Sabtu, 01 Agustus 2009

BERIBADAH DALAM BINGKAI LITURGIS GEREJA

BERIBADAH DALAM BINGKAI LITURGIS GEREJA
Beberapa Catatan Sekitar Liturgika dan Homiletika

Oleh: I Wayan Jhony

Pada prinsipnya ibadah adalah hakikat kesaksian (marturia), pelayanan (diakonia) dan persekutuan (koinonia) secara full time dari orang-orang percaya di manapun dalam segala waktu. Oleh karena itu, tepatlah kiranya ungkapan “tiada hari tanpa ibadah”, apalagi pada hari Tuhan (Minggu berasal dari kata Portugis Dominggo = hari Tuhan).

Globalisasi Ibadah
Ibadah orang-orang percaya, ternyata tidak saja melampaui waktu (Senin sampai Minggu), tetapi juga melampaui ruang, dan karena itu, ibadah tidak terbatas di gedung-gedung gereja, melainkan juga di instansi-instansi, di rumah-rumah, di toko-toko, di hotel-hotel, di lapangan-lapangan, di kebun-kebun dan bahkan di lingkungan-lingkungan pendidikan.

Ibadah orang percaya, ternyata juga melampaui situasi dan suasana. Karena itu, ibadah orang percaya tidak hanya terbatas pada situasi suka, tetapi juga ketika berdukacita. Tidak hanya itu, ibadah-ibadah orang percaya, ternyata juga melampaui ras, golongan, status sosial dan jenis kelamin, dan karena itu, ibadah tidak dibatasi hanya untuk ras tertentu, golongan tertentu, status sosial tertentu, apalagi jenis kelamin tertentu.

Ibadah
Secara sederhana, ibadah adalah kegiatan penyembahan orang-orang percaya kepada Tuhan Allahnya (worship), yang tidak dapat dibatasi oleh waktu, ruang, suasana dan atribut-atribut sosial apapun, dan karena itu, ibadah selalu bersifat universal. Meskipun ibadah merupakan kegiatan penyembahan yang insani kepada yang Ilahi, tetapi hendaknya disadari bahwa, orang-orang percaya bukanlah pihak pemrakarsa. Pemrakarsa ibadah adalah Allah. Orang-orang percaya diundang oleh Allah.

Allah yang memanggil, maka orang percaya datang sebagai tamu undangan, menanggapi panggilan dan undangan Allah. Orang percaya harus secara aktif dan kreatif menanggapi panggilan Allah (Lihat misalnya KJ. 33 “Suara-Mu Kudengar”, KJ 144 “Suara Yesus Kudengar”, KJ. 353 “Sungguh Lembut Tuhan Yesus Memanggil”, KJ. 354 “Dengan Lembut Tuhanku”, KJ. 355 “Yesus Memanggil”, KJ. 358 “Semua Yang Letih Lesu”, NKB. 125 “Kudengar Panggilan Tuhan”, DSL. 118 “Tuhan Datang Padamu”).

Kaidah Ibadah
Ibadah berbeda dengan acara seremonial lainnya. Ia berbeda karena, selain hakikatnya berbeda dengan upacara sekuler (protokol-protokolan), ibadah juga berkaitan dengan kaidah atau aturan, sehingga dalam ibadah ada liturgi atau tata ibadah. Fungsi tata ibadah adalah mempersiapkan ibadah agar dapat berjalan dalam keteduhan dan keteraturan, seperti kata Rasul Paulus, ibadah “harus berlangsung dengan sopan dan teratur” (1 Korintus 14:40).

Trilogi Kaidah Ibadah
Andar Ismail[1] menyebutkan 3 (tiga) kaidah sebuah ibadah: (1) keutuhan, (2) timbal-balik, dan (3) keseimbangan. Dalam kaidah keutuhan, diawalnya termuat undangan dari pihak Allah dan sekaligus kedatangan pihak orang percaya: tahbisan/votum, salam, introitus, pengakuan dosa, pemberitaan anugerah Allah, petunjuk hidup baru. Pada bagian berikut tata ibadah dimuat sapaan Allah: pembacaan Alkitab. Sedangkan bagian akhir tata ibadah dimuatlah tanggapan orang percaya terhadap sapaan Allah: pengakuan iman, persembahan, doa syafaat, pengutusan dan berkat.

Dalam kaidah timbal-balik, acara ibadah tersusun dengan irama gilir-ganti atau anti-phone. Selanjutnya dalam kaidah keseimbangan, artinya tidak ada pihak ataupun unsur yang mendominasi (misalnya doa jangan berkepanjangan atau khotbah jangan sampai mendominasi panjangnya ibadah).

Nyanyian Orang Percaya
Berkaitan dengan nyanyian orang percaya (umat) dalam ibadah, Ismail[2] menjelaskan, hendaknya diperhatikan kategori yang sepadan atau sifat-sifat khas dari nyanyian umat. Pada bagian introitus lagu hendaknya bersifat invokatif dan doksologi. Nyanyian pada pelayanan sabda bersifat proklamatif dan menerompetkan karya Allah dalam sejarah. Sedangkan lagu pada bagian pengutusan bersifat komitmen atas perjanjian baik dari pihak umat atau dari pihak Allah. Dan di atas semua sifat tersebut, hendaknya diperhatikan juga faktor tahun gereja.

Epiklese dan Pembacaan Alkitab
Membaca Alkitab adalah dalam rangka untuk mendengar pesan-pesan dari Allah. Pembaca memerlukan keteduhan dan kesiapan untuk mendengarkan pesan tersebut. Meneduhkan diri inilah yang dikandung jika pembaca berdoa sebelum membaca Alkitab. Doa itu disebut epiklese (Yunani: epikaleo = seruan). Contoh epiklese adalah ungkapan Samuel dalam 1 Samuel 3:10 “Berbicaralah, Tuhan, sebab hamba-Mu mendengar”. Epiklese mengantar pembaca agar ketika Alkitab dibaca, pesan Allah keluar dari ayat-ayat itu (teks ke konteks) dan bukan sebaliknya, pendapat kita masuk ke dalam ayat-ayat itu (konteks ke teks).

Khotbah
Memberitakan Firman Allah bukanlah sekedar pilihan antara suka atau tidak suka. Sebab suka atau tidak suka sekalipun, memberitakan Firman Allah adalah tugas dan sekaligus hakikat orang-orang percaya, di manapun dan kapanpun juga.

Rasul Paulus mengatakan: “Beritakanlah Firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran. Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng. Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita, lakukanlah pekerjaan pemberita Injil dan tunaikanlah tugas pelayananmu!” (2 Timotius 4:2-5).

Khotbah yang baik, pertama-tama adalah khotbah yang dipersiapkan dengan baik dan disampaikan juga dengan baik (tidak loyo, tidak bertele-tele, suara dan mimik jelas, kreatif dan komunikatif, tidak kaku bagaikan robot). Khotbah yang baik adalah khotbah yang memiliki sasaran yang jelas (relevan, siapa pendengar?, apa kebutuhannya?, trend/kecenderungannya apa?, konteksnya bagaimana?, mengenal bahwa tiap konteks berbeda).

Khotbah yang baik, tidak saja disampaikan dengan jelas dan ada sasaran, tetapi khotbah juga harus mempunyai isi yang jelas dan tegas (Allah yang diberitakan, bukan semata-mata pribadi pengkhotbah – orang percaya hanyalah alat, bahasa sederhana mudah ditangkap).

Sebelum berkhotbah, bacalah kembali perikop pembacaan Alkitab yang ditawarkan. Tidak ada penampilan yang maksimal, tanpa persiapan diri yang juga maksimal. Karena itu, hindarilah penampilan (berkhotbah) tanpa persiapan yang baik. Hindarilah pula berkhotbah tanpa penguasaan isi perikop.

Khotbah sebenarnya merupakan hasil pengolahan atas suatu perikop Firman Allah yang tertulis dalam Alkitab. Oleh karena itu, dengan alasan dan situasi apapun, khotbah tidak akan pernah berubah hakikatnya menjadi Firman Allah. Firman Allah adalah Firman Allah, sedangkan khotbah hanyalah salah satu alat supaya Firman Allah diberitakan.

Pengakuan Iman (credo)
Mengaku iman artinya menerima dan memutuskan untuk percaya kepada Allah (seperti halnya Abram dalam Kejadian 12:1-9). Pengakuan iman diikrarkan dalam ibadah jemaat (universal – am), tetapi sekaligus bersifat pribadi (bukan “kami percaya”, melainkan “aku percaya”). Sedangkan mengenai sikap tidaklah dengan menutup mata, sebab pengakuan iman bukanlah rumusan doa.

Persembahan
Wujud persembahan orang-orang percaya adalah memberi, karena Allah terlebih dahulu sudah memberi. Bahkan Tuhan Yesus mengajarkan untuk memberi dari kekurangan, seperti halnya janda miskin menurut cerita Markus 12:41-44. Memberi persembahan bukanlah pancingan, bukanlah deposit orang percaya yang daripadanya akan menjadi simpanan berbunga seperti halnya di bank.

Pengutusan dan Berkat
Pengutusan dan berkat, keduanya sekaligus menjadi akta terakhir dari liturgis gereja. Artinya, secara formal ibadah memang akan berakhir, tetapi ibadah keseharian justru baru akan dimulai. Dengan kata lain, ibadah sesungguhnya bukan saja berwujud dalam berhimpunnya orang-orang percaya satu dua jam, melainkan meliputi seluruh bakti dan karya hidup orang percaya. Kesiapan inilah yang melahirkan berkat.

Berkat (benediksi) berfungsi sebagai proklamasi, sekaligus penegasan janji bahwa Allah bersedia menyertai orang-orang percaya bukan saja dalam bakti (ketika berhimpun), tetapi juga ketika bersaksi (saat menyebar dalam rutinitas harian). Inilah dimensi misi 24 jam, misi hidup orang percaya, seperti halnya dimaksud oleh Rasul Paulus dalam Roma 12:1.

Akhirnya, selamat memberitakan perbuatan-perbuatan besar Allah, sebab bagaimana dunia mendengar tentang Allah dalam Yesus, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Karena itu, beritakanlah Firman Allah supaya dunia tidak saja mendengar, tetapi juga diselamatkan. Selamat berhari jadi. Viva Remaja “Ekklesia”. Pakatuan wo Pakalawiren.


Kepustakaan
Darmaputera, Eka. Iman Dalam Kehidupan. Yogyakarta: Kairos Books, 2004
______________ “Penyanyi dan Nyanyiannya. Refleksi Matius 5:21-48”. Karya tulis dalam www.glorianet.org
Ismail, Andar. Selamat Berbakti. 33 Renungan Tentang Ibadah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999
Sudibya, Warsito, Djoko. Pelayanan Lewat Khotbah. Pedoman Praktis dan Contoh. Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1995
Wuwungan, O.E.Ch. Bina Warga. Bunga Rampai Pembinaan Warga Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995


[1]Lihat Andar Ismail. Selamat Berbakti. 33 Renungan Tentang Ibadah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm. 33, 34
[2]Lihat Ismail. Ibid., hlm. 57
LATIHAN TENAGA PEMBINA REMAJA GEREJA
Dalam Rangka HUT XI Remaja Jemaat GMIM “Ekklesia” Wengkol, Wilayah Tondano ISabtu, 17 Juni 2006

Tidak ada komentar: