lebih kafir.[33]

Keempat. Setiap agama pada akhirnya melahirkan realitas sosial berupa the community of believers, yang memerlukan sebuah ruang penemuan identitas diri dan kelompok di mana “kita” bisa unggul dan mendominasi dari “mereka”. Dalam posisi yang demikian, agama menyatukan orang-orang tertentu ke dalam kelompok tertentu, dan karena itu juga membeda-bedakan orang dari kelompok lain. Bersamaan dengan itu pula akan muncul apa yang disebut outsiders atau the other groups, bahkan mungkin one region one faith.[34] Polarisasi ini menciptakan dinamika kelompok antara “kita” dan “mereka”, yang senantiasa menguat di tengah situasi konflik di mana yang berbeda selalu menjadi rival.

Kelima. Setiap agama menawarkan jalan keselamatan yang kemudian dipahami secara eksklusif (agamanyalah yang merupakan jalan keselamatan mutlak dan final). Lebih ekstrim lagi dengan mengutuk dan membasmi keberadaan agama lain, dan ironisnya dianggap sebagai suatu tuntutan suci (karena itu ada “perang suci” yang dilegalkan oleh agama tertentu). Orang semacam ini terlalu yakin, bahwa seakan dirinyalah yang telah ditunjuk oleh Tuhan sebagai pemegang kunci sorga, dan dialah pula yang paling berhak menentukan seleksinya, apakah seseorang layak atau tidak masuk sorga.[35] Dalam hal ini, agama tidak saja mendidik masyarakat, tetapi juga dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat.

Menerobos Kebuntuan. Transformasi Agama Demi Agama Transformatif
Benturan peradaban sebagaimana digagas oleh Huntington dan maraknya aksi kekerasan di Indonesia, tidak saja mengindikasikan terjadinya dehumanisasi dalam dunia pasca modern, melainkan juga sekaligus runtuhnya harapan akan sebuah tata dunia pasca Perang Dingin yang lebih aman dan stabil. Agama lalu dituding selaku trouble maker dan yang harus pula “bertanggung jawab” memberhentikan setiap upaya penghancuran hakikat dan peradaban manusia oleh kekuatan-kekuatan revolusioner (problem solving). Jadi, agama-agama selain dituntut membuktikan dirinya sebagai pendorong integrasi, agama juga ditantang untuk membuktikan relevansi tradisinya bagi pencegahan dan pemecahan masalah-masalah dehumanisasi secara dialogis-transformatif.

Dalam konteks yang terus berubah agama-agama ditantang untuk merelevansikan tradisi masing-masing agar tidak ketinggalan zaman, termasuk tradisi Kekristenan, yang dengannya berarti keberanian untuk kaji-ulang tradisi. Atau lebih tepatnya: sedang dibutuhkan transformasi agama (demi agama transformatif), agar tradisi yang dikandungnya menjadi kontekstual. Betapa tidak? Ketidakberanian, atau karena keengganan mengadakan transformasi tradisi (agama), seringkali menjadi sebab bahwa agama-agama tidak mampu menunjukkan “tanggung jawabnya” (sikap transformatifnya) ketika terjadi dehumanisasi. Bahkan kebangkitan agama-agama, senantiasa hanya dapat diikuti oleh dekadensi moral, yang ironisnya berarti keruntuhan etika dan religiositas (= keberagamaan) umat beragama.
Catatan:
[2]Antara lain August Comte (1798-1857, agama mengasingkan manusia dari kenyataan), Ludwig Feuerbach (1804-1872, agama mengasingkan manusia dari esensinya), Karl Marx (1818-1883, agama adalah candu masyarakat), Friedrich Nietzsche (1844-1900, Requienum Aeternam Deo, semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi), dan Sigmund Freud (1856-1939, agama adalah opium). Bahkan tiga di antara mereka (Feuerbach, Nietzsche dan Freud) akhirnya disebut sebagai algojo-algojo atheis berdarah sekuler yang mematikan Tuhan.
[3]Kebangkitan agama justru dilihat sebagai salah satu megatrends menjelang akhir millennium kedua dan tahun-tahun awal millennium ketiga. Lihat John Naisbitt dan Patricia Aburdene. Sepuluh Arah Baru Untuk Tahun 1990-an. Megatrends 2000 (Jakarta: Binarupa Aksara, 1990), hlm. 254-280.
[4]Lihat rangka-pikir Samuel Paul Huntington tentang “The Clash of Civilizations?” dalam [http://www.coloradocollege.edu/dept/PS/Finley/PS425/reading/Huntington1.html], diterbitkan oleh jurnal Foreign Affairs, edisi kemarau 1993 dan Samuel Paul Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (London: Simon & Schulster, 1996).
[5]Lihat Elizabeth K. Nottingham. Agama dan Masyarakat. Suatu Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 3.
[6]D. Hendropuspito. Sosiologi Agama (Yogyakarta: Yayasan Kanisius dan Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 29
[7]Bandingkan Elizabeth K. Nottingham. Loc. cit.
[8]Agama menurut Durkheim adalah kesatuan sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan sesuatu yang sacred, yakni segala sesuatu yang terasingkan dan terlarang, keyakinan dan praktek yang menyatu dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja, di mana semua orang tunduk kepada-Nya. Lihat Emile Durkheim. The Elementary Forms of Religious Life (New York: The Free Press, 1995) p. 44
[9]Lihat D. Hendropuspito. Op. cit., hlm. 34. Agama sebagai jenis sistem sosial, hendak menjelaskan bahwa agama adalah fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem sosial yang dapat dianalisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan tertentu. Agama berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris, menyatakan bahwa agama itu khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia luar” yang di-“huni oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh atau Roh tertinggi. Manusia mendayagunakan kekuatan-kekuatan di atas untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Kepentingan (keselamatan) adalah keselamatan di dalam dunia sekarang ini dan keselamatan di “dunia lain” yang dimasuki manusia sesudah kematian. Lihat D. Hendropuspito. Loc. cit.
[10]Rudolf Otto. The Idea of the Holy. An Inquiry Into the Non-Rational Factor in the Idea of the Divine and its Relation to the Rational (New York: Oxford University Press, 1958), pp. 12-13, 25-40
[11]Bandingkan Rudolf Otto, Ibid. pp. 5-7
[12]Herlianto. “Perjalanan Agama dan Kehidupan Beragama di Masa Kini” dalam Majalah DIA, edisi 4/2001, kolom 1, hlm. 14. Manusia menyadari realita yang suci karena realita itu menyatakan dirinya sebagai sesuatu yang samasekali berbeda kenyataannya dari yang duniawi. Pernyataan ini disebut sebagai hierophany. Dalam hubungan dengan realita baka yang dianggap suci itu umumnya orang-orang memandang dengan sikap hormat disertai larangan dan pantangan bila berhubungan dengannya, karena yang dipercaya itu berasal atau berada dalam realita yang suci.
[13]Kajian mendalam tentang agama dalam perspektif sosiologis dapat dilihat Peter Connoly (editor). Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKiS, 2002), hlm. 267-310.
[14]Kajian mendalam tentang agama dalam perspektif teologis dapat dilihat Peter Connoly (editor). Ibid., hlm. 311-372.
[15]Bandingkan gagasan Gerard Priestland. “The Future of Violence”, 1974 dan Rene Girard. “Violence and the Sacred”, 1989 sebagaimana dikutip oleh Z.A. Maulani. “Keberingasan”. Kolom dalam Majalah Gatra, edisi 16 November 1996, hlm. 31
[16]Bandingkan Z.A. Maulani. Loc. cit.
[17]Selama ada unsur-unsur pemaksaan, destruksi, dan pengingkaran sebagian atau seluruh kebebasan, dan tidak menjadi soal siapa pelakunya, di sinilah terjadi kekerasan! Dimensi yang luas dan multi ini dengan demikian memperluas makna kekerasan sebagai bukan sekedar anti-perdamaian, tetapi juga pengingkaran kebebasan, peniadaan kesempatan yang sama, ibarat ‘burung dalam sangkar emas’: segalanya terpenuhi, tetapi kebebasannya diminimalkan. Paralel dengan kehidupan manusia, berarti free of will individu manusialah yang dikebiri habis-habisan oleh ‘sangkar emas’ tersebut.
[18]Untuk kajian lebih lanjut tentang sejarah kekerasan di Indonesia dapat dibaca Freek Colombijn and J. Thomas Linbald (editors). Roots of Violence in Indonesia (Leiden: Koninklijk Instituut Voor Taal-Land-End Volkenkunde/KITLV Press, 2002), dan resensi kritisnya oleh Sukidi. “Perspektif Sejarah Kekerasan di Indonesia” dalam [http://www.cmdd.org/buku_sm.htm].
[19]Bandingkan Mamphele A. Ramphele. “Kata Pengantar” dalam Gill Straker. Faces in the Revolution. The Psychological Effects of Violence on Township Youth in South Africa (Claremont: David Philip Publishers and Ohio University Press, 1992), p.ix
[20]Agama selalu disebut-sebut di mana ada konflik terjadi (di Maluku, di Poso, dan di tempat-tempat lain), apakah sebagai pemicu, sebagai yang terlibat dalam konflik, sebagai yang membuat konflik mengalami perluasan, atau sebagai yang bisa menyelesaikan konflik (problem solving).
[21]Bandingkan Zuly Qodir. “Agama dan Kekerasan. Di Mana Peran Ornop Keagamaan?” Fokus dalam Harian Umum Kompas, edisi Jumat, 19 Januari 2001 dan juga tulisan-tulisan dalam Chaider S. Bamualim, Karlina Helmanita, Amelia Fauzia, E. Kusnadiningrat (editors). Communal Conflicts In Contemporary Indonesia (Jakarta: The Center for Languages and Cultures and The Konrad Adenauer Foundation, 2002), pp. 3-261
[22]Aloysius Pieris. Berteologi Dalam Konteks Asia (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996), hlm. 73. Bahkan Franz Magnis-Suseno menyebut agama sebagai “berkat dan ancaman” dalam Mencari Makna Kebangsaan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm 158; Mudji Sutrisno: “mencerahkan dan memecah” dalam Agama: Wajah Cerah dan Wajah Pecah (Jakarta: Penerbit Obor, 1996), hlm. 16; Franz Dahler: “menguntungkan dan merugikan” dalam Masalah Agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), hlm. 3; Agus M. Hardjana: “anugerah Tuhan dan upaya manusia” dalam Penghayatan Agama: Yang Otentik & Tidak Otentik (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), hlm. 5; Mianto N. Agung: “suaka dan petaka” dalam “Agama dan Konflik di Indonesia: Memahami Peran dan Posisi Gereja” dalam Majalah Bina Darma edisi 61 Januari 2001, hlm. 74
[23]Bandingkan Andreas Ambar Purwanto “Paradoksalitas Agama dan Kekerasan” Fokus dalam KQ Megazine, edisi April 1999, hlm. 1-2 dan lihat juga Mamphele A. Ramphele. “Kata Pengantar” dalam Gill Straker, Op. cit., pp. 87-107
[24]Bandingkan Andreas Ambar Purwanto dalam Loc. cit.
[25]Lihat Sarlito Wirawan Sarwono. “Pencegahan Pemogokan Pekerja Dengan Pendekatan Psiko-Sosial dan Komunikasi”. Makalah disampaikan dalam seminar oleh Yayasan Cipta Masyarakat Madani, Jakarta, 23 Maret 2003, hlm. 1
[26]Bandingkan Sarlito Wirawan Sarwono. Loc. cit.
[27]Yonky Karman. “Kekerasan di Era Reformasi. Memperingati Hari Anti Kekerasan Sedunia Tanggal 25 November”. Opini dalam Harian Umum Sinar Harapan, edisi Rabu, 26 November 2001, hlm. 6, klm. 8
[28]Bandingkan gagasan Rene Girard. “Violence and the Sacred”, 1989 sebagaimana dikutip oleh Z.A. Maulani. Loc. cit.
[29]Bandingkan Zuly Qodir. Loc. cit.
[30]Bandingkan Zainuddin Fananie, Atiqa Sabardila dan Dwi Purnanto. Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial (Jakarta: Muhammadiyah University Press bekerjasama dengan The Ford Foundation, 2002), hlm. 1-8
[31]Dalam agama Kristen teks yang sering dipahami secara tekstual antara lain Imamat 24:16, Ulangan 20:16, Yosua 6:21, 1 Samuel 15:3, Matius 10:34; 25:30 dan Lukas 12:51
[32]Lihat Komaruddin Hidayat sebagaimana dikutip oleh Maksun. “Upaya Preventif Menghindari Radikalisme Agama. Catatan Untuk Muhammad Muhajirin” Opini dalam Harian Umum Media Indonesia, edisi Jumat, 1 Juni 2001
[33]Bandingkan Ihsan Ali-Fauzi “Ambivalensi Sebagai Peluang: Agama, Kekerasan, dan Upaya Perdamaian” dalam Sifaul Arifin, Raja Juli Antony, Irfan Nugroho dan Irfan Amali (editor). Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan (Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah, The Asia Foundation, Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 69-73
[34]Lihat Komaruddin Hidayat sebagaimana dikutip oleh Maksun, Opini dalam Harian Umum Media Indonesia, Loc. cit., dan lihat juga Ihsan Ali-Fauzi, Loc. cit.
[35]Lihat Komaruddin Hidayat sebagaimana dikutip oleh Maksun, Opini dalam Harian Umum Media Indonesia, Loc. cit.
Tulisan ini semula dimuat di Majalah "Exodus" Fakultas Teologi UKIT Nomor 14 Tahun XI, Juni 2004, halaman 46-61

Tidak ada komentar: