Minggu, 02 Agustus 2009

SEKULARISASI VIRUS BERWAJAH GANDA, WASPADALAH!

SEKULARISASI VIRUS BERWAJAH GANDA, WASPADALAH![1]

Oleh: I Wayan Jhony

Pendahuluan
Sejak pertengahan abad 20 ada dua gejala sosial-budaya yang dominan muncul ke “dapur” wacana publik. Dua gejala ini nampaknya kontradiktif (= bertentangan) tetapi merupakan produk cultur (= budaya) yang sama, yakni globalisasi (bahkan juga modernisasi dan postmodernisasi).

Gejala pertama adalah suatu fenomen transisi secara global dari menghormati Allah serta kerajaan-Nya ke pola hidup yang menjauhi atau menyangkal eksistensi Allah dan kerajaan-Nya. Sementara pakar menyebut fenomen demikian sekularisasi (prosesnya)[2] dan sekularisme (pahamnya).[3] Antara proses (sasi) dan paham (isme) kadang-kadang sulit untuk dipisahkan namun lebih baik tetap dibedakan.

Sedang gejala kedua adalah suatu sikap responsif masyarakat (agama) terhadap paham sekuler di atas. Sementara pakar menyebut fenomen demikian ini fundamentalisme (oleh karena porsi materi ini berbicara tentang sekularisasi dan sekularisme, maka fundamentalisme tidak akan dibahas di sini). Keduanya (sekularisme dan fundamentalisme), bagaimanapun, merupakan suatu impact perjumpaan antar kebudayaan dalam komunitas global, baik yang belum maupun sudah sangat sekuler.

Masyarakat yang tadinya homogen kini diancam oleh kekuatan revolusioner yang disebut sekularisme. Ironisnya, sekularisme menjadi semacam “agama” dengan ber-tuhan-kan hal-hal jasmani sembari menolak hal-hal rohani. Masyarakat agama yang tadinya terikat oleh kesatuan sosial-budaya, direkatkan dalam ikatan kasih persaudaraan yang murni, kini memasuki suatu perjumpaan dengan kesatuan sosial-budaya yang dominan bebas.

Perjumpaan ini tidak terelakkan, baik secara lokal maupun global, antar dan inter ciptaan. Akibatnya, “perekat sosial budaya” yang telah lama mengikat kesatuan sosial masyarakat dalam ikatan kasih Kristus dengan sendirinya mengalami ketegangan (tension) yang mengarah kepada krisis, krisis yang bermuara pada ke-murtad-an total. Oleh karena itu, “monster raksasa” yang disebut sekularisasi dan sekularisme yang juga disatu pihak merupakan kesempatan patut ditelaah secara kritis. Bila tidak, paham ini akan menjadi virus beracun yang siap meracuni pola persekutuan gereja.

Membidik Kondisi Umum Negara Sekuler
Sekularisme adalah paham dalam budaya yang sangat menghargai pola hidup dunia secara berlebihan dengan segala kenikmatan dan kebebasannya sembari menjauhi Allah dan gereja-Nya. Akibat penghargaan yang berlebihan terhadap soal-soal duniawi itu, maka banyak orang (termasuk orang Kristen) tidak lagi merasa perlu beribadah kepada Allah melainkan kepada “dirinya sendiri” dan menganggap dirinya atau dunia ini sebagai “allah kecil”. Sehingga banyak orang Kristen dengan mudah dapat menolak segala sesuatu yang sesungguhnya harus diterima dengan iman kepada Allah.

Berkaitan dengan penolakan tersebut, Proffesor Harold A. Netland dari Trinity Divinity School Amerika Serikat mengatakan bahwa sumber kepercayaan manusia sekarang ini ada dalam pribadinya tanpa ada pengaruh luar atau yang disebut faktor X. Itu berarti dunia nyata, hanya dapat dialami oleh panca indera manusia yang disebut kebenaran umum. Kebenaran umum pun hanya dapat dibuktikan via rumus-rumus dan peraturan ilmu pasti. Karena iman kepada Allah tidak dapat dibuktikan oleh panca indera manusia, maka Netland menyimpulkan bahwa iman kepada Allah bukanlah kebenaran umum. Iman hanyalah semacam pendapat pribadi yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan karena itu, orang merasa tidak perlu beriman kepada Allah apalagi harus terikat pada aturan agama.

Dalam konteks Eropa misalnya, telah terjadi ketegangan antara dogma agama dengan ilmu pengetahuan yang menyebabkan kelumpuhan nilai-nilai kekristenan. Bila dulu kawasan Eropa dikenal sebagai “benua Nasrani” kini sudah tidak lagi, karena 60% warganya mulai atau bahkan sudah tidak pernah beribadah. [4] Di Nederland (tepatnya Amsterdam) 200 tahun lalu penduduknya 99% Kristen, tapi sekarang tinggal 10% yang dibaptis dan pergi ke gereja. Kebanyakan mereka tidak terikat lagi dengan suatu agama (tepatnya, sudah jadi sekuler). Di Eropa Timur sejak komunis runtuh, hanya orang-orang tua yang beribadah.

Di Jerman, juga telah terjadi kemerosotan jumlah orang Kristen beribadah dan membaca Alkitab sekitar 57%.[5] Di Finlandia, penduduknya 97% Kristen tapi yang ibadah 3%. Dua pertiga warga gereja tidak pernah baca Alkitab dan hanya 25% yang masih berdoa. Para pelajar di lembaga-lembaga pendidikan Kristen pun kini sudah tidak punya kewajiban untuk menerima pelajaran agama Kristen. Para pelajar sepenuhnya diberi hak bebas untuk memilih kepercayaan sendiri, beragama atau juga hak untuk tidak beragama.

Gereja Protestan di Baden (Jerman) dan Sekularisme
Gereja-gereja di Jerman tidak hanya menghadapi sekularisme modern, melainkan juga kebangkitan agama-agama sebagai gejala masyarakat pasca modern dengan segala bentuk yang dalam perkembangannya berjalan bersama. Kondisi ini antara lain disebabkan karena masyarakat Eropa semakin jenuh dengan teknologi yang modern dan canggih, yang tidak bisa memenuhi kebutuhan rohani (“spiritual”) mereka. Sehingga akhirnya masyarakat pasca modern berbalik kepada agama dan mencari lembaga agama untuk melayani kebutuhan rohani mereka, jadi bukan agama yang mengarahkan mereka.

Mengutip pendapat sosiolog Jerman bernama Max Weber, lembaga-lembaga masyarakat di Eropa semakin memisahkan diri dari gereja dan menjadi semakin otonom. Sehingga akhirnya gereja hanya relevan bagi kehidupan pribadi saja. Karena gereja kurang relevan, maka warganya menjadi semakin kurang aktif. Tapi kita harus hati-hati supaya dalam upaya melawan “anak haram” itu jangan sampai malah “membunuh ibunya”. Maksudnya, jangan sampai begitu berkobar-kobar melawan sekularisme sampai mengorbankan kemerdekaan orang Kristen dan jatuh ke dalam fundamentalisme, fanatisme dan legalisme.

Gereja Protestan di Baden tidak hanya menghadapi sekularisme sebagai “musuh” di luar, melainkan mengalami banyak pengaruh dari sekularisasi dan sekularisme tersebut. Seperti gereja-gereja lain di Eropa, Gereja Baden mengalami kemerosotan baik dari segi jumlah warga maupun dari segi keaktifan warga tersebut.

Dalam kebaktian minggu dan dalam acara gerejawi lain, pendeta-pendetanya harus senantiasa menyadari bahwa dasar pengetahuan tentang iman Kristen di antara banyak warga jemaat sudah menjadi tipis sekali, sehingga khotbah dan katekisasi harus mulai dari hal yang sederhana sekali.

Jika sebagian besar warga gereja menganggap seks sebelum menikah, pasangan yang hidup bersama tanpa menikah dan pasangan homoseks, lesbi sebagai hal yang biasa, maka gereja di Baden Jerman tidak bisa setegas gereja-gereja di Indonesia terhadap masalah-masalah itu. Kalau misalnya suatu pasangan sudah bertahun-tahun tinggal bersama (tanpa menikah) lalu minta diberkati di gereja, pendeta tidak bisa menegurnya, melainkan malah harus bersyukur bahwa mereka akhirnya mau menikah.

Mencermati kondisi demikian maka Gereja Protestan di Baden mengantisipasi sekularisme dan kebangkitan agama-agama dengan sangat serius. Sekularisme-lah yang membuka mata banyak gereja di Eropa untuk menerima penginjilan kembali. Karena yang beragama Kristen belum tentu beriman Kristen pula.

Berdasar hal itulah maka Gereja Protestan di Baden memiliki begitu banyak program penginjilan. Diantaranya, Lembaga Penginjilan Rakyat (Volksmissionarisches Amt), Akademi Kristen (Evangelische Akademie), Pelayanan Radio Kristen (Evangelischer Rundfunkdiest) dan Permulaan Baru (Neuanfangen), sebuah metode penginjilan lewat telepon

Gereja Indonesia di Konteks Pergaulan Global Yang Sekularis
Kini oleh arus globalisasi dalam bidang komunikasi massa (literatur dan audio visual) kaum Nasrani bukan saja berjumpa dalam kesatuan sosial di locus-nya, melainkan berjumpa juga dengan komunitas negara-bangsa (nation-state). Perjumpaan ini bukan saja terjadi secara fisik (dengan berjumpa langsung), melainkan juga perjumpaan melalui ide dan nilai-nilai lewat media massa, mulai dari media cetak tradisionil sampai pada media elektronik modern (termasuk internet).

Film porno (via VCD dan sejenisnya) yang beredar secara ilegal, tayangan yang disisipi filsafat kosong yang dominan bebas merasuk ke ruang elektronik kita, novel-novel yang merusak dan mengubah identitas, bahkan buku-buku ilmu pengetahuan yang kerapkali menyerang iman Kristen, merupakan instrumen globalisasi informasi yang bisa menggeser posisi Alkitab sebagai kumpulan Firman Allah.

Fenomen ini menyatakan bahwa manusia sekarang (termasuk warga gereja) memasuki suatu pergaulan dengan masyarakat global majemuk yang berkarakter “gado-gado”. Indikasi ini bila tidak dikaji dengan kritis di bawah otoritas Ilahi sangat mudah membawa paham sekuler tertutup yang sama sekali menyangkal keberadaan Allah. Batas-batas persekutuan dan pergaulan warga gereja dalam suatu locus kehidupan menjadi kian melemah seiring dengan adanya kesadaran global dalam diri warga gereja bahwa ia juga telah menjadi satu bagian dengan komunitas dunia.

Sesungguhnya kesadaran seperti itu tidak menjadi masalah jika disikapi secara arif dan kritis, tahu membedakan mana yang buruk dan mana yang punya nilai baik. Oleh sebab itu bila warga gereja tidak serius bergulat sebagai “ecclesia-militans” maka diperkirakan akan terjadi kelumpuhan iman Kristen. Artinya, jika pengaruh iman terhadap kebudayaan global semakin berkurang sedangkan pengaruh kebudayaan global terhadap iman Kristen bertambah maka perkiraan di atas, cepat atau lambat akan menjadi kenyataan (munculnya gaya hidup hedonis, mamonis, individualis, spiritualis, okultis, tetapi juga rentan fundamentalis yang sektarian). Inilah ancaman serius dalam pola persekutuan Kristiana dan Kristiani abad baru yang patut dikritisi oleh berbagai kalangan, termasuk pelayan gereja sendiri.

Ke Manakah Arah Gereja-Gereja di Indonesia?
Melihat kondisi Indonesia yang notabene heterogen (= majemuk) sangatlah rumit untuk menunjuk ke mana arah gereja di Indonesia. Alasan mendasar adalah kondisi masyarakatnya yang sebagian masih hidup dalam agama pra-modern, sebagian sudah mengalami sekularisasi modern, sebagian lagi mengalami kebangkitan agama-agama pasca-modern.

Sesungguhnya tidak ada resep paten atau obat mujarab untuk mengatasi sekularisme di Eropa apalagi untuk mengantisipasinya di Indonesia. Namun beberapa saran sederhana bagaimana gereja-gereja di Indonesia termasuk GMIM dapat mengantisipasi sekularisme.

Dalam arti tertentu, umat Kristiani di Indonesia justru mengharapkan agar masyarakat Indonesia akan semakin jenuh dengan fanatisme agama dan dengan dominasi agama tertentu, seperti masyarakat Eropa menjadi jenuh mulai abad ke-17. Namun, gereja-gereja di Indonesia perlu berupaya agar kejenuhan itu tidak menuju ke sekularisme, melainkan mengakibatkan ‘kebangkitan Pancasila’ sebagai jalan keluar yang khas Indonesia. Kalau pada tahun 1984 gereja-gereja di Indonesia ‘setengah terpaksa’ menerima Pancasila (versi orba) sebagai azas berbangsa dan bernegara, sekarang gereja-gereja menjadi pihak pertama yang diharapkan mampu mempertahankan Pancasila (versi reformasi).

Melalui perkembangan sekularisme, gereja-gereja (dan umat beragama lain) di Indonesia tidak bisa lagi menganggap setiap orang beragama sebagai orang beriman pula, melainkan harus membedakan antara warga yang tercatat sebagai anggota salah satu umat beragama dengan orang yang betul-betul beriman. Itu tidak berarti kita menilai iman seseorang, tetapi paling tidak kita harus sadar bahwa sebagian dari anggota umat beragama ada yang tidak atau kurang beriman atau setidak-tidaknya kurang merelevansikan iman itu dalam kehidupan mereka.

Untuk mendaratkan pelayanan kepada warga gereja yang semakin sekuler, gereja-gereja di Indonesia harus semakin berfikir untuk memakai pendekatan dan metode baru (berfikir ‘kreatif’). Gereja-gereja ‘arus utama’/anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia harus siap ‘bersaing’ dengan gereja-gereja kharismatik dan dengan umat beragama lain dengan memakai cara yang wajar.

Demikian juga tata susila yang berlaku sejak dulu (etika tradisional) harus dipertanggungjawabkan secara baru, nilai-nilai yang baru (seperti emansipasi wanita, pelestarian lingkungan hidup, dll) harus dikembangkan oleh gereja.

Sampai batas tertentu, gereja-gereja harus menyesuaikan diri dengan sikap warganya di kota yang semakin suka menyendiri (individualistis). Maka persekutuan dan kelompok kecil akan lebih berhasil daripada kumpulan besar-besaran.

Demikian juga kesaksian pribadi akan lebih berhasil daripada pelayanan lembaga gereja. Oleh sebab itu warga gereja harus dibina agar bisa bersaksi dengan baik. Dan dari segi lain, Gereja harus tetap terjun ke masyarakat dan ke dunia politik dengan cara yang bisa diterima dan malah bekerjasama dengan kelompok masyarakat lain, agar gereja jangan hanya relevan untuk kehidupan pribadi saja. Dengan demikian sekularisasi modern (serta kebangkitan agama pasca-modern) malah bisa menjadi peluang (berkat) untuk gereja.

Kembali Ke Alkitab
Warga gereja (sekarang ini) hadir bukan dalam ruang hampa melainkan di tengah kondisi dunia yang sarat perkembangan dengan kekuatannya yang revolusioner. Oleh karena itu gereja melalui program pelayanannya ditantang mau dan mampu memandang realitas sekularisasi, sekularisme dan aliran yang ada di sekitarnya sebagai tempat untuk bertindak, agar gereja tetap eksis dan enjoy dalam benteng Firman Allah. Sebab gereja tidak beriman karena mempertahankan diri secara introvert dan eksklusif dari sekularisme (dan isme-isme lain) melainkan iman yang “militan” dengan buah banyak bernuansa kemerdekaan. Karena itu kembali ke ajaran Alkitab tetap merupakan solusi terbaik. Tokoh-tokoh Alkitab (seperti Daniel, Yusuf dan lain-lainnya) patut diteladani tanpa harus terpaku pada pengalaman hidup mereka yang juga negatif di satu sisi.

Pelayanan dari, oleh dan untuk warga gereja, jangan hanya dibatasi oleh tembok-tembok formalitas dan institusional tetapi juga menyentuh sampai ke kehidupan konkrit mereka dalam keluarga dan fungsi-fungsi mereka setiap hari secara “come structure” dan “go structure”. Serta tidak melihat gereja sebagai sebuah “restoran” yang apabila menunya sesuai selera dipuji dan disanjung tetapi jika tidak, gereja dimaki dan ditinggalkan.

Penutup
Sekalipun sekularisasi, sekularisme dan fundamentalisme muncul di tengah dunia kekristenan, namun hal tersebut kini menjadi ancaman serius bagi seluruh agama. Juga dengan perkembangan media komunikasi (literatur dan audio visual) sekularisasi, sekularisme dan aliran lainnya dapat mewabah ke seluruh dunia, termasuk Indonesia yang di dalamnya locus pelayanan Jemaat GMIM “Ekklesia” Wengkol Wilayah Tondano Satu.

Uraian-uraian di atas menyadarkan, bahwa warga gereja sedang mengalami suatu kehidupan bersama di dunia yang satu, di mana yang sekuler dan sakral, yang jasmani dan rohani bertemu. Hal ini serta merta turut mencipta suatu kehidupan sosial yang sekularis.

Mampukah warga gereja tidak terkontaminasi oleh virus sekularisme dan isme-isme yang lainnya? Jawabannya tegas: pasti mampu jika warga gereja menjaga bentuk persekutuan dan pergaulannya sesuai dengan Firman Allah. Oleh karena itu, waspadalah, karena salah mengelola, maka peluang yang di bawa sekularisasi, akan menjadi virus beracun yang membahayakan pertumbuhan iman.

CATATAN
[1]Dalam judul “Sekularisme, Tantangan Pelayanan GPID Abad 21” tulisan ini pernah dimuat dalam Buletin Empati Edisi 1/Tahun I/Januari-Maret 2000 halaman 7-9 dan Empati Edisi 2-3/Tahun I/2000 halaman 28-30 sesuai hasil reportase saya terhadap seminar “Pemuda Gereja Versus Sekularisme” dalam rangka HUT XXXV GPID bersinode 4 April 2000 oleh Pdt. Dr. Christian Gossweiller (Pendeta Gereja Protestan di Baden Jerman). Juga dengan judul “Sekularisme dan Aliran-Aliran di Sekitar Gereja” saya bawakan pada Pembinaan dan Pembenahan Pelayanan Kategorial Jemaat GPID “Pniel” Palu di Bukit Doa “Karmel”, Minggu, 12 November 2000. Bahan-bahan tersebut saya olah kembali menjadi bahan untuk konven Pelayan-Pelayan Khusus seri-3 di Jemaat GMIM “Ekklesia” Wengkol Wilayah Tondano Satu, Rabu, 2 April 2003.
[2]Dalam arti luas dipakai untuk menyebutkan suatu proses di mana gereja semakin ditinggal oleh anggotanya dan pengaruh gereja di masyarakat semakin merosot. Jadi sekularisasi dipakai untuk menyebutkan suatu perkembangan dalam masyarakat yang diamati saja dan sulit dikendalikan.
[3]Sikap yang sengaja dipilih oleh seseorang dengan menjauhkan diri dari gereja dan menyangkal otoritas Ilahi.
[4]Interview saya dengan Virgil P. Cruze, Proffesor pada Louisville Presbyterian Theological Seminary, Juli 1998 di Tomohon.
[5]Berdasarkan hasil Survey Institute for Public Opinion Research Allensbach, Tahun 1997.

Tidak ada komentar: