Senin, 24 Agustus 2009

Terorisme Ekologis, Pentingnya Etika dan Pendidikan Lingkungan

TERORISME EKOLOGIS,

PENTINGNYA ETIKA DAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN

Oleh: I Wayan Jhony


Abstract

Holocaust dan terorisme ekologis merupakan bentuk penggambaran dari kehidupan ekologis yang sedang menjauh meninggalkan Firdaus. Keduanya tidak saja menunjuk pada kerusakan struktur alam secara fisik, tetapi sekaligus juga hendak menjelaskan kerusakan alam pada struktur yang lebih dalam dan juga kompleks. Dalam hal ini termasuk “kerusakan mental”, “kerusakan sosial” dan “kerusakan spiritual” pada tingkat struktur yang lebih dalam.

Orang yang hanya mempunyai pengetahuan tentang bagaimana merawat alam, tetapi mengabaikan pengetahuan itu, demi mendahulukan hasrat dan kepentingannya adalah “teroris ekologi”. Alam ini tengah membutuhkan tindakan untuk meredam aneka krisis dan bencana ekologis. Dan di antara berbagai tindakan yang dapat dilakukan, etika dan pendidikan lingkungan mestinya menjadi sesuatu yang mendesak bagi siapapun yang mengasihi alam sebagai ibu.

Keywords: pengelolaan lingkungan, holocaust, terorisme ekologis, etika lingkungan, pendidikan lingkungan, teori etika, antroposentrisme, biosentrisme, ekosentrisme, deep ecology.


Pengantar

Kehidupan ekologis tempat manusia dan yang lainnya hidup sedang menjauhi Eden atau Firdaus. Holocaust barangkali, merupakan kata yang sedikit mampu mendeskripsikan gawatnya krisis ekologis saat ini. Manusia dengan daya nalarnya bergumul mencari tahu pelaku-pelaku kerusakan ekologis itu, namun jari telunjuk mereka akhirnya kembali pada diri mereka, seakan menjadi ”hakim” bagi dirirnya sendiri.1 Mencermati besarnya ancaman, krisis, ketakutan, dan horor ekologis hasil disain tangan manusia itu, maka tidaklah berlebihan untuk kemudian mengklasifikasikan perilaku-perilaku tersebut sebagai sebuah tindakan “terorisme” (dalam pengertian khusus), yakni “terorisme ekologis” (eco-terrorism).

Aneka krisis dan bencana ekologis buatan manusia berderet panjang melintasi batas-batas geografi dan demografi tanpa jeda. Illegal logging, illegal fishing, pengerukan tambang dan mineral, gempa bumi, global warming, banjir, longsor, kebakaran hutan dan sebagainya itu, menyerakkan bumi titipan Tuhan. Lolosnya para pelaku terorisme ekologis dari jeratan hukum dan lambannya tanggapan negara terhadap para korban bencana ekologis merupakan sepenggal bukti betapa rendahnya concern manusia terhadap holocaust ekologis atau terorisme ekologis itu.

Holocaust dan atau terorisme ekologis, buah karya spektakuler tangan manusia, semata-mata tidak dapat dilihat hanya sebagai kerusakan dan atau kehancuran pada struktur fisik dari alam dan lingkungan, tetapi sekaligus juga menjelaskan kerusakan pada struktur yang lebih “dalam” (deep structure) dan kompleks (complex disaster). Tidak hanya kerusakan tanah, sumber air, udara, rumah, lapisan ozon, jalan, tumbuhan dan atau komunitas biotis, tetapi lebih dari itu “kerusakan mental”, “kerusakan sosial”, dan “kerusakan spiritual” pada tingkat struktur yang lebih dalam.

Relevansi pemikiran untuk kemudian memberikan landasan filosofis-etis dan edukatif yang lebih kontekstual dan cocok semakin diperlukan untuk meredam aksi-aksi holocaust dan atau terorisme ekologis. Semuanya ini terfokus pada manusia, sebagai peletak dasar dari kehancuran ekologis itu, serta mencari kedudukannya dalam seluruh ekosistem yang menjadi lingkungan hidupnya. Olehnya, suatu etika dan pendidikan lingkungan yang mampu memberi penjelasan dan pertanggungjawaban rasional tentang nilai-nilai, asas dan norma-norma moral bagi sikap dan perilaku manusia terhadap alam lingkungan ini akan sulit didapatkan, tanpa melibatkan manusia.


Alam: Urgensi Etika dan Pendidikan Lingkungan

Terminologi bahasa Latin menyebutkan alam nan indah itu sebagai natura (dari kata kerja nascere yang artinya melahirkan). Alam dipersonifikasikan sebagai ibu yang memiliki kodrat untuk melahirkan. Fransiskus dari Asisi bahkan, dalam Il Canto delle Creature (nyanyian alam), menyapa alam sebagai La Madre Terra (ibu bumi yang memberi segala kelimpahan). Ouspenky (filsuf Rusia), juga menyebut alam sebagai organisme biotis, karena organ alam: udara (atmosfir), air (hidrosfir), tanah, mineral (geosfir), flora, fauna, manusia dan mikroba (dekomposer) menyerupai organ terpadu dari keseluruhan ekosistem bumi yang teratur.

Keseimbangan ekosistem mestinya dijaga. Di sinilah saya melihat urgensi peran etika ekologis atau etika lingkungan dan pendidikan lingkungan dijadikan sebagai asas moral dalam pengelolaan lingkungan. Inti etika dan pendidikan lingkungan adalah sikap bertanggungjawab yang maksimal terhadap lingkungan. Tujuan komprehensifnya adalah memelihara keseimbangan alam dan melestarikan keutuhan, keberlangsungan, kekayaan, dan keserasian ekosistem. Etika dan pendidikan lingkungan mengubah kedudukan serta peran manusia sebagai penakluk alam, menjadi anggota alam yang harus terus belajar-hidup saling berdampingan dalam suatu komunitas besar.


Kembali ke Nilai Intrinsik Alam

Meskipun manusia memiliki kehendak bebas terhadap alam, tetapi manusia semestinya menerima dan mengakui kenyataan bahwa dia tidak dapat membebaskan dirinya dari alam. Tragedi manusia terbesar adalah keberadaannya dalam dua kondisi sekaligus. Dia bebas, tetapi pada saat yang sama, dia terdeterminasi. Dalam hal tertentu dia melampaui alam dan menguasai alam, namun dalam arti tertentu pula, dia terikat dan dikondisikan oleh alam. Dewasa ini, hubungan manusia dengan alam telah retak. Dominasinya terhadap alam telah berbalik menjadi ancaman bagi dirinya sendiri. Ancaman ini meminta manusia untuk segera mengambil sikap baru terhadap alam: mengelola lingkungan secara arif dengan berpijak dari etika dan pendidikan lingkungan yang adalah asas moral dalam pengelolaan lingkungan.

Hal utama yang tentu harus dilakukan oleh manusia adalah merubah paradigma berpikir tentang pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Lingkungan hidup itu sendiri adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.

Tujuan perubahan paradigma sedemikian itu adalah penting, agar sikap dan perilaku manusia menjadi lebih arif dalam memberi makna atas alam. Karena itu, manusia harus mengembangkan konsepsi tentang alam yang mengagungkan dan menghormati alam, juga menganggap alam sebagai sesuatu yang sakral dan hidup. Dengan demikian, akan melahirkan sikap yang menghormati dan peduli terhadap lingkungan. Atas dasar itu, kesadaran terhadap pentingnya pengelolaan lingkungan harus terus tertanam dalam diri manusia.

Etika lingkungan menuntut agar etika dan moralitas tidak saja diberlakukan bagi komunitas biotis atau komunitas ekologis, tetapi juga bagi komunitas a-biotis. Dalam konteks ini, etika lingkungan merupakan refleksi kritis atas norma-norma dan prinsip atau nilai moral yang selama ini dikenal dalam komunitas manusia untuk diterapkan secara lebih luas dalam komunitas biotis dan juga komunitas a-biotis. Dalam perspektif etika lingkungan, manusia harus memperlakukan alam tidak semata-mata dalam kaitannya dengan kepentingan dan kebaikan manusia saja (ekstrinsik).

Oleh karena itu, manusia harus menumbuhkan adanya kesadaran formal dan pendidikan terhadap upaya-upaya pengelolaan lingkungan dengan memegang beberapa prinsip.2 Pertama, manusia harus bersikap hormat terhadap alam. Kedua, manusia harus mempunyai prinsip bertanggungjawab, yakni tanggung jawab terhadap lingkungan merupakan tanggung jawab manusia juga. Ketiga, manusia harus memiliki solidaritas kosmis. Keempat, manusia harus mengimplementasikan prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam. Kelima, harus memiliki prinsip no harm (tidak merugikan alam). Keenam, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam. Ketujuh, prinsip keadilan. Dalam arti adil tentang perilaku manusia terhadap alam. Kedelapan, prinsip demokrasi. Kesembilan, prinsip integritas moral.

Jadi, sudah saatnya, segala corak berpikir, tindakan dan perbuatan yang human oriented beralih kepada perspektif dan sikap yang nature oriented. Kembali ke alam (back to nature). Demikianlah cita-cita yang menjadi dambaan dan harapan bagi kita semua. Untuk hal ini, kita membutuhkan perubahan. Perubahan yang paling utama dan mendasar adalah perubahan sikap dasar di dalam diri manusia. Manusia pertama-tama perlu menyadari dirinya, bahwa dia adalah bagian dari alam, dan bukan sebaliknya. Sebagai bagian dari alam, manusia berpartisipasi dengan alam.

Manusia perlu menyadari bahwa dia turut mengambil bagian dalam seluruh sistem tata semesta dan melihat dirinya secara baru sebagai partner alam. Partner adalah orang yang senantiasa berada dan hidup berdampingan bersama. Di dalam partnership tidak ada sub-ordinasi. Alam memiliki nilai intrinsik di dalam dirinya. Nilai intrinsik yang paling hakiki adalah nilai kehidupan. Nilai ini tidak diberikan dari luar. Tidak ditambahkan atau dikurangi oleh siapapun. Pertama-tama, ia bernilai untuk dirinya sendiri (nilai intrinsik). Kedua, ia bernilai untuk yang lain (nilai ekstrinsik).


Teori Etika Lingkungan

Sonny A. Keraf mengatakan terdapat tiga model teori etika lingkungan, yakni yang disebutnya sebagai Shallow Environtmental Ethics, Intermediate Environtmental Ethics dan Deep Environtmental Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal dengan sebutan antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme.


Antroposentrisme (Shallow Environtmental Ethics)

Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat segala alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap adalah segala-galanya. Nilai tertinggi adalah kepentingan manusia (sehingga, sebenarnya kurang tepat kalau diistilahkan dengan antroposentrisme). Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia.

Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Maksudnya, dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan satu-satunya pusat pertimbangan, dan yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral. Akibatnya, secara teleologis, lingkungan diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies manusia, dan dihindari akibat buruk sebanyak mungkin bagi spesies itu.

Oleh karenanya, alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Pandangan antroposentris yang menekankan bahwa manusia sebagai subjek utama dunia dan harus mendapat prioritas dalam pemanfaatan lingkungan dan sumber daya. Perspektif ini melihat, proses pembangunan dan implikasi terhadap lingkungan dipandang sebagai satu keniscayaan, sejauh proses tersebut diperuntukkan bagi kesejahteraan manusia. Pandangan ini mewarnai dan menjiwai proses pembangunan yang eksploitatif selama ini. Sering pula digunakan sebagai alat justifikasi setiap keputusan pembangunan yang dilakukan manusia. Dalam banyak kasus, pandangan ini juga dipakai manusia untuk menjustifikasi motif dan tindakan serakahnya. Jelas ini berdampak pada kerusakan lingkungan.


Biosentrisme (Intermediate Environtmental Ethics)

Biosentrisme adalah suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri, lepas dari kepentingan manusia. Dengan demikian, biosentrisme menolak teori antroposentrisme yang menyatakan bahwa hanya manusialah yang memiliki nilai dalam dirinya.

Teori biosentrisme berpandangan bahwa makhluk hidup bukan hanya manusia. Ada banyak hal dan jenis makhluk yang memiliki kehidupan. Pandangan biosentrisme mendasarkan moralitas pada keseluruhan kehidupan, entah pada manusia atau pada makhluk hidup lainnya. Karena yang menjadi pusat perhatian dan ingin dibela dalam teori ini adalah kehidupan. Dengan demikian, secara moral berlaku prinsip bahwa setiap kehidupan di muka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan.


Ekosentrisme (Deep Environtmental Ethics)

Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Oleh karenanya teori ini sering disamakan begitu saja karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu pada penekanannya atas pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi pemberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas pemberlakuan etika untuk komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, konsep etika dibatasi pada komunitas yang hidup (biotis), seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika diperluas untuk komunitas ekosistem seluruhnya (biotis dan a-biotis).

Biosentrisme dan ekosentrisme, memandang manusia tidak hanya sebagai makhluk sosial (zoon politikon). Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk dan memandang manusia tak lebih dari salah satu bagian dalam jaringan kehidupan. Ekosentrisme tidak menempatkan seluruh unsur di alam ini dalam kedudukan yang hierarkis dan atau sub-ordinasi. Melainkan sebuah kesatuan organis yang saling bergantung satu sama lain.

Salah satu bentuk etika ekosentrisme ini adalah etika lingkungan yang sekarang ini dikenal sebagai deep ecology. Sebagai istilah, deep ecology pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, pada 1973, di mana prinsip moral yang dikembangkan adalah menyangkut seluruh komunitas ekologis.

Istilah deep ecology sendiri digunakan untuk menjelaskan kepedulian manusia terhadap lingkungannya. Kepedulian yang ditujukan dengan membuat pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendalam dan mendasar, ketika dia akan melakukan suatu tindakan. Kesadaran ekologis yang mendalam adalah kesadaran spiritual atau religius, karena ketika konsep tentang jiwa manusia dimengerti sebagai pola kesadaran di mana individu merasakan suatu rasa memiliki, dari rasa keberhubungan, kepada kosmos sebagai suatu keseluruhan, maka jelaslah bahwa kesadaran ekologis bersifat spiritual dalam esensinya yang terdalam. Oleh karena itu pandangan baru realitas yang didasarkan pada kesadaran ekologis yang mendalam konsisten dengan apa yang disebut filsafat abadi yang berasal dari tradisi-tradisi spiritual, baik spiritualitas para mistikus Kristen, Budhis atau filsafat dan kosmologis yang mendasari tradisi-tradisi Amerika Pribumi.

Ada dua hal yang sama sekali baru dalam deep ecology. Pertama, manusia dan kepentingannya bukan ukuran bagi segala sesuatu yang lain. Deep ecology memusatkan perhatian kepada seluruh spesies, termasuk spesies bukan manusia. Ia juga tidak memusatkan pada kepentingan jangka pendek, tetapi jangka panjang. Oleh karena itu, prinsip etis-moral yang dikembangkan deep ecology adalah menyangkut seluruh kepentingan komunitas ekologis.

Kedua, deep ecology dirancang sebagai etika praktis. Artinya, prinsip-prinsip moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkrit. Etika baru ini menyangkut suatu gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari sekedar sesuatu yang amat instrumental dan ekspansionis. Deep ecology merupakan gerakan nyata yang didasarkan pada perubahan paradigma secara revolusioner, yaitu perubahan cara pandang, nilai dan perilaku atau gaya hidup.

Perspektif deep ecology menekankan pada kepentingan dan kelestarian lingkungan alam. Pandangan ini berdasar etika dan pendidikan lingkungan yang kritikal dan mendudukkan lingkungan tidak saja sebagai objek moral, tetapi subjek moral. Sehingga harus diperlakukan sederajat dengan manusia. Pengakuan lingkungan sebagai moral subjek, membawa dampak penegakkan prinsip-prinsip keadilan dalam konteks hubungan antara manusia dan lingkungan sebagai sesama moral subjek. Termasuk di sini isu animal rights.3 Deep ecology memandang proses pembangunan harus sejak awal melihat implikasinya terhadap lingkungan. Karena setiap proses pembangunan akan melibatkan perubahan dan pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam.


Pentingnya Etika dan Pendidikan Lingkungan

Pembicaraan tentang etika dan pendidikan lingkungan sangat diperlukan mengingat kerusakan lingkungan hidup dan pola pendekatan yang membahayakan masa depan lingkungan dan manusia itu sendiri sudah semakin parah.4 Demikian juga sikap manusia terhadap lingkungan terkait dengan persoalan ekonomi, cenderung menggunakan pendekatan demi keuntungan pribadi atau kelompok dan jangka pendek dalam kehidupan.

Oleh karena itu, perlulah diketahui juga tanggung jawab terhadap lingkungan dalam hal keutuhan biosfir dan generasi yang akan datang. Semboyan etika dan pendidikan lingkungan adalah membangun yang tidak merusak ekosistem. Keraf misalnya menawarkan pendekatan etika alternatif yakni etika ekosentris tentu dengan mempertimbangkan kelebihannya daripada etika antroposentris dan etika biosentris. Etika ekosentris yang juga disebut deep ecology diyakininya sebagai pendekatan yang paling baik dalam mengatasi krisis lingkungan dewasa ini. Hal ini disebabkan karena etika ekosentris lebih berpihak pada lingkungan secara holistik. Cara demikian akan menjaga tetap bertahannya segala yang hidup dan yang tidak hidup sebagai bagian yang saling terkait dan saling menguntungkan. Bukan saja manusia, benda-benda di alam semesta juga memiliki tanggung jawab moralnya sendiri, oleh karena itu diperkirakan memiliki haknya sendiri juga.

Persoalan mendasar yang barangkali dapat menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana konsepsi Keraf berkaitan dengan etika dan pendidikan lingkungan dapat menjadi operasional. Jika segala benda dianggap memiliki hak dan kewajibannya, seperti manusia, bagaimanakah konsep hak itu sendiri? Menjadi kabur, tidak jelas batas-batasnya. Hal ini sebagai akibat dari hubungan yang tidak jelas dan tegas antara manusia dan makhluk ciptaan lainnya. Apakah manusia yang menyembelih binatang, misalnya, merupakan pelanggaran terhadap hak binatang itu? Bagaimana pula dengan pohon, batu dan seterusnya.

Di samping itu, dari segi kebudayaan, tampaknya pandangan Keraf itu mengembalikan pada hubungan yang tidak jelas antara subjek dan objek, antara aku dan engkau, yang berlaku dalam masyarakat primitif. Artinya, alam diperlakukan seperti manusia, tidak ada jarak di antara keduanya, sehingga membuka kembali ruang untuk praktek-praktek kebatinan lama, menyembah pohon, batu, dan sejenisnya.

Oleh karena itu, teori ekosentrisme dengan segala kelebihannya kiranya masih perlu mempertimbangkan homosentris agar tidak mengaburkan konsep hak, sebab pengelolaan lingkungan bukan berarti manusia menghormati hak makhluk lain untuk eksis, melainkan lebih kepada kewajiban dan tanggung jawab manusia demi kelestarian dirinya dan generasinya sebagai ciptaan Tuhan yang menjadi pemelihara bumi dan segala isinya.

Penutup

Cara berpikir antroposentris dalam berhadapan dengan alam tidak saja menempatkan manusia sebagai individu (res cogitans) dan sebagai “titik pusat” alam (res extensa), tetapi sekaligus “pusat” manusia-manusia lain. Sikap mementingkan diri, egosentrisme, dan insensitivitas sosial, tidak saja menggiring pada eksplorasi alam untuk kepentingan diri, dengan mengabaikan “hak alam” (right of nature), tetapi sekaligus “mengabaikan” hak manusia lain yang akan terkena dampaknya.

Sikap antroposentrisme yang menguasai cara pikir kolektif bangsa tidak memberi ruang untuk hidupnya cara berpikir holistik (holistic thinking), yang melaluinya dunia dilihat sebagai sebuah keseluruhan, keutuhan, dan kesalingberkaitan, yang di dalamnya bagian (each) dilihat saling bersentuhan dengan keseluruhan (whole), dan di antara keseluruhan tersebut, manusia tidak lagi menjadi “pusat dunia” atau penguasa alam, tetapi menjadi bagian “kehidupan bersama yang lain”, baik manusia-manusia lain dan alam.

Dalam cara berpikir holistik, keseluruhan (whole) menentukan bagian-bagian (parts), ketimbang bagian-bagian ”melalui sifat-sifat intrinsiknya” menentukan keseluruhan. Ketika seseorang (sebuah perusahaan) membakar hutan (tindakan individu), ia sudah menanamkan kesadaran dalam dirinya, tindakannya akan mempunyai efek kepada pihak lain (the others), sehingga menuntut sikap kehati-hatian, kecermatan, rasionalitas, tanggungjawab, dan etika sosial. Inilah logika sederhana cara berpikir holistik yang di dalamnya menyentuh deep ecology.

Namun, mengapa “etika sederhana” ini tidak pernah menjadi bagian inheren kehidupan sehari-hari (lebenswelt) bangsa, tidak mampu membentuk struktur dunia kehidupan sendiri? Dalam hal ini, “mengetahui” dan “menyadari” cara berpikir holistik (deep ecology) tidak akan ada artinya bila tidak didukung sikap mental, kemauan politik, tekanan sosial dan “paksaan hukum” untuk mewujudkan cara berpikir itu dalam tindakan sehari-hari.

Orang yang mempunyai pengetahuan (knowledge) bahwa tindakan merusak alam (termasuk membakar hutan) akan menimbulkan kerusakan ekosistem dan ketakutan manusia, tetapi mengabaikan pengetahuan itu, demi mendahulukan hasrat, kekuasaan (power) dan kepentingannya adalah “teroris ekologi” yang sebenarnya. Sehingga, tugas berat etikawan dan seluruh komponen semesta ini tidak hanya memerangi terorisme politik, terorisme ekonomi, tetapi juga terorisme ekologis, eco-terrorism. Bumi sedang membutuhkan ”pertobatan ekologis” untuk sebuah keadilan ekologi.


Daftar Pustaka

Abdul Irsan. Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi. Jakarta: Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu, 2007.

Andalas, Mutiara. “Ekoteologi: Menebus Firdaus Dari Holocaust”. Majalah Basis Nomor 03-04, Tahun ke-57, Maret-April 2008

Borrong, Robert. Etika Bumi Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.

Buntaran, Freddy. Saudari Bumi Saudara Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997.

Brundtland, Gro, Harlem, et al. Hari Depan Kita Bersama. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 1987

Chang, William. Bioetika. Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009.

Kaligis, J.R.E; Kiswoyo, Samidjo B dan Miarsyah, Mieke. Pendidikan Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, 2007.

Keraf, Sonny A. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.

Sunarka, A dan Kristiyanto, A. Eddy (editor). Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi. Tinjauan Teologis Atas Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008.

Umbas, Michael F. Sarundajang di Balik World Ocean Conference 2009. Manado: CV. Minahasa Karsa Aksara MIKA Publishing, 2009.

Ward, Barbara & Dubos, Rene. Hanya Satu Bumi. Perawatan dan Pemeliharaan Sebuah Planit Kecil. Jakarta: P.T. Gramedia, 1974.


Sumber Internet

http://komunitaembunpagi.blogspot.com/2008/11/etika-lingkungan-sony-keraf.html (diakses 4 Januari 2009).

http://walhijabar.blogspot.com/2008/01/pemberdayaan-masyarakat-dalam.html (diakses 4 Januari 2009).

http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/4/25/o2.htm (diakses 5 Januari 2009)

http://ansel-boto.blogspot.com/2008/06/etika-ekologi-yang-biosentris.html (diakses 6 Januari 2009).

http://www.iwayanjhony.blogspot.com/2009/08/etika-lingkungan-sebagai-asas-moral.html (diakses 8 Agustus 2009).

http://docs.google.com/View?id=dccn4g6t_0d6hhpffs (diakses 12 Agustus 2009).




1Lihat misalnya Mutiara Andalas. “Ekoteologi: Menebus Firdaus Dari Holocaust”. Majalah Basis Nomor 03-04, Tahun ke-57, Maret-April 2008, hlm. 59

2Lihat A. Sonny Keraf. Etika Lingkungan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hlm. 143-160

3Lihat di antaranya Michael F. Umbas. Sarundajang di Balik World Ocean Conference 2009 (Manado: CV. Minahasa Karsa Aksara - MIKA Publishing, 2009), hlm. 115-121

4Lihat William Chang. Bioetika. Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009), hlm. 164-167. Lihat juga Freddy Numberi “Panggilan Penyelamatan Bumi” Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dalam Umbas. Ibid. hlm. xxiv-xxviii

Tidak ada komentar: