Sabtu, 01 Agustus 2009

REFLEKSI TEOLOGIS ATAS SIKAP GEREJA TERHADAP UPAH DALAM RELASI BURUH-MAJIKAN

REFLEKSI TEOLOGIS ATAS SIKAP GEREJA TERHADAP UPAH
DALAM RELASI BURUH–MAJIKAN

Oleh: I Wayan Jhony

Pendahuluan
Secara Nasional, seiring dengan berkembangnya perekonomian di Indonesia, pemerintah (melalui Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia) setiap tahunnya telah menaikkan Upah Minimum Regional (UMR) buruh untuk masing- masing daerah atau propinsi. Hal ini merupakan salah satu kebijakan positif dari pemerintahuntuk lebih meningkatkan kesejahteraan buruh sesuai jaminan konstitusi. Akan tetapi, dalam pelaksanaan sehari – hari, persoalan yang muncul adalah kesenjangan antara “das sollen” (yang diharapkan) dengan “das sein” (kenyataan di lapangan).

Artinya, secara Nasional, UMR belum banyak diberlakukan dengan penuh oleh majikan. Akibatnya, upah yang umumnya diterima buruh belum menggambarkan jaminan bagi penerimaan upah yang layak dan sepadan dengan tenaga yang dikeluarkan oleh buruh. Akhirnya, stagnasi kesejahteraan buruh sampai saat ini masih menjadi fakta sosial yang tidak di pungkiri.

Bagaimana tujuan pembangunan untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia dapat berhasil, jika kaum buruh (sebagai bagian integral bangsa dan Sumber Daya Manusia yang diharapkan berperan aktif dalam pembangunan) tidak didukung dengan upah kerja yang layak? Bagaimana pula kaum buruh harus berjuang untuk mencapai hidup yang layak dan sejahtera, jika upah yang mereka terima masih di bawah standar UMR yang ditetapkan oleh pemerintah? Menghadapi indikasi demikian, bagaimana sikap Gereja?
Gereja dipanggil untuk bertindak sesuai dengan komitmennya sebagai persekutuan yang “option for the poor”. Bertindak untuk kaum buruh sebagai salah satu bagian dari penjabaran komitmen Gereja adalah wahana untuk menciptakan relasi kasih di antara Gereja–Buruh–Majikan. Tulisan ini mencoba menyoroti sikap Gereja terhadap kasus rendahnya upah buruh dalam relasi buruh–majikan berdasarkan pandangan Alkitab, dengan memberikan refleksi teologisnya. Semoga bermanfaat dan mudah–mudahan dapat pula memberi kontribusi bagi penyelesaian masalah buruh dan majikan pada umumnya.

Manusia (Buruh–Majikan) dan Upah Menurut Alkitab
Alkitab menyaksikan bahwa “Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya. Menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kejadian. 1: 27). Itu berarti bahwa buruh adalah juga “gambar Allah” atau citra Allah (Imago Dei), seperti juga manusia lain yang secara kebetulan menjadi majikan. Keberadaan majikan akan disempurnakan oleh keberadaan buruh. Baik majikan maupun buruh, ada dalam hubungan saling memberi dan saling menyempurnakan, sehingga muncul pemahaman bahwa majikan dan buruh adalah sama. (Benar!).

Di hadapan Allah, manusia (buruh-majikan) adalah” makhluk.” Hal ini menurut Eka Darmaputera, disebut sebagai pemilik keunggulan kualitatif yang hakiki dibandingkan dengan ciptaan lainnya Ia diberi tugas untuk merawat (Kejadian 2:15) sekaligus dikaruniai mandat untuk “berkuasa“ (Kejadian 1:28) . Artinya, manusia diciptakan sebagai makhluk yang kreatif dalam relasinya dengan sesama dan wajib mengatur kehidupan bersama dalam keharmonisan dengan dan untuk semua orang.

Dengan demikian, manusia (majikan-buruh) mempunyai hak-hak, martabat dan kewajiban yang sama dan tidak boleh dieksploitasi oleh siapapun (pada segala profesi dan jabatan). Dalam hal ini menurut Galatia 3:28, tidak ada orang Yahudi, atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan , karena kamu semua adalah satu dalam Kristus.

Majikan dan buruh dalam keluhuran harkat dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Allah yang Imago Dei mengekspresikan mandat dan tugas dari Allah melalui kerja. Kerja adalah karunia Allah agar ciptaan-Nya dapat melanjutkan proses kehidupan. Kerja adalah hakekat manusia yang suci. Menurut Christopher Wright, kerja menjadi beban ketika kerja dijadikan barang dagangan, dibeli dan dijual tanpa mempedulikan upah yang layak bagi buruh dan keluarganya. Hal itu, selain bertentangan dengan kemanusiaan buruh sebagai citra Allah, juga berarti gagal memenuhi tanggung jawab kepada Allah demi buruh (bandingkan Kejadian. 2:1,.17 tentang kebebasan yang bertanggung jawab).

Dalam beberapa bagian Alkitab, masalah “buruh – majikan“ sehubungan dengan “upah kerja“ menjadi sorotan yang sentral dan esensial. Dengan tegas dikatakan “... Janganlah kau tahan upah seorang pekerja harian sampai besok harinya” (Imamat 19:13, lihat juga Ulangan 24 :14.15). Ungkapan itu mengandung makna bahwa upah buruh harus dibayar dengan segera dan secara penuh. Umat Israel waktu itu dan “Israel“ masa kini dilarang keras menahan upah seorang buruh sampai waktu matahari terbenam. Upah buruh harus dibayar pada hari itu juga setelah menyelesaikan pekerjaannya (lihat juga Matius 20:8). Upah minimum buruh harus diterapkan supaya seorang buruh dapat hidup dari upahnya, mengingat kondisi hidup buruh amat membutuhkan upah sebagai uang belanja dan uang makan sehari-hari.

“Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu. Kamu telah menghukum bahkan membunuh orang yang benar dan ia tidak dapat melawan kamu.” (Yakobus 5:4,6).

Itulah kritik Yakobus melawan pemerasan terhadap buruh. Yakobus menegur orang-orang kaya (majikan) yang secara sengaja tidak membayar upah buruhnya. Ia memprotes majikan yang hidup dari hasil peluh kaum buruhnya, yang dalam sistem pengupahan tidak mendapat upah kerja yang layak. Sebagai pihak yang lemah, kaum buruh tidak punya daya untuk melawan. Itu berarti, sebagai “orang-orang kuat“, sang majikan telah melakukan penipuan, penindasan dan mengambil keuntungan secara sepihak dengan memperkosa hak asasi manusia sebagai buruh upahan.

Tidak dapat disangkal, bahwa peraturan-peraturan, kritik, hukum dan paranesis dalam Alkitab yang berkaitan dengan pengupahan (yang sudah atau belum dikutip dalam tulisan ini) mempunyai aplikasi otomatis kepada kehidupan orang Kristen masa kini.

Melalui kutipan-kutipan terdahulu, saya mengundang para pengikut Kristus untuk mampu berpikir secara kasih, lalu bertindak mengamalkan kasih itu. Disebutkan di atas tentang bagaimana seharusnya memperlakukan buruh dalam soal pemberian upah yang layak (lihat Imamat 19:13; Ulangan 24:14,15; Yeremia 22:13; Amsal 14:31; Matius 10:10, 20: 8; Kolose 4:1; Yakobus 5:4,6 dan lain- lain).

Majikan yang peduli dengan upah buruh adalah wujud keterpanggilan untuk bertindak melalui kasih. Sebab peduli akan upah buruh yang layak merupakan bagian penting dari perwujudan kasih sang majikan terhadap para buruhnya. Oleh karena itu, perlu dipikirkan dan dilakukan pertolongan yang konkret bagi usaha peningkatan kesejahteraan buruh. Jadi, dalam hal ini, diperlukan semacam visi (sikap Gereja) yang beroeientasi-transformasi-keadilan dalam rangka keutuhan ciptaan Allah.

Bagaimana Gereja Bersikap?
Mencermati fakta-fakta di lapangan, khususnya tentang rendahnya upah buruh, hal itu menimbulkan keprihatinan ditengah-tengah gencarnya upaya meningkatkan derajat hidup kaum buruh. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan melalui kenaikan UMR setiap tahunnya dan jaminan konstitusi secara Nasional maupun Internasional.

Sebagai Gereja yang diutus Allah dan menerima tugas pengutusan itu, mau tidak mau Gereja diwajibkan agar mencermati berbagai permasalahan yang terjadi dengan tajam. Gereja harus berani memerangi segala bentuk ketidakadilan yang terjadi di sekitar pelayanannya atau bahkan dalam pelayanannya sendiri. Kecermatan Gereja tidaklah sekedar berdimensi sosiologis-etis, melainkan berakar dan bersumber dari dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.

Masalah rendahnya upah buruh adalah masalah pelecehan Hak Asasi Manusia yang perlu mendapat perhatian lebih serius, bahkan menuntut solusi dari semua pihak, termasuk Gereja sebagai persekutuan yang “option for the poor”, yang diharapkan menjadi nyata dalam solidaritas terhadap kaum buruh dan bersama kaum buruh (“preferential option for the poor”).
Dalam Perjanjian Lama, praksis untuk memihak dan melayani kepentingan orang lemah dinampakkan dalam hukum Taurat, seperti tahun Yobel, tahun Sabat, persepuluhan, larangan memungut riba dari sesama bangsa. Dalam Perjanjian Lama, perhatian pada orang miskin tidak sekedar dilakukan dalam pemberian yang karitatif, tetapi ada upaya untuk melakukan transformasi sosial–ekonomi–politik. Orang–orang yang menjadi imam di Bait Allah bukan sekedar pelayan upacara agama, tetapi menjadi pelaku/pengelola persembahan persepuluhan untuk disalurkan pada orang miskin dan janda–janda.

Dalam Perjanjian Baru, rombongan Yesus mengenal pula bendahara untuk mengelola bantuan pada orang miskin. Demikian juga dengan jemaat pertama dalam Kisah Para Rasul sudah mengenal pelayanan orang miskin secara terorganisasi. Hal serupa juga dilakukan oleh jemaat sesudah Kisah Para Rasul, di mana imam mengelola persembahan orang kaya untuk melayani orang miskin. (Widyatmadja 1994 : 53).

Karena itu, tidak ada alasan bagi Gereja untuk melalaikan komitmennya, terlebih panggilan Allah untuk melayani kaum buruh. Pilihan mendahulukan kaum buruh adalah hal yang ditekankan dalam perjuangan Gereja–gereja. Perjuangan buruh terhadap upah yang layak harus diprioritaskan, karena Allah mau menyelamatkan semua manusia. Adapun cara Allah bertindak adalah dengan mendahulukan mereka yang paling jauh dari “kemakmuran”, yaitu buruh sebagai kelompok manusia yang miskin dan tertindas, bahkan tercecer dan tergilas.

Oleh Chris Hartono dijelaskan “Gereja harus mengutamakan pelayanan transformatif (pelayanan bagi dan bersama orang miskin yang bersifat mendampingi dan mendorong orang miskin untuk memperjuangkan hak–haknya sendiri di dalam mengatasi kemiskinannya), dengan tidak melupakan pelayanan karitatif (pelayanan bagi orang miskin yang sifatnya membantu sehubungan dengan keadaannya yang tidak berdaya dan terdesak) dan pelayanan reformatif (pelayanan yang bersifat menampakkan, membekali serta melatih orang miskin agar memiliki kemampuan dan ketrampilan yang baru, yang dapat membangun sendiri hidupnya)”.

Hal ini diakui juga oleh Widi Artanto dengan mengatakan bahwa bila keprihatinan sosial Gereja sebagai persekutuan hanya diwujudkan dalam bentuk karitatif dan reformatif, gereja yang “Option for the Poor” belum nampak dengan jelas. Oleh karena itu, perlu ditambah dengan pelayanan transfomatif. Buruh sebagai pihak yang lemah, menurut Artanto, membutuhkan sahabat–sahabat dan pendampingan dalam perjuangan mereka untuk memperoleh upah yang layak, sesuai dengan standar UMR.

Harapan mereka satu-satunya adalah Allah. Akan tetapi, berdoa saja tidak cukup. Mereka perlu kekuatan untuk berjuang, namun kekuatan itu tidak mereka miliki. Oleh karena itu, harapan dan kekuaan untuk berjuang akan mereka peroleh dari Allah melalui Gerejanya. Selanjutnya, Gereja-gereja di Indonesia sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia diharapkan untuk berpartisipasi penuh dalam usaha memecahkan masalah rendahnya upah buruh. Gereja sebagai persekutuan yang “Option for the Poor” jangan introvet, tetapi hendaknya ekstrovet untuk bekerja sama dengan pihak lain. Akan tetapi, yang pertama perlu dilakukan oleh Gereja adalah mulai dari dirinya sendiri.

Gereja harus berperan sebagai katalisator dalam usaha membarui dan mengembangkan pemahaman telogis tentang kemitraan buruh majikan. Gereja perlu menyadarkan para majikan untuk mambina relasi kasih dengan para buruhnya. Artinya, mereka memperlakukan buruh secara adil dengan memberikan upah kerja yang cukup (sesuai dengan UMR yang berlaku). Atau dengan kata lain, Gereja harus memiliki visi, di mana kaum buruh adalah mitra yang setara-sejajar dengan majikan dalam panggilan dan pelayanan gereja.

Prinsip etis majikan memperlakukan buruh secara lebih manusiawi dalam jangka panjang akan lebih membawa keuntungan ekonomis. Dengan demikian, pemihakan terhadap kepentingan kaum buruh, menurut J.B Banawiratma bukan saja merupakan imperatif imam, melainkan dalam jangka panjang akan juga lebih menguntungkan proses ekonomis yang lebih luas. Sikap Gereja dalam posisi ini harus tegas. Berpihak pada yang lemah, sambil melawan ketidakadilan dan mengundang para pelakunya untuk bertobat dan sadar diri. Selain itu, Gereja harus selalu siap untuk memikul “salib“.

Akhirnya, Gereja harus mau dan mampu memprakarsai, sambil menggelorakan dalam aksi nyata perjuangan Kristus untuk memerangi kemiskinan, penindasan dan ketertinggalan lainnya, yakni melalui kasih, pengorbanan dan kerelaan untuk menderita sebagai prajurit Kristus. Gereja di panggil untuk bertindak dalam keadilan dan perdamaian demi keutuhan ciptaan Allah di persada ini.

Penutup
Buruh dan majikan adalah sosok manusia yang diciptakan oleh Allah se gambar dengan–Nya. Oleh karena itu, buruh dan majikan adalah gambar Allah, citra Allah, atau Imago Dei. Eksistensi buruh-majikan adalah eksistensi yang saling melengkapi dan menyempurnakan (relasi kemitraan). Sebagai buruh dan majikan, masing-masing diberi tugas oleh Allah, dan juga mandat, untuk “merawat“ dan “berkuasa“ terhadap ciptaan lainnya demi keutuhan ciptaan Allah.

Sebagai manusia yang bekerja, buruh mempunyai hak untuk mendapatkan upah yang layak demi kemanusiaan. Oleh karena itu, pihak majikan harus senantiasa memperhatikan sistem pembayaraan upah yang telah ditentukan oleh pemerintah. Alkitab dengan tegas melarang seorang majikan membayar upah buruh di bawah standar minimal.

Menghadapi situasi demikian (upah buruh yang rendah), Gereja sebagai persekutuan harus memiliki sikap untuk selalu mengadakan pelayanan yang karitatif-reformatif-transformatif, agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang terjadi di lapangan.

Untuk memperjuangkan secara rasional dan murni “nasib“ buruh, maka perlu dibentuk organisasi buruh dalam suatu perusahaan oleh dan untuk buruh itu sendiri. Gereja juga harus mengadakan pembinaan kepada majikan dan buruh dalam keberadaan masing-masing. Pembinaan yang dimaksud adalah dalam posisi mereka sebagai majikan dan sebagai kaum buruh (bukan dalam status mereka sebagai warga Gereja/jemaat).

Akhirnya, semua berpulang kepada kaum buruh itu sendiri, sebab segala usaha harus dimulai dari diri sendiri. Oleh karena itu, berusaha dengan mendahulukan tanggung jawab dari pada hak adalah hal yang mulia dan patut untuk mendapat penghargaan. Kita semua DIPANGGIL UNTUK BERTINDAK.

Daftar Kepustakaan
Artanto, Widi. “Gereja, Buruh dan Majikan“. Makalah pada Pertemuan Raya Kesaksian dan Pelayanan GKI Jawa Tengah Baturraden, 22 November 1955.
Banawiratma, J.B; Sumartama dan Widyatmadja (Editor). Merawat dan Berbagi Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Banawiratma ,J.B. “Buruh Dalam Ajaran Sosial Katolik”. Makalah pada Diskusi Panel Buruh Dalam Perspektif Agama-agama Yogyakarta, 17 Mei 1995.
Biro Pelayanan Wanita PGI. Hasil-hasil Pelaksanan Konsultasi Nasional Pelayanan Gereja Bagi Tenaga Kerja Wanita di Indonesia. Jakarta: PGI, 1995.
Darmaputra, Eka. Etika Sederhana Untuk Semua: Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990.
Hartono, Chris. “Ihwal Bergereja di Indonesia“. Bina Darma, Edisi September 1995, Salatiga: Binawarga, 1995.
Jhony, I Wayan. Hak Asasi Kaum Pekerja. Skripsi Sarjana Teologi (S1) Pada Fakultas Teologi UKIT, Tomohon 1996.
Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Terjemahan Baru. Jakarta: LAI, 1993.
Schultheis; Deberri dan Henriot, P. Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja. Yogyakarta : Kanisius, 1991.
Wright, Christopher. Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.

Tulisan ini dengan judul “Dipanggil Untuk Bertindak: Refleksi Teologis Atas Sikap Gereja Terhadap Upah Dalam Relasi Buruh-Majikan“, pernah dimuat di Majalah Refleksi Yayasan INRI Solo, Nomor 03/XII/September 1997, hlm. 17-20.

Tidak ada komentar: